M. Dalhar
Pondok pesantren kini memasuki babak baru. Sejak peringatan Hari Santri Nasional pada 2015 silam, santri yang menjadi elemen utama dari pesantren menjadi komunitas yang dipertimbangkan.
Dalam perjalanannya, santri mengalami perluasan makna. Definisi santri bukan terbatas hanya seseorang yang belajar di pesantren. Meskipun tidak dapat dimungkiri bahwa istilah awal santri adalah mereka yang bermukim di pesantren.
Karena kegigihan mereka melawan penjajah menjadikan peringatan Hari Santri ada. Momentumnya adalah dikeluarkannya Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945.
BACA JUGA : Fenomena “Bullying” Pelajar, Bikin Hati Bergetar, Apakah Pelaku Bisa di Pidana?
Ada banyak definisi tentang santri, bahkan tidak harus bermukim di pesantren. Ketika seseorang memiliki karakteristik “santri” ia layak disebut sebagai santri. Pendapat yang disampaikan oleh Gus Mus ini membuka cakrawala pemikiran bahwa istilah santri ini dinamis. Banyak karakter-karakter yang melingkupi dunia santri menjadikan definisinya semakin beragam.
Tahun 2023 ini tema besar yang diangkat adalah Ijtihad Santri Jayakan Negeri, menjadi pengingat bersama para santri memiliki tugas besar untuk memajukan negeri. Ada begitu banyak ruang ekspresi yang dapat dilakukan untuk menjadikan jaya negeri.
Upacara kenegaraan Hari Santri dilaksanakan di Surabaya, Jawa Timur. Di kota-kota lain juga menggelar acara serupa. Di Jepara, hampir di setiap kecamatan menyelenggarakan upacara. Banyak masyarakat utamanya dari kalangan nahdliyin yang berbondong-bondong mengikuti acara ini.
Fenomena tersebut menjadi sesuatu yang wajar. Dapat dimaknai sebagai bagian dari bersyukur atas diakuinya kontribusi santri. Akan tetapi, tidak hanya selesai dengan seremoni saja. Semangat di balik Hari Santri harus senantiasa dijaga dan dirawat.
BACA JUGA : Rumah dan Masjid
Semangat itu tidak lain adalah terus belajar. “Jangan sampai berhenti belajar.” Dengan paradigma semacam itu menjadikan semua langkah atau aktivitas yang dilakukan dimaknai dalam kerangka belajar, tholabul ilmi.
Mengingat pula ada sejumlah kebijakan yang memberikan angin segar pada pesantren dan para santri. Lahirnya UU Pesantren, beasiswa afiirmasi, bantuan pengembangan, dan lain sebagainya. Kesempatan tersebut sudah sepatutnya dapat dimanfaatkan untuk memajukan dunia santri.
Ijtihad Bersama
Kata “ijtihad” yang dimaksud dalam tema besar adalah sebuah upaya maksimal, semampunya dari para santri untuk berkiprah di lingkungan masing-masing. semampunya, bukan semaunya.
BACA JUGA : 4 Destinasi Favorit Wisatawan Lokal dan Mancanegara di Karimunjawa
Ada ruang ijtihad bersama yang dapat diupayakan untuk lestari, yaitu lingkungan. Para santri sudah sangat hafal dengan maqolah “kebersihan sebagian dari iman.” Akan tetapi, terkesan untaian kata-kata indah semata. Seakan tanpa kita sadari, persoalan lingkungan, utamanya adalah sampah menjadi sesuatu yang harus segera diselesaikan.
Bukan hanya persoalan di kota, di kawasan pedesaan juga tidak luput dari urusan sampah, membuang sampah sembarangan.
Kesadaran isu lingkungan paling dasar, yaitu membuang sampah pada tempatnya harus ditekankan sejak dini di bangku pendidikan madrasah atau pesantren. Membuang sampah pada tempatnya secara terpisah atau pengelolaan sampah ini dapat menjadi ijtihad bersama mulai dari hulu sampai hilir.
Langkah ini mungkin terkesan sederhana, akan tetapi jika dilakukan secara bersama-sama dapat menjadi kekuatan besar untuk mengurai dan menyelesaikan persoalan lingkungan di negeri ini. Semangat untuk belajar dan kebersamaan (jamaah) ini dapat menjadi modal besar untuk melakukan ijtihad-ijtihad lainnya untuk kemaslahatan bersama.
M. Dalhar, Pegiat sejarah dan sosial