
CEK TANAMAN – Cuaca Tak Menentu Bikin Petani Cabai Merugi, salah satu Sukardi (52), petani cabai Dusun Siroto, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan mengecek kondisi tanaman cabainya, Kamis, 20/10/2022. (Foto: Arief/Gistara)
UNGARAN | GISTARA.com – Petani cabai di kawasan Dusun Kasiran, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang harus rela menerima kenyataan jika harga cabai terjun bebas dalam seminggu terakhir. Di tingkatan petani, penurunan harga terbilang drastis. Minggu lalu, harga cabai keriting mencapai Rp 42.000 per kilogram, namun saat ini hanya kisaran Rp 17.000.
Sukardi (52) seorang petani setempat mengatakan cuaca tak menentu bikin petani cabai merugi, salah satu penyebab menurunnya harga tersebut karena faktor cuaca yang tak menentu.
“Harusnya menurut perhitungan saat ini musim kemarau, tapi sudah 15 hari ini hujan terus. Cabai jadi rentan busuk dan terkena penyakit,” ungkapnya saat ditemui di lokasi kebun cabainya, Kamis (20/10/2022).
Dengan kondisi cuaca yang terus hujan, lanjut Sukardi, ia mengaku sulit untuk meningkatkan produktivitas hasil panen cabai. Intensitas penggunaan obat agar tanaman cabai tahan terhadap cuaca juga otomatis meningkat.
“Kalau tidak begitu, pasti cepat busuk,” terangnya.
| Baca juga: Cuaca Ekstrim Picu Serangan Hama Tikus, Petani di Ungaran Pilih Tunda Masa Tanam
Alif Subroto (35), salah seorang petani cabai yang lain mengamini hal tersebut. Penurunan harga itu membuatnya harus menelan kerugian.
“Ini bisa balik modal saja sudah alhamdulillah. Bisa untung paling tidak kalau harga per kilonya minimal Rp 25 ribu,” urainya.
Diakuinya, faktor lain yang ikut mempengaruhi penurunan harga cabai adalah daya beli masyarakat. Menurutnya, barang hanya berkutat di sekitar lokal saja.
“Mau jual di luar daerah sulit, termasuk juga kalau harus kirim ke luar pulau pakai kapal, gelombang laut tinggi,” bebernya.
Penurunan kuantitas juga turut dialaminya. Menurutnya, dari masa tanam hjngga panen, dibutuhkan waktu sekira empat bulan. Jika produktivitas bagus, ia bisa panen hingga lebih dari 30 kali.
“Sekarang ini baru sekitar 15 kali petik,” tuturnya.
Agar tak menuai kerugian besar, ia tidak memiliki pilihan lain kecuali harus panen lebih awal. Menurutnya itu menjadi opsi untuk menekan biaya produksi.
“Kalau mengandalkan obat terus, pengeluaran bisa membengkak,” tandasnya. (Arief/Gistara)