Oleh: M.Ali Burhan
Masyhur dalam kisah bahwa ketika Kanjeng Nabi wafat, beliau tidak mengalami ketakutan atau kekhawatiran terhadap dirinya sendiri maupun keluarganya. Kanjeng Nabi hanya khawatir dengan kehidupan umatnya, masihkah mereka akan tetap teguh dengan ketauhidannya? Masihkah mereka akan menjaga ukhuwahnya? Mampukah mereka menghindar dari segala fitnah dunia? Kekhawatiran-kekhawatiran ini terekam dalam kalimat beliau ketika menjelang kematian.
Terbaring di pangkuan Sang Istri, Siti Aisyah, dari manusia paling mulya ini terucap : “Ummati, Ummati, Ummati.”Kekhawatiran Kanjeng Nabi yang terekam dalam teks ini adalah tanda bahwa Kanjeng Nabi sangat mencintai umatnya.
Jejak-jejak cinta dari Nabi kepada umatnya ini juga banyak terekam dalam teks-teks hadis dan Sirah Nabawiyah, selain itu juga tergambar betapa besar Cinta Kanjeng Nabi kepada ummatnya dalam teks Al-Qur’an Surat At-Taubah 128 yang artinya :
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Pada waktu yang berbeda, Malaikat Jibril menemui Beliau dan terjadi dialog yang juga menggambarkan betapa besar cinta beliau kepada ummatnya. Peristiwa ini terjadi ketika Kanjeng Nabi mengetahui bahwa Allah akan segera memanggilnya.
Rosulullah bertanya : “Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?”
Jibril pun menjawab “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu.”
Namun, hal itu ternyata tidak membuat Rasulullah SAW bahagia. Sorot matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” ujar Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” tanya Rasul.
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku, ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya,’” jawab Malaikat Jibril.
BACA JUGA: Sunan Nyamplungan, Relasi Genealogis Kepulauan Karimunjawa dan Nusantara
Hal diatas adalah sedikit dari bukti kecintaan Kanjeng Nabi Muhammad kepada ummatnya. Pertanyannya adalah, bagaimana cinta kita kepada Kanjeng Nabi? Bagaimana generasi hari ini mengenal Nabi? Setelah mengenal, bagaimana mencintai Nabi? Sementara Kiai-kiai atau ustadz-ustadz hari ini telah banyak tergantikan oleh media-media digital dalam hal transfer pengetahuan.
Pengetahuan tentang Nabi sangat berlimpah di internet, sementara penutur langsung kisah-kisah nabi semakin sempit dan sedikit. Padahal, transformasi ajaran cinta Nabi tidak bisa diwakilkan kepada medsos, ia harus langsung disampaikan oleh guru kepada murid, kiai kepada santri, dengan santri dan murid ini melihat langsung laku gurunya dalam mengamalkan cinta kepada Nabi, atau meneladani Nabi.
Mencintai Kanjeng Nabi Muhammad adalah kewajiban bagi umat Islam sebagai ajaran yang tidak terpisahkan dari Islam itu sendiri.
Ekspresi dari rasa cinta ini bisa dilakukan dengan cara-cara yang bebas dan tidak terbatas kecuali batas-batas larangan syari’at.
Kebudayaan suatu masyarakat akan tercermin dari ekspresi budaya itu sendiri. Maka begitulah, wujud kedalaman batin masyarakat muslim mencintai Kanjeng Nabi akan tercermin dalam laku dan ekspresi mereka menciptakan kebudayaan cinta tersebut.
Diantara ragam ekspresi cinta kepada Kanjeng Nabi dan telah menjadi budaya ini adalah ekspresi warga Kemujan Karimunjawa dengan tradisi “To’dok Telok”-nya. Meskipun tradisi ini berasal dari Suku Bugis, tapi ekspresi perayaan Maulid Nabi ini telah menjadi milik masyarakat secara umum. Suku Jawa, Suju Madura, Suku Bugis, Suku Mandar, dan suku lainnya ikut gembira merayakan Maulid Kanjeng Nabi Muhammad dengan melaksanakan Tradisi To’dok Telok.
To’dok Telok adalah Tradisi yang memelihara kecintaan masyarakat kepada Kanjeng Nabi dan media untuk mengingat kebesaran cinta Kanjeng Nabi kepada ummatnya.
Melalui tradisi ini, kedua entitas (Nabi dan ummatnya) ini saling mencintai dengan tulus ikhlas tanpa ada penghalang diantara keduanya.
Masyarakat muslim Kemujan Karimunjawa tidak membutuhkan perantara tokoh yang disucikan atau mensucikan diri untuk menghantarkan persembahan cinta kasihnya kepada Kanjeng Nabi.
Mereka langsung berhubungan dengan Kanjeng Nabi dalam mengekspresikan kecintaan itu dan begitu juga Kanjeng Nabi akan mencintai mereka tanpa perantara. Wallahua’lam
M. Ali Burhan, Pengurus PC Lesbumi NU Jepara