Oleh: Dr. Muh Khamdan
Di bawah langit Jepara yang teduh, nama KH. Ahmad Fauzan tetap bergaung dalam ingatan umat, terutama ketika haul ke-53 digelar di pemakaman Suromoyo, Bangsri, 5 Oktober 2025. Beliau bukan sekadar ulama kampung, melainkan arsitek sosial yang meneguhkan simpul antara ulama dan umara dalam bingkai Islam Nusantara. Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Jepara dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jepara yang kedua pada 1952, KH. Fauzan menampilkan diri sebagai sosok pemimpin religius yang berkarakter, rasional, dan visioner.
NU Jepara dan Peta Baru Politik Islam
Tahun 1952 menjadi titik historis penting dalam perjalanan Islam politik Indonesia. Pada 3 Juli tahun itu, NU resmi memisahkan diri dari Masyumi, langkah monumental yang mengguncang konstelasi politik Islam kala itu. KH. Ahmad Fauzan, yang sedang menjabat sebagai Rais Syuriyah NU Jepara yang pertama, menjadikan peristiwa itu sebagai momentum penegasan identita. NU bukan sekadar gerakan sosial keagamaan, tetapi juga organisasi yang memiliki visi kebangsaan dan moralitas kenegaraan.
Gaya kepemimpinan KH. Fauzan mencerminkan Nidzamul Hukm yang digagas Al-Mawardi, suatu model pemerintahan di mana ulama menjadi moral guardian dalam struktur negara. Ketika beliau mengangkat para kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di tiap kecamatan, kriterianya bukan sekadar administratif, tetapi keulamaan yang mendalam dan kemampuan membaca kitab salaf. Mereka tidak hanya menjadi aparatur negara, tapi juga syuriyah MWCNU, mempertautkan urusan langit dan bumi dalam satu garis perjuangan.
Warisan Klan Ba‘alawi dan Jejak Ma’la
Darah keulamaan KH. Ahmad Fauzan salah satunya mengalir dari ibundanya, Nyai Thohiroh binti Harun bin Maryamah bin Muhammad Arif bin Hasyim bin Abdul Muhith bin Hasyim bin Shihabuddin bin Samith bin Arif bin Sholih bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Hamzah bin Zainuddin bin Sayyid Abdullah Al Adny. Jalur ini bersambung pada klan Ba‘alawi, keturunan Rasulullah SAW yang menyebarkan Islam dari Hadhramaut, berasal dari Aden di Yaman. Ayahandanya, KH. Abdurrasul, adalah sosok alim yang juga dikenal sebagai pemimpin jamaah haji. Itulah sebabnya beliau dijuluki “Durrasul”, dan wafat di tanah suci, dimakamkan di Ma’la, Arab Saudi.
BACA JUGA: Bupati Jepara Lantik 35 Pejabat, Berikut Rinciannya
Durrasul putra dari Kyai Ahmad Sanwasi, ulama Kasunanan Surakarta dan pejuang pasukan Pangeran Diponegoro, yang dimakamkan di dukuh Penggung, Gemiring Lor, Kecamatan Nalumsari. KH. Ahmad Fauzan mewarisi semangat antikolonialisme dalam perlawanannya terhadap Jepang di era jelang kemerdekaan.
Kyai Sanwasi menikah dengan Nyai Darojah binti Kyai Umar dari Ngroto Mayong, salah satu panglima perang Diponegoro di pesisir Pantura. Kyai Umar inilah ayah dari KH. Sholeh Darat Assamarany, guru para pendiri besar Islam Indonesia, seperti KH. Hasyim Asy‘ari dan KH. Ahmad Dahlan.
Dengan demikian, KH. Ahmad Fauzan adalah keponakan langsung KH. Sholeh Darat, sebuah garis nasab intelektual yang menegaskan kesinambungan spiritual Islam Nusantara.

Dr. Muh Khamdan
KH. Ahmad Fauzan menempuh pendidikan di Pesantren Kasingan Rembang, berguru kepada KH. Kholil Harun. Pesantren ini dikenal sebagai pusat kaderisasi santri organisatoris yang kelak menjadi pilar NU nasional, antara lain KH. Mahrus Aly (Lirboyo), KH. Bisri Mustofa (Rembang), dan KH. Abdul Hamid (Pasuruan).
BACA JUGA: Gunakan Ambulans Motor, Dokkes Polres Jepara Gelar Patroli Layanan Pemeriksaan Kesehatan
Selain ilmu agama, KH. Fauzan juga ditempa dalam disiplin organisasi di bawah bimbingan KH. Sholeh Amin, menantu KH. R. Asnawi Kudus. KH. Sholeh Amin menjadi pendiri Madrasah Miftahul Huda, model pendidikan modern bercorak jenjang kelas. KH. Sholeh Amin merupakan Mustasyar PBNU sejak awal berdirinya NU tahun 1926. Maka tidak heran bila KH. Ahmad Fauzan membawa semangat ini ke Jepara, menjadikan madrasah dan organisasi sebagai dua sayap yang sama-sama menggerakkan kesadaran umat.
Muktamar Magelang dan Gelombang Santri Jepara
Peran KH. Fauzan mengemuka dalam konsolidasi organisasi menjelang Muktamar ke-14 NU di Magelang, Juli 1939, yang menjadi ajang kebangkitan kader daerah. Dari Jepara, beliau menyiapkan struktur keulamaan yang solid lewat madrasah dan jaringan pesantren, terutama di Bangsri dan Jepara kota.
Inisiatif KH. Ahmad Fauzan mendirikan madrasah di Bangsri dengan sistem kelas jenjang adalah bentuk adaptasi terhadap pola pendidikan gurunya di Tayu. Madrasah ini bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga laboratorium kaderisasi kepemimpinan Islam. Paduan antara tafaqquh fiddin dan kecakapan sosial modern. Madrasah inilah yang di kemudian hari bernama Hasyim Asy’ari.
Selain organisator dan birokrat, KH. Ahmad Fauzan juga penulis nadzam dan syi‘ir yang digunakan dalam pembelajaran pesantren dan majelis pengajian. Karya-karya syi‘irnya menggambarkan kemampuan adaptif dakwah, menggabungkan estetika lokal dengan nilai-nilai Islam universal. Sebuah ciri khas ulama Nusantara yang mampu menghidupkan ajaran dengan seni.
BACA JUGA: Wakil Bupati Jepara Wanti-Wanti Kualitas Layanan Gizi di Setiap SPPG
Dari pernikahannya, KH. Ahmad Fauzan dikaruniai 13 putra-putri. Di antara keturunannya kini tersebar baik di Indonesia, Kanada, dan Australia. Mereka membawa spirit dakwah dan intelektualitas yang diwariskan sang ayah dan sang kakek.
Sebuah diaspora ulama dan cendekiawan yang melanjutkan estafet Islam moderat dan beradab di kancah global, sehingga turut mewarnai PCINU di sejumlah negara.
Sebagai kepala Kantor Kementerian Agama, KH. Ahmad Fauzan dikenal sebagai pemimpin yang menolak dikotomi antara “agama” dan “negara”. Ia percaya bahwa birokrasi bisa menjadi ladang dakwah, asalkan dijalankan dengan niat ibadah dan kejujuran moral. Prinsip inilah yang membuat kepemimpinannya disegani, baik di kalangan ulama maupun pejabat pemerintahan.
KH. Ahmad Fauzan bukan hanya tokoh lokal Jepara, melainkan representasi dari model ulama Nusantara yang berpikir global. Dalam dirinya berpadu semangat spiritual klan Ba‘alawi, keberanian pejuang Diponegoro, kecendekiaan pesantren, interaksi diaspora global, dan disiplin birokrat modern.
Di hari haul ke-53 ini, umat bukan sekadar mengenang sosoknya, melainkan meneguhkan kembali bahwa Islam Nusantara akan terus berdiri kokoh di atas tiga pilar, yaitu ilmu, organisasi, dan pengabdian.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara_