Oleh: Dr. Muh Khamdan
Ada yang istimewa dari Jepara tahun ini. Enam warisan budayanya lolos untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia 2025. Keenamnya meliputi horog-horog, batik Jepara, bandeng serani, ukir kaligrafi Jepara, memeden gadhu, dan baratan Kalinyamatan, bukan sekadar simbol kebanggaan lokal.
Lebih dari itu, ia adalah wujud konkret dari diplomasi budaya yang mampu menjadi jembatan perdamaian lintas etnis, agama, dan bangsa.
Dalam konteks global yang kian kompetitif, pengakuan terhadap WBTb menjadi lebih dari sekadar pencatatan administratif. Ia adalah strategi lunak untuk menegaskan identitas, memperkuat posisi budaya dalam arus globalisasi, sekaligus mencegah potensi konflik klaim budaya antardaerah maupun antarnegara.
Di sinilah Jepara menunjukkan keteladanan, yaitu menjaga tradisi bukan untuk mengurung diri dalam lokalitas, melainkan memperluas cakrawala harmoni.
BACA JUGA: Jepara Gandeng UGM, Tata Kawasan Wisata Pesisir dengan Sentuhan Sains
Kita tahu, dunia kerap menyaksikan sengketa budaya, dari batik yang diklaim lintas batas, hingga kuliner yang menjadi ajang perebutan citra nasional.
Dalam situasi seperti itu, pengakuan terhadap WBTb berfungsi sebagai bentuk resolusi konflik kultural. Menegaskan asal-usul dengan penghormatan, bukan permusuhan. Ketika budaya diakui secara resmi, ruang dialog menjadi lebih luas, dan tensi klaim menjadi mereda.
Jepara memahami itu dengan baik. Kota ini sejak lama dikenal sebagai ruang pertemuan berbagai peradaban, baik Jawa, Arab, Tionghoa, hingga Eropa. Di sana, budaya tidak pernah diam. Ia hidup melalui interaksi, penyesuaian, dan inovasi.
Karena itulah, horog-horog dan bandeng serani tidak hanya berbicara tentang cita rasa, tetapi juga tentang narasi diplomasi budaya melalui kuliner. Sebuah pendekatan lembut yang bisa lebih efektif daripada retorika politik.
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B melalui YBM Salurkan Santunan untuk Guru Ngaji di Desa Petekeyan
Diplomasi budaya melalui kuliner telah lama menjadi praktik global. Korea Selatan misalnya, memanfaatkan strategi ini secara sistematis. K-Pop membuka pintu, drama Korea (drakor) memperluas emosi kolektif, dan kuliner khas Korea memperkuat kedekatan emosional masyarakat dunia. Melalui jalur ini, Korea tidak hanya mengekspor produk, tetapi juga menanamkan nilai dan identitas nasionalnya dalam imajinasi publik internasional.
Jepara pun memiliki potensi serupa. Bandeng serani dapat menjadi ikon gastronomi pesisir yang memperkenalkan nilai harmoni dan kesederhanaan masyarakat Jepara.
Horog-horog, dengan bahan baku sagu lokal, menyampaikan pesan kemandirian pangan dan keberlanjutan ekologis. Bila dikembangkan secara strategis, kedua kuliner ini dapat menjadi alat diplomasi kultural Indonesia di panggung global.

Dr. Muh Khamdan
Namun, diplomasi budaya tidak hanya berjalan di dapur. Ia juga hadir di panggung-panggung seni. Sebagaimana baratan Kalinyamatan, sebuah festival lentera yang memadukan spiritualitas, solidaritas sosial, dan keindahan visual.
BACA JUGA: Kapolres Jepara Hadiri Peringatan HSN dan HAB Kemenag Tahun 2025
Di tengah dunia yang terpolarisasi oleh identitas, baratan menghadirkan narasi kebersamaan lintas iman dan generasi. Ia adalah diplomasi budaya yang lahir dari bawah, dari warga yang menyalakan terang di tengah gelapnya sekat sosial.
Jepara melalui ukir kaligrafi juga menghadirkan model diplomasi estetik yang menautkan iman dan seni. Dalam setiap pahatan, tersimpan nilai spiritual Islam yang universal, damai, indah, dan beradab.
Seni ukir kaligrafi menjadi pesan lembut bahwa perbedaan keyakinan tidak perlu menimbulkan benturan, justru bisa melahirkan karya yang memperkaya khazanah kemanusiaan.
Sementara memeden gadhu, dengan akar tradisi agrarisnya, mengajarkan diplomasi ekologis. Tradisi itu menegaskan hubungan harmonis antara manusia dan alam, antara petani dan tanahnya.
Dalam konteks krisis lingkungan global, memeden gadhu menjadi simbol universal tentang pentingnya menghormati bumi, sebuah pesan damai yang melampaui batas budaya.
BACA JUGA: Bupati Jepara: Perbaikan Gedung DPRD Jepara Gunakan Anggaran Pusat
Jika kita meninjau dari teori Joseph Nye tentang soft power, budaya memiliki kekuatan yang jauh lebih tahan lama dibandingkan kekuasaan militer atau ekonomi.
Soft power bekerja melalui daya tarik, bukan paksaan. Jepara kini mempraktikkan teori itu secara lokal, menggunakan budaya sebagai alat untuk memengaruhi, menyentuh, dan menyatukan. Dengan demikian, pengakuan WBTb bukan hanya penghormatan, tapi juga strategi politik kebudayaan.
Kampanye budaya semacam ini adalah diplomasi tanpa suara, namun dampaknya nyata. Ketika orang mengenakan batik Jepara, menikmati bandeng serani, atau menghadiri baratan, sesungguhnya mereka sedang menjadi bagian dari jejaring diplomasi kultural. Mereka tidak sedang “menonton budaya”, tetapi ikut merayakan perbedaan yang damai.
Jepara kini memiliki momentum besar untuk membangun ekosistem pariwisata kreatif dan diplomatik. Pemerintah daerah, pelaku UMKM, seniman, dan akademisi perlu bersinergi membangun narasi bersama bahwa Jepara bukan sekadar kota ukir, tetapi kota budaya dan kedamaian lintas budaya.
Pengakuan WBTb 2025 harus diikuti dengan langkah nyata menuju branding budaya yang inklusif dan mendunia.
Akhirnya, enam warisan budaya yang diakui ini adalah pesan moral untuk Indonesia dan dunia, bahwa kebudayaan bukan sumber klaim, melainkan sumber persatuan.
Dari horog-horog hingga baratan Kalinyamatan, Jepara menunjukkan bagaimana tradisi bisa menjadi diplomasi, dan diplomasi bisa melahirkan perdamaian. Di tengah dunia yang rentan konflik identitas, Jepara berdiri sebagai teladan. Kota kecil dengan jiwa besar yang menyalakan cahaya dari warisan budayanya.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Analis Kebijakan Publik