Oleh: Dr. Muh Khamdan
Pembentukan Pos Bantuan Hukum Desa (Posbankum) oleh Kementerian Hukum bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal, serta Mahkamah Agung, menjadi salah satu kebijakan hukum paling progresif dalam sejarah modern Indonesia. Inisiatif ini menandai titik balik dalam penyelenggaraan keadilan yang tidak lagi berpusat di kota besar, melainkan bergerak turun ke akar masyarakat desa.
Paralel dengan cita-cita rule of law, Posbankum menjadi instrumen penting dalam memastikan aksesibilitas hukum bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Kehadiran lebih dari 70.000 Posbankum hingga November 2025, dari target nasional 83.957 pos di akhir tahun, membuktikan keseriusan negara menghadirkan keadilan substantif, bukan hanya formal.
Dalam kerangka sosiologi hukum, ini bukan sekadar program administratif, tetapi transformasi sosial yang memperluas dimensi inklusifitas hukum hingga ke ruang sosial paling dasar, yaitu desa.
BACA JUGA: Dukung Ketahanan Pangan dan Peningkatan Ekonomi, Jepara Utara Diproyeksikan Jadi Kawasan Agrowisata
Secara fungsional, Posbankum memberikan layanan gratis berupa informasi hukum, konsultasi, mediasi, dan rujukan litigasi. Hal ini bukan hanya memperpendek jarak antara rakyat dan hukum, melainkan juga mendesentralisasikan peran lembaga hukum formal.
Sebanyak 120.000 paralegal dan kepala desa telah dilatih sebagai juru damai oleh Kementerian Hukum bekerja sama dengan organisasi pemberi bantuan hukum. Ini menunjukkan keberhasilan negara dalam menciptakan struktur sosial baru yang menjembatani antara norma hukum negara dan nilai-nilai hukum sosial masyarakat.
Dari perspektif teori sosiologi hukum Emile Durkheim, inisiatif ini mencerminkan upaya menata kembali solidaritas sosial masyarakat desa. Konflik sosial yang muncul dalam bentuk sengketa tanah, utang piutang, pidana ringan, atau kekerasan dalam rumah tangga kini tidak lagi otomatis berujung pada kriminalisasi, tetapi diarahkan menuju resolusi sosial berbasis musyawarah dan perdamaian. Dengan demikian, hukum berfungsi bukan hanya sebagai alat represi, tetapi juga sebagai sarana rekonsiliasi sosial.
Data dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menunjukkan bahwa hingga 2025, 2.062 kasus telah ditangani Posbankum, dengan dominasi kasus yang bersifat sosial dan ekonomi rakyat kecil. Ini menunjukkan bahwa Posbankum beroperasi di jantung problematika masyarakat desa, menghadirkan solusi hukum yang kontekstual dan sesuai dengan realitas sosial setempat.
BACA JUGA: Negara Hadir, Pemerintah Targetkan 1.285 Desa Terang di 2025
Dalam konteks teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, Posbankum menjadi simbol hukum yang hidup (living law), hukum yang berdenyut dalam dinamika masyarakat, bukan sekadar teks di atas kertas. Hukum yang progresif harus mampu menjawab kebutuhan keadilan riil masyarakat, dan Posbankum hadir untuk memastikan bahwa hukum tidak lagi menjadi milik mereka yang berkuasa, tetapi milik semua warga negara.
Lebih jauh lagi, Posbankum berperan sebagai jembatan menuju restorative justice. Dengan memfasilitasi mediasi dan penyelesaian damai, Posbankum memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperbaiki relasi sosial yang rusak akibat konflik. Dalam banyak kasus, penyelesaian di tingkat desa dapat menghapus pertanggungjawaban pidana pelaku dengan persetujuan korban, sesuai semangat keadilan restoratif yang menekankan pemulihan, bukan pembalasan.
Implementasi konsep ini menjadi semakin penting menjelang pemberlakuan efektif KUHP 2023 pada 3 Januari 2026, yang membuka ruang lebih luas bagi alternatif pemidanaan berupa kerja sosial bagi pelaku kejahatan dengan hukuman di bawah tiga tahun.
BACA JUGA: Jepara Gandeng UGM, Tata Kawasan Wisata Pesisir dengan Sentuhan Sains
Posbankum menjadi kanal awal dalam proses seleksi kasus yang layak mendapatkan perlakuan restoratif, sekaligus mencegah penumpukan perkara di pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Dari sudut pandang struktur sosial hukum, Posbankum menciptakan ecology of justice baru. Desa tidak lagi menjadi objek pembangunan hukum, tetapi subjek yang aktif mengelola dan menegakkan keadilan sosial di lingkungannya.
Paralegal desa dan kepala desa berperan sebagai mediator sosial, memperkuat modal sosial masyarakat dalam menyelesaikan konflik tanpa ketergantungan berlebih pada sistem pengadilan yang formalistik.
Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan membangun kultur hukum partisipatif, di mana masyarakat tidak lagi takut terhadap hukum, melainkan menjadikannya bagian dari kehidupan sosial mereka. Hukum hadir bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai sarana memperkuat solidaritas sosial dan harmoni komunitas.
BACA JUGA: Polres Jepara Usut Kasus Pencabulan Anak di Karimunjawa, Upaya Lindungi Generasi Muda dari Kekerasan
Namun, implementasi Posbankum tidak bebas tantangan. Salah satu tantangan utama adalah menjaga kualitas dan profesionalitas para paralegal, serta memastikan bahwa mereka memahami batas-batas kewenangan dalam memberikan layanan hukum. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan dan sertifikasi berkelanjutan agar kualitas bantuan hukum tetap terjaga sesuai prinsip legal accountability.
Selain itu, kolaborasi lintas sektor harus diperkuat. Kementerian Hukum, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa perlu membangun sistem terpadu dalam pendataan, pelaporan, dan pembinaan Posbankum agar kerja di lapangan sinkron dengan kebijakan pusat. Mahkamah Agung pun perlu memberikan dukungan normatif agar hasil mediasi di Posbankum memiliki legitimasi hukum yang diakui dalam proses yudisial.
Secara konseptual, Posbankum adalah bentuk modernisasi hukum berbasis komunitas, di mana hukum tidak lagi diimpor dari pusat, melainkan tumbuh dari konteks sosial lokal. Dengan demikian, negara sedang menata ulang struktur keadilan melalui rekognisi terhadap hukum adat dan praktik musyawarah sebagai sumber keadilan sosial masyarakat Nusantara.
Akhirnya, keberadaan Posbankum menandai kebangkitan paradigma hukum sosial Indonesia, di mana hukum tidak lagi berjarak dari rakyat. Ia hadir di balai desa, di rumah-rumah warga, di tengah ladang dan pasar rakyat.
Hukum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar instrumen kekuasaan, tetapi alat emansipasi sosial. Dan pada titik inilah, cita-cita hukum yang humanis dan progresif menemukan ruang nyata untuk tumbuh di tanah Indonesia.
Dr. Muh Khamdan, Widyaiswara Kementerian Hukum; Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta