Oleh: M. Ali Burhan.
Kanjeng Nabi Muhammad adalah sosok sentral dalam agama Islam yang mana keberadaan beliau sebagai pembawa risalah ke-Islam-an dari Gusti Allah untuk disampaikan kepada umat manusia seluruh alam. Nabi Muhammad menjadi lokus ekspresi spiritual umat Islam di seluruh dunia yang mana ekspresi itu melahirkan berbagai ragam kebudayaan yang masing-masing daerah memiliki ciri khas. Ragam suku bangsa penghuni Nusantara memiliki keragaman dalam ekspresi mencintai Kanjeng Nabi.
Cinta kepada Kanjeng Nabi sudah menjadi ajaran awal Ke-Islam-an sebagaimana banyak diungkap pada teks-teks Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Kecintaan kepada Kanjeng Nabi menjadi syarat mutlak untuk menjadi Hamba Allah yang Taqwa.
Kecintaan kepada Allah dan Kanjeng Nabi adalah seperti dua sisi mata uang yang keduanya tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Allah melabeli hamba yang lebih mencintai dunia dan isinya, termasuk keluarga dan dirinya sendiri, daripada Allah dan Rasulnya, dengan julukan fasik besertra ancaman tegas (Surat At-Taubah (9);24).
Di Hadis Bukhori-Muslim juga ditegaskan bahwa untuk merasakan kenikmatan Iman, maka seorang muslim harus lebih mencintai Allah dan Rasulnya daripada selainnya.
Diantara patahan Sejarah Cinta kepada Kanjeng Nabi dalam sejarah umat Islam adalah munculnya syair-syair cinta pada masa Salahuddin Al Ayyubi (1138-1193).
Ketika itu umat Islam sedang melemah menghadapi gelora perang besar melawan tentara Eropa. Maka Salahuddin Al-Ayyubi memanggil para penyair untuk berlomba menyusun syair-syair yang bisa dipakai untuk membangkitkan semangat cinta kepada Kanjeng Nabi yang dari cinta itu, bisa menyulut semangat untuk berjuang dan mencintai Islam.
Cinta umat Islam kepada Kanjeng Nabi memiliki sejarah panjang sebagaimana sejarah agama Islam itu sendiri. Sejarah cinta ini membentang dari masa kenabian sampai sekarang.
Ajaran cinta ini diajarkan secara khusus melalui ajaran-ajaran sufistik yang lebih menitikberatkan ajarannya pada hakikat untuk mengisi syariat. Jadi tidak berlebihan jika maulid di nusantara dirayakan dengan banyak ragam ekspresi karena Islam tidak diterjemahkan dengan kaku dan tekstual.
BACA JUGA: Tradisi Dandangan, Peristiwa Budaya yang Berimplikasi Ekonomi
Dengan jembatan cinta, budaya-budaya lokal yang memiliki nilai selaras dengan tujuan Islam (maqosidus Syariat) diasimilasi menjadi tradisi yang bernafaskan Islam dengan nuansa dan warna lokal (lokal wisdom).
Cinta kepada Kanjeng Nabi tidak bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri, karena itu kecintaan kepada Kanjeng Nabi menjadi mutlak, menyatu-padu dan mengiringi sejarah perkembangan umat Islam di seluruh muka bumi. Puncak dari ekspresi cinta kepada Kanjeng Nabi itu secara kebudayaan ditumpahkan dalam upacara adat dan laku budaya masyarakat atau suatu bangsa muslim.
Di Jawa pedalaman, perayaan maulid dilaksanakan secara besar-besaran oleh keraton dengan menyelenggarakan Grebeg Maulid, sementara pada tataran masyarakat, mereka mengekspresikannya dengan berbagai ragam upacara adat.
Di di pesisir, terutama pesisir utara Jawa atau kalangan kaum santri, ekspresi kecintaan kepada Kanjeng Nabi dalam bulan maulid, dilaksanakan dengan membaca Al-Banzanji. Kegiatan Cinta ini dimulai tanggal 1 sampai 12 bulan Maulid di masjid-Masjid dan Musholla-Musholla. Biasanya diselenggarakan pengajian umum sebagai puncaknya.
Tradisi pembacaan Al-Banjanzi sebenarnya adalah tradisi baru yang muncul seiring berkembangnya teknologi percetakan buku dan diaspora para Santri Pesantren dikisaran abad 18 sampai 19.
Sebelumnya, perayaan Maulid dilaksanakan dengan menyelenggarakan upacara-upacara adat diiringi dengan musik tradisi dan pembacaan tembang-tembang cinta berbahasa lokal untuk Kanjeng Nabi.
Di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, masyarakatnya menyelenggarakan Tradisi To’dok Telok untuk mengekspresikan cinta kepada Kanjeng Nabi.
BACA JUGA: Batik, Warisan Budaya yang Mendunia, Berikut Sejarahnya
To’dok Telok semula adalah upacara adat dari Suku Bugis, salah satu suku yang mendiami kepulauan Sulawesi yang bermigrasi ke Karimunjawa.
To’dok Telok dilaksanakan bukan hanya di Desa Kemojan Karimunjawa saja, tetapi juga perayaan ini dilaksanakan oleh suku Bugis di manapun mereka berada, semisal di Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan juga daerah-daerah lain yang terdapat komunitas Bugis.
To’dok Telok (bahasa Bugis) adalah tradisi perayaan Maulid Kanjeng Nabi yang disimbolkan dengan To’dok (tusuk dari bambu) dan Telok (Telur). Telok/telur ditusuk menggunakan bambu yang dihias secara khusus. To’dok Telok ini kemudian diarak oleh warga dari Masjid ke Lapangan Desa.
Jika di daerah-daerah lain To’dok Telok menjadi identitas masyarakat Bugis dalam mengekspresikan cinta terhadap Kanjeng Nabi, maka di Desa Kemojan Kepulauan Karimunjawa ini berbeda.
To’dok Telok tidak sekedar perayaan khusus suku Bugis, tetapi juga dirayakan bersama suku-suku lainnya. Selain Upacara Adat perayaan Maulid, To’dok Telok juga merupakan media silaturahmi antar suku yang mendiami Kepulauan Karimunjawa.
Di Kepulauan Karimunjawa khususnya desa Kemojan terdapat banyak suku yang mendiami desa tersebut, diantaranya adalah suku Bugis, suku Mandar, suku Madura, suku Jawa, dan suku-suku lainnya.
Dalam sejarahnya, mereka hidup rukun bertetangga dan bersaudara, mereka saling gotong royong dan membantu dalam kehidupan kesehariannya. Wallahualam
M. Ali Burhan. Ketua Yayasan Isykarima Jepara dan Pengurus PC Lesbumi NU