Oleh: Dr. Muh Khamdan
Polemik pembangunan peternakan babi oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia (CPI) di Kabupaten Jepara bukan sekadar isu sektoral. Ini adalah refleksi dari benturan antara logika investasi global dengan realitas kultural, sosial, dan spiritual masyarakat lokal. Investasi sebesar Rp26–27 triliun tentu bukan angka kecil. Namun, ketika ekonomi bertemu sensitivitas keagamaan, maka analisis kelayakan harus diperluas ke ranah etika publik dan akseptabilitas sosiokultural.
Investasi CPI ini menjanjikan kontribusi PAD hingga Rp1,5 triliun per tahun. Dari perspektif ekonomi makro, hal ini sangat menggiurkan. Tapi apakah angka-angka ini cukup untuk menjustifikasi kehadiran industri peternakan babi di wilayah yang dikenal sebagai salah satu kabupaten dengan mayoritas Muslim taat di Jawa Tengah? MUI Jawa Tengah telah memberikan sikap tegas dalam bentuk fatwa haram terhadap pembangunan, fasilitasi, hingga perizinan peternakan babi di daerah ini.
Fatwa tersebut bukan tanpa dasar. MUI memposisikan diri dalam tiga peran utama, yaitu sebagai pelayan umat (Khadimul Ummah) pelindung umat (Himayatul Ummah), dan mitra strategis pemerintah (Shadiqul Hukumah), Sikap ini diambil setelah adanya permintaan resmi dari pihak CPI, yang ironisnya justru menunjukkan bahwa investor belum sepenuhnya memahami sensitivitas lokal sebelum mengajukan rencana besar ini.
BACA JUGA: APBD Perubahan 2025 Disetujui, Bupati Jepara: Terus Bergerak Menuju Terwujudnya Jepara Mulus
Secara hukum positif nasional, tidak ada aturan yang melarang usaha peternakan babi di Indonesia. Asalkan memenuhi syarat lingkungan, kesehatan, dan perizinan, sebuah perusahaan bisa membangun di mana saja. Namun, hukum positif bukan satu-satunya parameter pembangunan. Dalam kasus Jepara, moralitas kolektif dan kearifan lokal justru menjadi fondasi utama penerimaan sosial.
Jepara dikenal dengan semangat religius dan keteguhan budaya. Visi daerah “Jepara Maju, Unggul, Lestari, dan Religius (MULUS)” menjadi kompas arah pembangunan. Maka, muncul pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin membangun peternakan babi di tengah masyarakat Muslim tanpa mengorbankan harmoni sosial, identitas religius, dan kestabilan budaya?
Fakta bahwa CPI mengalokasikan Rp30 triliun untuk pengembangan Jawa Tengah, dengan porsi mayoritas ke Jepara, menunjukkan bahwa daerah ini dianggap strategis. Namun, strategi investasi tanpa strategi sosial akan selalu berujung pada kegagalan legitimasi. Kasus gagal di Wonogiri atas proyek serupa bisa dijadikan pelajaran penting: abai pada kearifan lokal adalah awal dari penolakan publik yang meluas.
BACA JUGA: Wujudkan Semangat Kemerdekaan , YBM PLN UIK Tanjung Jati B Salurkan Santunan untuk Lansia di Jepara
Daripada memaksakan peternakan babi, pendekatan yang lebih bijak adalah menyesuaikan jenis investasi dengan karakter sosial daerah. Dalam konteks Jepara, pengembangan peternakan sapi modern jauh lebih kompatibel. Selain tak menimbulkan resistensi, peternakan sapi mampu menjawab kebutuhan daging kurban tahunan, serta mendukung industri susu, yoghurt, daging olahan, bahkan produk turunan seperti biogas dan pupuk pertanian.
Dengan topografi Jepara yang berada di lereng Pegunungan Muria, ketersediaan air dan sumber pakan hijauan mendukung konsep peternakan sapi berbasis agroekologi. Bahkan, secara finansial, peternakan sapi memiliki nilai tambah multiganda jika didesain terintegrasi dengan pengolahan limbah, wisata edukasi, dan skema kemitraan peternak lokal.
Kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam menjalin kerja sama peternakan sapi dengan Uni Emirat Arab dan negara Timur Tengah lainnya patut dijadikan rujukan. Model kemitraan ini tidak hanya menjanjikan ekspor daging halal ke pasar global, tapi juga meningkatkan ketahanan pangan nasional, membuka lapangan kerja, dan memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi pangan halal.
BACA JUGA: Polres Jepara Gandeng Finalis Duta Anti Narkoba, Gencarkan Pesan Antinarkoba di Kalangan Milenial
Jepara sebagai ikon kreativitas nasional dalam seni ukir dapat mengambil langkah serupa dalam sektor peternakan. Jepara mesti membangun sistem berbasis nilai, bukan sekadar volume produksi. Peternakan sapi yang dikelola dengan sistem industri halal, bersertifikasi internasional, dan menyerap teknologi tinggi akan menempatkan Jepara sebagai episentrum agribisnis baru tanpa menyinggung norma sosial.
Untuk itu, peran pemerintah daerah sangat strategis. Bukan hanya sebagai pemberi izin, tetapi juga sebagai penjaga kohesi sosial dan pengawal pembangunan berkelanjutan. Jangan sampai tekanan investasi membuat pemerintah lupa bahwa legitimasi sosial lebih sulit dibangun daripada sekadar menandatangani izin usaha.
Konsultasi publik, dialog multistakeholder, dan riset dampak sosial harus dijadikan prasyarat dalam pengambilan keputusan. Pemerintah Provinsi maupun pusat mesti menghormati fatwa MUI sebagai representasi suara keagamaan masyarakat lokal. Ini penting demi mencegah potensi konflik horisontal dan menjaga stabilitas keamanan.
Secara keseluruhan, investasi harus diletakkan dalam kerangka keberlanjutan, baik ekonomi, sosial, budaya, dan spiritual. Pembangunan yang bertentangan dengan arus moral masyarakat bukan hanya akan memicu resistensi, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap arah kebijakan negara. Kita harus berani memilih, investasi yang merusak legitimasi atau investasi yang memperkuat harmoni.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; LTN NU MWCNU Nalumsari; dan Analis Kebijakan Publik_