Oleh: Jumaiyah
Rencana investasi PT. Charoen Pokphand Indonesia (CPI) senilai 26-27 triliun rupiah untuk mendirikan peternakan babi di Jepara memunculkan pertanyaan mendasar: apakah yang legal secara hukum otomatis legitimate secara sosial?
Aspek Legalitas: Jalan Terbuka, Syarat Ketat
Secara yuridis, investasi peternakan babi tidak melanggar hukum Indonesia. UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memberikan jaminan kebebasan berusaha di bidang peternakan, termasuk babi.
Bahkan, berdasarkan notulen rapat MUI Jepara, instruksi langsung dari Kantor Staf Presiden (KSP) menjadi dalil kuat bahwa proyek ini mendapat restu politik tertinggi.
BACA JUGA: Jelang HUT RI ke 80, PLN UIK Tanjung Jati B Salurkan Bantuan kepada Penyandang Disabilitas di Jepara
Namun, legalitas tidak berakhir pada izin prinsip. PT. CPI masih harus melewati serangkaian persyaratan ketat: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), izin usaha peternakan, sertifikat laik operasi, hingga izin impor-ekspor.
Masing-masing tahapan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan filter substantif yang menentukan kelayakan operasional.
Kekosongan Regulasi yang Kritis
Yang mengkhawatirkan adalah minimnya regulasi khusus yang mengatur peternakan babi di daerah mayoritas Muslim. Peraturan yang ada masih bersifat umum dan teknis, belum menyentuh aspek sosio-kultural yang sensitif.
Akibatnya, muncul ruang abu-abu antara yang diizinkan hukum dengan yang dapat diterima masyarakat.
BACA JUGA: APBD Perubahan 2025 Disetujui, Bupati Jepara: Terus Bergerak Menuju Terwujudnya Jepara Mulus
Kasus serupa di Wonogiri yang berujung penolakan masyarakat seharusnya menjadi pembelajaran. Pemerintah pusat tidak dapat hanya mengandalkan instruksi top-down tanpa mempertimbangkan dinamika sosial di grassroot level.
Dilema Otonomi Daerah
Posisi Bupati Jepara dalam kasus ini mencerminkan dilema klasik otonomi daerah. Di satu sisi, ada pressure dari pusat untuk merealisasikan investasi besar yang menjanjikan PAD hingga 1,5 triliun rupiah.
Di sisi lain, legitimasi politik lokal bergantung pada penerimaan masyarakat yang mayoritas Muslim.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk menolak investasi yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Namun, ketika investasi tersebut merupakan “perintah pusat,” ruang gerak pemda menjadi terbatas.
Peran MUI: Fatwa vs Rekomendasi
Menarik mencermati posisi MUI Jepara yang menyatakan tidak berwenang mengeluarkan fatwa, namun akan memberikan kajian kepada MUI Jateng. Secara hukum, fatwa MUI memang tidak mengikat, namun pengaruhnya terhadap legitimasi sosial sangat kuat.
BACA JUGA: Ops Patuh Candi 2025, Satlantas Polres Jepara Sosialisasi Tertib Berlalu Lintas
Pernyataan bahwa proyek ini “secara hukum tidak dilarang” dalam notulen rapat menunjukkan pengakuan terhadap legalitas formal. Namun, frasa “berpotensi menimbulkan resistensi” mengindikasikan kekhawatiran terhadap legitimasi sosial.
Transparansi Proses: Kunci Legitimasi
PT. CPI mengklaim telah melakukan presentasi di MUI Pusat dan koordinasi dengan MUI Jateng. Namun, transparansi proses perizinan kepada publik masih minim. Sosialisasi “secara arif dan bijaksana” yang disebutkan dalam rapat belum terealisasi secara masif.
Dalam era keterbukaan informasi publik, masyarakat berhak mengetahui detail proyek yang akan berdampak langsung pada kehidupan mereka. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan transparansi dalam pengambilan keputusan publik.
Rekomendasi Hukum
Pertama, perlunya regulasi khusus yang mengatur peternakan babi di daerah mayoritas Muslim, dengan mempertimbangkan aspek sosio-kultural tanpa melanggar prinsip non-diskriminasi.
Kedua, penguatan mekanisme partisipasi publik dalam proses perizinan investasi besar, bukan sekadar sosialisasi post-facto.
Ketiga, klarifikasi kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah dalam kasus investasi strategis yang berpotensi konflik.
Keempat, penyusunan protokol khusus untuk investasi di sektor sensitif yang melibatkan semua stakeholder sejak tahap perencanaan.
Legalitas tanpa legitimasi sosial adalah bom waktu. Sebaliknya, legitimasi sosial tanpa landasan hukum yang kuat akan rapuh ketika diuji. Jepara membutuhkan solusi yang memadukan keduanya: investasi yang legal dan legitimate.
Jumaiyah, Dosen Unisnu Jepara