JEPARA | GISTARA.com – Diskusi Suluk mantingan yang keenam bertepatan dengan peringatan Haul Raden Ajeng Kartini yang ke- 118. Diskusi mengangkat tema, “Kartini adalah santri’ dikupas oleh Zainal Abidin, M.S.I sekaligus penulis Thesis R.A Kartini – Abendanon dan Dr. Mayadina Rohmi Musfiroh seorang tokoh Kartini kekinian yang merupakan pengurus Yayasan Pendidikan Bumi Kartini sekaligus Dosen UNISNU Jepara.
Diskusi dilaksanakan (11/9/2022) dipaseban masjid Mantingan Jepara dimulai dengan sambutan Tim Riset dan Publikasi PC Lesbumi Jepara, Ibu Ratu Andayani. Dalam sambutannya ia menyampaikan bahwa Jepara adalah kota yang sangat memuliakan perempuan. Terbukti terdapat tiga tokoh perempuan besar di Kota Jepara, mereka adalah Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan R.A Kartini.
Dalam diskusi Zaenal Abidin yang akrab disapa Kang Zaenal memaparkan bahwa untuk memahami pemikiran R.A. Kartini diperlukan kajian secara komprehensif, tidak bisa sepotong-sepotong. Tidak pula cukup membaca terjemahan surat-surat kartini yang dikirim kepada Ny. Abendanon ataupun kepada kawan-kawan kartini yang lain.
Baca juga : Benarkah Indonesia Dijajah 350 Tahun?
Ia menambahkan bahwa terdapat beberapa buku yang dapat dijadikan sumber rujukan kalau kita ingin mempelajari tentang R.A Kartini. Buku tersebut diantara; “Kartini Sebuah Biografi” karya Sitisoemandari Soeroto, “Habis Gelap Terbitlah Terang’ karya Armijn Pane, “Tuhan & Agama Dalam Pergulatan Batin Kartini” karya Th. Sumartana, dan tentu Tafsir Al Qur’an monumental yang telah mengilhami pemikiran keIslaman Kartini, yaitu Kitab Tafsir Faidhur Rohman karya ulama besar Kiai Soleh Darat.
Dari berbagai sumber yang ada, Kang Zaenal menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pemikiran tentang keislaman yang dialami oleh R.A Kartini antara sebelum dan sesudah beliau bertemu Kiai Soleh Darat. “Eyang Kartini adalah sosok perempuan yang tidak mau taklid buta”, kata Kang Zaenal.
Hal ini bisa dilihat dari isi dari surat-surat beliau sebelum bertemu dengan Kyai Soleh Darat. Diantara isi surat tersebut adalah, Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”
“Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca”.
Keresahan R.A Kartini tentang agama yang dipeluknya perlahan tercerahkan setelah beliau bertemu langsung dengan Kiai soleh Darat di Demak. Beroleh bekal pengetahuan agama dari Kyai Soleh Darat, pemahaman Kartini tentang keislaman mulai berubah. Hal ini bisa dilihat dari kutipan terjemahan surat beliau kepada Ny. Abendanon pada tanggal 12 Oktober 1902
“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”
Dari pertemuan dengan Kiai Soleh Darat inilah pemikiran-pemikiran R.A Kartini tentang Islam mengalami transformasi. “sudut pandang Kartini sebagai santri inilah yang belum banyak dikaji oleh para akademisi atau peneliti. Lesbumi harus mampu mengawal kajian tersebut kalau perlu cari literaturnya sampai ke Belanda”. lanjut Kang Zaenal.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan tentang sosok R.A Kartini dimata Dr. Mayadina Rohmi Musfiroh. Ia berpendapat, kalau ingin menyimpulkan bahwa kartini adalah santri. “Kita harus tahu dulu definisi dan batasan santri, kalau santri dimaknai sebagai seorang yang mempelajari literasi untuk memperdalam ilmu keagamaannya, maka kartini adalah salah satunya” katanya.
Dosen Qur’an Studies dari UNISNU Jepara ini lantas melanjutkan bahwa Kartini adalah sosok multidimensi. Ia manusia penuh gagasan sebagai refleksi atas pembacaannya terhadap realitas sosial dan budaya di sekitarnya. “Kartini sebagai persona tak bisa dipahami sepenggal-parsial namun penting menilik keseluruhan rangkaian perjalanan hidup serta sisik melik berbagai situasi dan peristiwa yang menjadi konteks dan inspirasi tulisan kritisnya, agar kita mendapat gambar ‘mendekati’ utuh tentang ‘esensi’ Kartini” imbuhnya.
Kartini menulis dalam suratnya yang dihimpun dalam karya Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), bahwa Islam adalah agamanya. Pemikiran keagamaan Kartini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Ia yang semula masih merasakan kehampaan saat menyebut nama Allah, mulai menemukan makna dan ketenangan jiwa saat menyebut nama-Nya. Ia menuliskan hal tersebut kepada Nyonya N. Van Kol:
“Allah atau Tuhan, bagi kami sekarang bukanlah ucapan hampa lagi. Kata itu, aduhai sangat banyak diucapkan orang tanpa dipikirkan. Kini bagi kami bunyinya kudus, suci. Terima kasih, terima kasih sekali, bahwa nyonya telah menyingkapkan tirai yang ada di hadapan kami, sehingga dapat menemukan yang lama kita cari.”
Sesi penutup diskusi, Sutarya selaku Ketua Yayasan Masjid Mantingan menyampaikan harapannya agar kaum muda dapat meneladani semangat perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Serta keyakinan beragama yang harus dipadupadankan dengan ilmu pengetahuan, sehingga tidak menjadi agama warisan semata. (OOK/Gistara)