Oleh: Dr. Jumaiyah.SE.M.Si
Di balik dinding rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman, nyawa perempuan justru terus terancam. Kasus terbaru yang mengguncang dunia akademik adalah kematian Dwinanda Linchia Levi, dosen hukum pidana Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, yang ditemukan meninggal di sebuah hotel kawasan Gajahmungkur pada 17 November 2025.
Kasus ini masih dalam tahap penyidikan oleh Polda Jawa Tengah dan belum ada putusan hukum yang mengikat. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuduh atau memvonis pihak manapun, melainkan mengajak refleksi terhadap fenomena kekerasan terhadap perempuan secara umum dengan menghormati asas praduga tak bersalah.
Dilaporkan oleh berbagai media, perempuan muda yang dikenal cerdas dan memiliki rekam jejak akademik cemerlang ini ditemukan dalam kondisi yang dinilai janggal oleh keluarga dan komunitas mahasiswa. Menurut pemberitaan, keluarga korban meminta dilakukan autopsi untuk memastikan penyebab kematian. Hingga kini, penyidikan masih berlangsung untuk mengungkap kronologi kejadian sebenarnya.
BACA JUGA: Cegah Abrasi, 11 Pesisir Pantai di Jepara Diproyeksikan Dibangun Seawall dan Jetty
Terlepas dari hasil akhir penyidikan nanti, kasus ini dan kasus-kasus serupa lainnya mengingatkan kita pada krisis yang lebih besar: fenomena kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida (pembunuhan perempuan berbasis gender), yang terus terjadi di masyarakat kita, seringkali di tangan orang-orang terdekat mereka.
Realitas yang Memilukan
Jakarta Feminist mencatat 204 kasus femisida di Indonesia sepanjang tahun 2024. Angka yang mengejutkan sekaligus menyayat hati: 48% dari pelaku adalah pasangan atau mantan pasangan korban, dan 53% kasus terjadi di rumah—tempat yang seharusnya menjadi surga perlindungan, bukan kuburan harapan.
Komnas Perempuan bahkan mencatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2024, naik 9,77% dari tahun sebelumnya.
Kita ingat betul kasus Nia Kurnia Sari, gadis penjual gorengan keliling di Padang Pariaman yang diperkosa dan dibunuh pada September 2024. Nia, yang bekerja keras menjual gorengan untuk biaya kuliahnya, menjadi korban kejahatan yang tak bisa dimaafkan. Jenazahnya ditemukan setelah dua hari hilang, dikubur di atas bukit setelah lehernya dijerat dengan tali.
BACA JUGA: Propam Polres Jepara Disiplinkan Anggota Saat Pelaksanaan Operasi Zebra Candi 2025
Kasus Argiyan Arbirama (20) dari Depok yang membunuh pacarnya pada Januari 2024 hanya karena korban menolak untuk berhubungan intim. Pelaku mencekik korban hingga lemas, memperkosanya, lalu mengikat tubuhnya dan meninggalkannya mati sendirian.
Fenomena Global
Tragedi ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Kazakhstan, Saltanat Nukenova, seorang perempuan cerdas dan penuh kehidupan dibunuh oleh suaminya sendiri, seorang mantan menteri. Kasusnya menggerakkan jutaan orang di Asia Tengah, menyadarkan mereka bahwa di balik pintu rumah yang tertutup rapat, perempuan sedang menjerit minta tolong. Persidangan yang disiarkan online diikuti lebih dari 3,5 juta orang setiap harinya.
Di Meksiko, Ingrid Escamilla dibunuh dengan begitu brutal pada tahun 2020 hingga memicu gelombang protes nasional. Kematiannya menjadi simbol kegagalan sistemik dalam melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender.
Laporan PBB tahun 2024 mengungkapkan fakta yang membekukan darah: secara global, 85.000 perempuan dibunuh pada tahun 2023. Dari jumlah itu, 60% atau 51.100 perempuan tewas di tangan pasangan intim atau anggota keluarga mereka sendiri. Artinya, setiap 10 menit, satu perempuan di dunia ini dibunuh oleh orang yang seharusnya melindunginya.
Rumah (belum) Menjadi Tempat yang Aman
Budaya patriarki yang mengakar membuat laki-laki merasa memiliki kuasa penuh atas tubuh dan kehidupan perempuan. Perempuan dianggap sebagai properti, bukan partner. Ketika perempuan berani menolak, berani berbicara, atau berani melawan, nyawa mereka menjadi taruhan.Sistem hukum kita juga masih timpang.
BACA JUGA: Jelang Hari Sumpah Pemuda, YBM PLN UIK Tanjung Jati B Gelar Program “Muzakki Mengajar” di Panti Asuhan Mandiri Darul Qur’an Jepara
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak ditindaklanjuti dengan serius. Data KemenPPPA per 2 Desember 2024 menunjukkan bahwa dari 23.461 kasus kekerasan berbasis gender yang tercatat, 20.325 di antaranya dialami oleh perempuan, dengan 14.941 kasus adalah KDRT. Pelaku sering kali mendapat hukuman ringan atau bahkan lolos dari jeratan hukum karena alasan “masalah keluarga”.
Sementara itu, korban harus menanggung beban ganda: trauma fisik dan psikologis, ditambah stigma sosial yang menghakimi mereka sebagai “tidak mampu menjaga keutuhan rumah tangga”.
Ketergantungan ekonomi memperburuk situasi. Banyak perempuan terjebak dalam lingkaran kekerasan karena mereka tidak memiliki sumber penghasilan mandiri. Mereka memilih bertahan—bukan karena cinta, tetapi karena tidak ada pilihan lain. Dan terlalu sering, pilihan untuk bertahan itu berakhir dengan kematian.
Ketika Keadilan Tertunda
Kasus Dwinanda Linchia Levi masih dalam penyidikan, dan kita harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Keluarga berhak mendapatkan kejelasan, mahasiswa berhak menuntut transparansi, dan masyarakat berhak mengetahui kebenaran—semua dalam koridor hukum yang berlaku dan dengan menghormati asas praduga tak bersalah bagi semua pihak yang terlibat.
Namun, kasus ini menjadi pengingat penting: terlalu banyak perempuan yang kehilangan nyawa dalam keadaan yang mencurigakan, dan tidak semua kasus mendapat perhatian serius. Terlalu sering, narasi “bunuh diri”, “kecelakaan”, atau “sakit” menjadi penutup kasus tanpa investigasi mendalam yang memadai.
Levi adalah seorang dosen hukum pidana—seorang akademisi yang mengajarkan tentang hukum dan keadilan. Kematiannya, apapun penyebabnya nanti setelah penyidikan tuntas, adalah pengingat bahwa tidak ada perempuan yang kebal dari ancaman kekerasan, tidak peduli seberapa tinggi pendidikan atau status sosialnya.
Hidup Nyaman tanpa Ketakutan
Betapa kejamnya kehidupan ini untuk perempuan. Mereka harus berjalan dengan waspada di jalan, mengatur pakaian mereka bukan berdasarkan kenyamanan tapi keamanan, memilih rute pulang yang lebih terang meski lebih jauh, dan bahkan harus berpikir seribu kali sebelum menolak ajakan seorang pria—karena penolakan itu bisa berarti kematian.
Perempuan tidak bisa tidur dengan tenang di rumahnya sendiri, karena ancaman terbesar justru datang dari dalam. Mereka tidak bisa percaya sepenuhnya pada pasangan mereka, karena data membuktikan bahwa sebagian besar pembunuhan perempuan dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan.
Kita tidak bisa terus membiarkan ini terjadi. Setiap angka statistik yang kita baca adalah seorang putri, seorang ibu, seorang saudara, seorang teman—seseorang yang memiliki impian, harapan, dan hak untuk hidup dengan aman dan bermartabat.
Saatnya Bertindak
Kita membutuhkan lebih dari sekadar rasa simpati atau postingan media sosial dengan tagar. Kita membutuhkan perubahan sistemik. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas: penegakan hukum yang konsisten dan tegas terhadap pelaku kekerasan, perlindungan hukum yang kuat bagi korban, sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses, serta pendidikan gender yang komprehensif sejak dini.
Masyarakat pun harus berubah. Berhentilah menyalahkan korban. Berhentilah bertanya “Kenapa dia bertahan?” dan mulailah bertanya “Kenapa pelaku diizinkan untuk terus melakukan kekerasan?” Berhentilah menganggap KDRT sebagai “urusan rumah tangga” dan mulailah melihatnya sebagai kejahatan serius yang harus ditindak tegas.
Untuk Nia Kurnia Sari, untuk Saltanat Nukenova, untuk Ingrid Escamilla, dan untuk 85.000 perempuan lain yang kehilangan nyawa mereka pada tahun 2023 akibat kekerasan berbasis gender—kita berhutang keadilan.
Untuk setiap perempuan yang nyawanya terancam oleh kekerasan—baik yang kasusnya sudah terang benderang maupun yang masih dalam penyidikan—kita berhutang dunia yang lebih aman. Kita berhutang masa depan di mana anak perempuan kita tidak perlu hidup dalam ketakutan.
Sudah waktunya kita berhenti menghitung korban dan mulai mencegah tragedi. Sudah waktunya rumah kembali menjadi tempat yang aman, bukan kuburan harapan.
Sudah waktunya perempuan bisa hidup—benar-benar hidup—tanpa harus melihat ke belakang setiap saat, tanpa harus tidur dengan satu mata terbuka, tanpa harus mempertanyakan apakah hari ini akan menjadi hari terakhir mereka.
Karena pada akhirnya, kemanusiaan kita diukur dari bagaimana kita memperlakukan yang paling rentan di antara kita. Dan jika kita terus membiarkan perempuan mati di tangan orang-orang terdekat mereka, maka kita semua telah gagal sebagai masyarakat beradab.
Dr. Jumaiyah. SE.M.Si, Dosen Unisnu Jepara
Disclaimer:Tulisan ini adalah opini penulis berdasarkan data dan fakta yang tersedia secara publik dari berbagai sumber terpercaya. Untuk kasus yang masih dalam proses penyidikan, termasuk kasus kematian Dwinanda Linchia Levi, penulis menghormati sepenuhnya asas praduga tak bersalah dan proses hukum yang sedang berjalan.