Oleh: Muhammad Ali Burhan
“Masyarakat itu mengambil tindakan berdasarkan narasi, bukan logika”. Sepenggal kata dari Bagus Muljadi yang menggelitik pikiran. Teks kunci dari kata-kata ini adalah narasi dan logika. Apa itu narasi dan apa itu logika?
Dalam KBBI dijelaskan, Narasi berasal dari bahasa latin : narratio atau narrare, yang berarti menceritakan atau mengisahkan. Pada uraiannya dijelaskan narasi adalah Satuan linguistik yang luas (ujaran, paragraph, dll) yang isinya merupakan rangkaian kalimat yang berhubungan dari waktu ke waktu.
Dalam konteks ranah politik, Syamsul Arif menulis bahwa “Setiap narasi adalah perjuangan tekstual (wicara/bicara-tulisan) untuk membuat sebuah hal-ihwal diterima dan membuat hal-ihwal yang lain ditolak atau setidaknya ditunda untuk diterima dalam ruang sosial”.
Sedangkan Logika berasal dari kata yunani logos, yang berarti sesuatu yang diutarakan, pertimbangan akal, kata, atau pikiran. Pada uraiannya dijelaskan bahwa logika adalah Pengetahuan tentang kaidah berfikir (jalan pikiran) yang sehat dan benar.
BACA JUGA: Resmi, Rumah Dinas Bupati Jepara Beralih Jadi Museum R.A Kartini
Yang menjadi pertanyaan besar yang penulis adalah bagaimana bisa kumpulan manusia yang disebut masyarakat atau bangsa ini tidak berlogika dalam bertindak? Dan bagaimana narasi menggerakkan mereka?
Di zaman digital ini, masyarakat disibukkan dengan badai informasi yang berganti setiap menitnya. Informasi dengan berbagai hal yang masuk ke otak, saking banyak dan berjubelnya, menjadikan informasi-informasi itu absurd. Sulit dibedakan, mana yang benar mana yang salah, mana yang fakta dan mana yang hoaks.
Informasi maupun berita-berita yang membanjir itupun juga jauh dari konsepsi etika, keberadaban dan konsepsi pembangunan kebangsaan.
Absurditas informasi ini perlahan menumpulkan logika masyarakat. Dengan semakin tumpulnya logika, ada yang berjalan dan konsisten menggerakkan masyarakat, dia adalah narasi.
Narasi dan logika yang bergerak, menjadi timpang ketika dihubungkan. Ketika tulisan ini dibuat, masyarakat kita sedang digiring oleh narasi-narasi gaduh yang absurd.
Maraknya kasus-kasus yang sedang viral hari ini, adalah gambaran nyata absurditas narasi tersebut. Kita menyaksikan bagaimana narasi dan logika tidak nyambung pada informasi-informasi yang penting sekaligus viral hari ini, misalnya tentang kasus ijazah palsu, nasab, feodalisme, korupsi, dll.
BACA JUGA: Dongkrak Seni Ukir Jepara, Pemkab Siapkan Pameran Ukir Bertaraf Nasional dan Internasional
Masyarakat, logikanya di aduk-aduk dengan narasi-narasi yang silang-sengkarut. Hal yang gamblang dan sederhana, menjadi rumit dan njlimet, diputar-putar dengan kata yang jauh dari esensi menuju kebenaran.
Untuk membaca pola kerja narasi dan logika ini, penulis akan mengajak pembaca untuk menengok peristiwa 25 tahun yang lalu. Dengan membaca peristiwa masa lalu, akan lebih memudahkan untuk memahami polanya.
Tahun 2000-an awal ketika Gus Dur menjadi Presiden Indonesia keempat, sebagian besar rakyat beruforia, bersyukur karena dipimpin oleh sosok Kiai atau Tokoh Agama. Namun itu tidak berlangsung lama, bergulir narasi besar bahwasanya demi keutuhan bangsa, Gus Dur sang koruptor layak diturunkan. Gus Dur terlibat dalam kasus Brunaigate dan Buloggate adalah narasi yang dibangun oleh lawan-lawan politik untuk menjatuhkannya dari kursi kepresidenan.
Media-media mainstream dan online, santer memberitakan kasus Buloggate dan Brunaigate yang melibatkan Gus Dur.
Para politisi berbagi peran untuk mengusung narasi ini. Para tokoh partai, tokoh masyarakat, aktivis, dan bahkan tokoh agama diminta komentar-komentarnya yang menyudutkan Gus Dur.
Bagi mereka yang kritis (berlogika), apalagi membela Gus Dur, tidak diberi panggung untuk berpendapat dan membela di media-media mainstream nasional. Arus informasi membanjir mengarah ke Gus Dur. Fakta direkayasa secara massif dengan silat kata media yang menjauhkan logika.
Penggalan dokumen surat Fuad Bawazier tanggal 29 Januari 2001 kepada Akbar Tanjung di buku “Menjerat Gus Dur” karya Virdika Rizky Utama ini bisa menggambarkan satu diantara skenario pelengseran Gus Dur melalui narasi media massa.
… Seluruh kerja Media Massa (cetak dan elektronik) yang bertugas mem-blow-up secara kolosal dan profokatif semua pemberitaan berkaitan dengan tuntutan mundur terhadap Abdurrahman Wahid sudah di arrange langsung oleh Saudara (xxx) dan (xxx), sedangkan operator teknis dilapangan, saya telah menyiapkan banyak kaki di Parlemen.
Penggiringan opini publik oleh para tokoh dan cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Abdurrahman Wahid lewat tulisan di Media Massa yang dimobilisir langsung oleh (xxx), (xxx) dan rekan-rekan (xxx) telah mampu meyakinkan publik bahwa Abdurrahman Wahid telah benar-benar gagal mengemban amanah Reformasi.
Tugas Saudara (xxx) untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto telah berhasil memaksa para Ulama dan tokoh agama mencabut dukungannya kepada Presiden Wahid.”
Dengan posisi Wakil Presiden, (xxx) bisa bermain lincah untuk melakukan penggembosan dari dalam lewat isyu ketidakbecusan Megawati dalam menangani krisis ekonomi dan penyelesaian disintegrasi Bangsa…”
Mayoritas rakyat Indonesia saat itu terhanyut dengan narasi yang sengaja disusun tanpa dasar logika. Satu narasi yang sampai sekarang tidak terbukti, artinya apa? Narasi Gus Dur korupsi itu irasional, narasi itu tidak logis.
Meskipun tidak masuk akal dan tidak logis karena belum adanya pembuktian di pengadilan, faktanya Gus Dur tetap Lengser. Karena tujuannya bukanlah logika tetapi tujuannya adalah Gus Dur lengser. Ini adalah satu fenomena bagaimana masyarakat itu digerakkan oleh narasi, bukan logika.
Lebih jelas lagi, di akhir suratnya, Fuad Bawazier menekankan tujuan dari gerakan pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan.
“Dengan begitu, misi untuk menyelamatkan seluruh aset politik dan ekonomi serta investasi kita serta pengeluarkan 4 T, yang sudah saya sediakan tidak menjadi sia-sia dan dapat mengembalikan kejayaan kita yang telah dirampas sejak reformasi…”
Dari kasus pelengseran Gus Dur ini, gamblang bagaimana masyarakat atau bangsa digerakkan oleh narasi, bukan logika. Seharusnya narasi yang menggerakkan masyarakat didasarkan logika.
Pergerakan narasi yang tidak logis akan membawa sebuah bangsa merosot, bahkan hancur, atau resiko paling kecil adalah menjadi bangsa yang stagnan.
Sementara yang ada hari ini, bangsa kita dalam posisi “miskin narasi”. Belum ada narasi dominan yang diciptakan untuk menggerakkan bangsa ini menuju kemajuannya.
BACA JUGA: Kolaborasi Lintas Instansi, PLN Kebut Pemulihan Kelistrikan Aceh
Dengan tidak adanya narasi besar maka akhirnya masyarakat digerakkan oleh narasi-narasi liar yang itu keluar dari konteks logika berkebangsaan. Kemiskinan narasi ini juga disebabkan karena liberalisme demokrasi yang kebablasan. Sehingga memungkinkan kader-kader bangsa yang tidak bermutu, miskin intelektual dan moral, bisa menjadi pemimpin dengan dasar demokrasi.
Sudah menjadi pemandangan umum di zaman ini, wakil-wakil kita di DPR juga pejabat-pejabat publik, semisal; Bupati, Camat, Kepala Desa, Gubernur, dan jajarannya, bahkan jajaran kepemimpinan nasional diduduki oleh orang-orang yang miskin narasi dan juga minim intelektualitas.
Dari kisah Pelengseran Gus Dur, kita bisa belajar bahwa peradaban dan bangsa yang besar harus digerakkan oleh narasi yang berkesesuaian dengan logika, karena narasi yang tidak berkesesuaian dengan logika akan melahirkan peradaban dan sejarah yang cacat, yang dicatat sebagai aib bangsa. Logika dan narasi harus jalan seiring dan tidak boleh saling bertentangan.
Di sinilah pentingnya bagaimana narasi itu disusun berdasarkan logika oleh para bijak bestari, cendekiawan dan intelektual, sebuah narasi yang logis dan mudah dicerna oleh masyarakat.
Narasi ini kemudian ditindaklanjuti oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang menguatkan jalannya narasi. Sinergisnya para bijak bestari, Intelektual, Cendekiawan, dan pemerintah dalam menggagas narasi yang logis, akan menggerakkan masyarakat menuju kemajuan peradaban yang beradab.
Gus Dur telah berpulang, jejaknya akan tetap kontroversial karena ragam narasi yang mengiringinya. Namun nilai-nilai universalitas yang diusungnya akan tetap dikenang, Gus Dur adalah Bapak Pluralisme yang menjahit bangsa ini dari perpecahan.
Muhammad Ali Burhan, Wakil Ketua PC Lesbumi NU Jepara