“Ayahandaku, Sultan Trenggono telah berhasil memagari Jawa dari Portugis, Kakangku Sunan Prawoto dengan gagah dan lantang menolak kompromi dengan Portugis, beliau tetap mengembargo Malaka dengan tidak menjual beras ke Portugis. Beliau juga telah menyiapkan tentara untuk membasmi Portugis di Makassar, jika hanya melindungi Jawa Dwipa, leluhur kita sudah berhasil. Mereka tidak akan berani lagi menginjakkan kaki di Bumi Jawa ini, tapi bukan itu tujuan kita. Kita akan merangkai Nusantara menjadi rantai yang kuat, Johor, Malaka, Aceh, Tanjung Pura, Maluku, dan semua negeri-negeri di Nusantara, akan kita Satukan. Dan itu tidak akan terwujud selama Portugis masih di sini!”.
Itulah potongan dialog dan cerita Ratu Kalinyamat dalam naskah Sang Naga Samudra, Satru Bebuyutan Portugis yang ditulis M Ali Burhan. Naskah itu ditampilkan dalam gelaran wayang orang/ketoprak di Ponpes Lembah Manah Langon.
Dalam gelarannya masyarakat sangat antusias menonton. Beberapa gelak tawa dan wajah serius bahkan beberapa kali penonton merasakan heroisme dari perjuangan Ratu Kalinyamat tampak dari penonton ketika melihat penampilan dari orang yang menampilkan sejarah Ratu Kalinyamat.
Ali Burhan menjelaskan Kesultanan Demak negeri maritim yang sepanjang perjalanannya selalu diwarnai dengan perlawanan terhadap penjajah Portugis. Bahkan sebelum Portugis berniat menguasai Malaka, Demak, dan kerajaan-kerajaan di Nusantara, beberapa kerajaan di Nusantara telah bersiap-siap melawannya.
”Hal itu dibuktikan dengan penyerangan Demak ke Portugis di Malaka (1512) yang cepat. Hanya satu tahun setelah Malaka didudukinya,” jelasnya.
BACA JUGA: Sarasehan Tembakau di Festival Lembutan Bansari Hadirkan Sujiwo Tejo
Dimulai tahun 1512, lanjutnya, Raden Patah mengutus Pati Unus untuk mengusir Portugis dari Malaka. Penyerangan ini diulang kembali tahun 1521 sepeninggal Raden Patah (1518). Karena kurang berhasil dan juga banyaknya daerah-daerah di Jawa yang tidak mendukung visi Demak tersebut atau malah menjalin persekutuan dengan Portugis di Malaka, maka Sultan Trenggono (1522-1546) pengganti Pati Unus menyapu Jawa dari pengaruh Portugis.
Dalam catatan sejarah, tahun-tahun berikutnya yaitu setelah wafatnya Sultan Trenggono (1546) adalah tahun-tahun yang sangat krusial dan penuh kontroversi, tetapi fakta sejarah mencatat, Demak tetap kokoh dan perkasa di Samudra.
Tahun 1547, Sultan Alauddin dari Aceh menyerang Portugis di Malaka. Melihat Portugis yang tetap di Benteng, Aceh kemudian memblokade Malaka. Mereka membangun benteng di Perlis untuk menyerang semua kapal dari Goa, Bengal, Siam atau Pegu yang membawa bahan makanan. Dengan usaha ini, mereka berupaya untuk menutup bala bantuan dari pintu utara dan berharap Portugis kelaparan dan korban segera berjatuhan.
Serangan Aceh ini mendapat respon dan dukungan dari Demak Bintoro yang saat itu dibawah kepemimpinan Sunan Prawoto. Karena merasa terancam, tahun 1548, Portugis mengutus Manuel Pinto untuk menemui Raja keempat Demak. Ia membujuk agar Sunan Prawoto tidak memblokade pengiriman bahan pangan ke Malaka dari jalur selatan sekaligus membatalkan pengiriman pasukan ke Makassar untuk mengusir Portugis dari sana.
BACA JUGA: Kirab Budaya HUT Ke-188 Temanggung, Bukti di Liyangan Punya Sejarah Peradaban
Diplomasi Pinto ini ditolak oleh Sunan Prawoto. Penolakan ini, semakin memperuncing permusuhan antara Portugis dan Demak. Tahun 1550, atas permintaan dari Johor, Ratu Kalinyamat yang Jumeneng Nata di Jepara memberangkatkan 40 kapal besar dibawah komando Sang Adipati dengan membawa 5.000 prajurit siap tempur ke Malaka. Tahun 1551, pecah pertempuran besar di Malaka.
Pertempuran dahsyat ini merupakan pukulan telak bagi Portugis. Mereka menjadi takut dan tidak berani mengusik Jawa. Tahun 1551-1565 (bahkan sampai akhir koloninya di Nusantara). Belum ditemukan catatan tentang Portugis yang agresif hendak menguasai Jawa sebagaimana masa-masa sebelumnya. Konsentrasi Portugis beralih ke kepulauan Ambon setelah menemukan pusat sumber rempah-rempah tersebut. Meskipun begitu, bukan berarti Jepara sedang tidur, apalagi terpuruk.
”Di bawah kepemimpinan Kanjeng Ratu Kalinyamat, Selain di Malaka, di Ambon pun Jepara tetap menjadi momok yang paling menakutkan bagi Portugis. Jepara menjadi musuh yang paling berbahaya bagi Portugis selama tiga perempat abad ke-16,” ujarnya
Sebagai produser di acara itu Ngatman, dan Sutradara Den Hasan. Sementara pemain diperankan Wiwik Handayani sebagai Ratu Kalinyamat, Ki Hendro Suryo Kartiko sebagai sinopati, Agus Joko S sebagai Joko Lintang, Tesa sebagai Roro Wulandari, Bambang Batik sebagai ki Galangwesi, Mak Tatik sebagai Nyai Galangwesi, dan Ki Johar Tontowi sebagai perajurit sati. (Chib/Gistara)