Oleh: Dr. Muh Khamdan
Sabtu malam, 30 Agustus 2025, Jepara berubah wajah. Aksi damai Aliansi Jepara Bersatu yang sejak awal diniatkan sebagai unjuk rasa mahasiswa, mendadak berbelok arah.
Massa yang awalnya berdiri di depan Mapolres Jepara, berteriak menyuarakan kritik politik, tiba-tiba berubah menjadi kerumunan panas. Api ban menyala, batu melayang, dan gas air mata membubung.
Kerusuhan ini tidak berdiri sendiri. Sejak 25 Agustus, rentetan demonstrasi meledak di berbagai daerah. Gedung DPR di Jakarta terbakar, kantor DPRD di sejumlah kota dirusak, bahkan rumah pribadi pejabat publik ikut jadi sasaran. Gelombang aksi ini menunjukkan sebuah pola, dari unjuk rasa politik berubah menjadi amuk massa yang bercampur dengan penjarahan.
BACA JUGA: Evaluasi Kabupaten Sehat 2025, Bupati Jepara Ajak Perkuat Kolaborasi Tingkatkan Kualitas Kesehatan Masyarakat.
Teori mobilisasi massa menjelaskan bahwa kerumunan tidak otomatis menjadi gerakan sosial. Ia butuh pemicu, aktor penggerak, serta simbol yang menyatukan.
Dalam kasus Jepara, keberadaan Aliansi Jepara Bersatu menjadi frame awal. Namun, masuknya ribuan suporter Persijap Jepara usai laga melawan Arema Malang memberi dimensi baru, yaitu massa cair, emosional, dan sulit dikendalikan.
Mobilisasi itu juga ditopang oleh apa yang disebut Charles Tilly sebagai repertoires of contention atau repertoar aksi protes yang diwariskan dan dimodifikasi.
Mahasiswa membawa tradisi orasi dan spanduk, sementara suporter menambahkan nyanyian, teriakan, bahkan kekerasan simbolik berupa pelemparan batu. Perpaduan ini melahirkan energi kerumunan yang cepat meledak.
Teori konflik sosial Randall Collins menyebutkan bahwa konflik tumbuh dari interaksi tatap muka yang dipenuhi emosi.
BACA JUGA: Dedikasi Jelang Hari Pelanggan Nasional, YBM PLN UIK Tanjung Jati B Salurkan Santunan untuk Mustahik Jompo di Jepara
Di Jepara, ketika mahasiswa dan suporter berhadap-hadapan dengan polisi, energi kolektif itu menjelma jadi benturan. Api dan gas air mata mempertebal polarisasi, “kita” melawan “mereka”. Dari situlah konflik meluas, hingga target bergeser ke gedung DPRD.
Gedung DPRD Jepara menjadi simbol. Ia bukan sekadar bangunan, tetapi representasi kekuasaan lokal. Amarah massa menemui obyek konkret. Penjarahan pun terjadi. Di titik ini, teori mobilisasi massa bertemu dengan anatomi amuk: massa kehilangan arah moral, dan tindakan anarkis menjadi pembenaran kolektif.
Namun, berbeda dari tradisi demonstrasi mahasiswa di Jepara yang selama ini damai, aksi kali ini jelas menandai pergeseran. Penjarahan bukan sekadar ekspresi politik, melainkan tada keretakan kontrol sosial. Inilah yang disebut Neil Smelser dalam value-added theory, bahwa ketika ketidakpuasan struktural bertemu dengan pemicu emosional, kerusuhan adalah konsekuensi logis.

Dr. Muh Khamdan
Aparat sejatinya tidak tinggal diam. Barakuda dipasang, Kapolres turun langsung menghadapi massa. Tapi dalam anatomi amuk massa, upaya persuasif sering kalah oleh logika kerumunan. Gas air mata hanya memecah massa, tidak memadamkan api konflik. Sebagian bubar, sebagian lagi melanjutkan perlawanan hingga larut malam.
Pertanyaan penting, mengapa aksi damai bisa melenceng menjadi penjarahan? Jawabannya ada pada infiltrasi aktor provokator. Teori mobilisasi massa menegaskan, selalu ada “entrepreneur politik” yang memanfaatkan momentum. Provokator ini menggeser orientasi massa, dari menyalurkan aspirasi, menjadi melampiaskan destruksi.
Dalam kerangka studi perdamaian, aparat seharusnya bisa memetakan potensi konflik sejak awal. Aksi setelah pertandingan bola sudah jelas berisiko tinggi. Konflik sosial membutuhkan early warning system. Tanpa itu, negara selalu akan berada satu langkah di belakang massa.
Dampak kerusuhan di Jepara tidak berhenti pada kerusakan fisik. Lebih dari itu, citra Jepara sebagai kota damai tercoreng. Investor global tidak akan melihat detail siapa pelaku, mereka hanya membaca satu kata, yaitu instabilitas. Bagi ekonomi lokal, label ini jauh lebih berbahaya dibanding pecahnya kaca gedung DPRD.
Karena itu, penegakan hukum tidak bisa lagi setengah hati. Teori konflik menegaskan, ketegasan hukum adalah mekanisme pemulihan struktur sosial. Penangkapan dan penindakan pidana terhadap provokator adalah syarat mutlak, bukan sekadar pilihan. Tanpa itu, siklus anarki akan berulang.
Namun, hukum pidana tidak boleh ditujukan kepada semua. Demonstran yang murni menyampaikan aspirasi tidak bisa disamakan dengan perusuh dan penjarah.
BACA JUGA: Bupati Jepara: Penerima Manfaat Bansos dan Bantuan Pemerintah harus Faktual
Keadilan restoratif menuntut diferensiasi:, siapa yang melanggar pidana, siapa yang sah menyalurkan aspirasi. Penindakan harus tepat sasaran, agar legitimasi aparat tidak runtuh.
Sementara itu, ruang dialog harus tetap dibuka. Pemerintah daerah dan mahasiswa perlu duduk bersama. Konflik sosial tidak bisa diatasi hanya dengan kekerasan negara. Ia butuh kanal partisipasi politik yang sehat. Jika aspirasi selalu dibungkam, jalan anarki akan selalu tampak lebih mudah.
Jepara butuh rekonsiliasi sosial. Suporter bola harus diberi pendidikan damai, mahasiswa harus menjaga garis idealisme, dan aparat harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Tanpa upaya bersama ini, trauma kerusuhan akan terus membayang, dan kerentanan sosial hanya menunggu waktu meledak kembali.
Kerusuhan di Jepara adalah peringatan. Bahwa demokrasi tanpa kontrol sosial bisa runtuh ke dalam anarki. Bahwa aspirasi bisa direbut provokator. Dan bahwa hukum hanya berarti jika ditegakkan dengan adil.
Bila negara gagal belajar dari amuk massa ini, bukan hanya Jepara yang akan terbakar, melainkan kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum itu sendiri.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Jakarta, dan LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara