LAKI-LAKI berbadan kekar menuntut motornya dari pompa SPBU. Raut mukanya menunjukkan kekesalan karena tepat saat gilirannya dapat BBM Pertalite, harganya sudah naik Rp 10.000.
”Antrean kurang siji wae, malah bensine wes mundak. Mundak gak kiro-kiro,” ujar Priyono.
Kekesalan seperti itu tak hanya diungkapkan Priyono. Keluhan pengendara lain sama. Naik tak bilang-bilang. Mendadak.
Pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan BBM jenis Pertalite, Biosolar dan Pertamax Sabtu, 3 September pukul 14.30. Pertalite dari harga Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Solar dari Rp 5.150 per liter jadi Rp 6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp 12.500 per liter jadi Rp 14.500 per liter.
Di luar Pertamina ternyata masih ada pihak yang menjual di bawah Pertamina walaupun Ron-nya rendah. Yaitu BBM PT Vivo Energy Indonesia yaitu jenis Revvo 89 yang dijual hanya Rp 8.900 per liter pada Minggu (4/9). Karena harganya murah, BBM jenis itu diserbu warga. Antrean di SPBU itu mengular hingga ke luar SPBU itu.
Sayangnya SPBU Vivo itu hanya tersedia di kota-kota besar. Kota-kota kecil seperti Jepara, Pati, Kudus, dan sekitarnya tak ada SPBU jenis itu.
Harga murah BBM Vivo itu kemudian jadi pergunjingan warganet dan media masa nasional.
Karena gunjingan itu pemerintah diduga tertekan.
Tak berselang lama harga Revvo 89 itu berubah menjadi Rp 10.900.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam keterangan tertulisnya membantah bahwa pihaknya intervensi perusahaan itu. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tertuka Ariaji mengatakan pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap penetapan harga jenis bahan bakar minyak umum (JBU).
BACA JUGA: Hormat Kami untuk Merah-Putih, Merdeka!!! (Catatan Redaksi)
Ya, tapi bagaimanapun PT Vivo menaikkan pasca beberapa hari kenaikan BBM pemerintah.
Sebagaimana yang dimuat gistara.com Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah telah memutuskan untuk mengalihkan sebagian subsidi dari bahan bakar minyak (BBM) untuk bantuan yang lebih tepat sasaran. Presiden mengatakan, beberapa jenis BBM yang selama ini mendapatkan subsidi akan mengalami penyesuaian harga.
Demikian disampaikan Presiden saat memberikan keterangan pers bersama para menteri di Istana Merdeka, Jakarta, pada Sabtu, 3 September 2022.
“Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberi subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu. Dan saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM, sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian,” ujar Presiden.
Apakah betul demikian?
Ingat energi BBM itu seperti rantai penghubung. Jika BBM naik, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan BBM langsung dan tidak langsung akan tetap naik.
Jika produsen tidak dapat jatah BBM nonsubsidi, maka dia akan menaikkan harga produksinya. Karena kebutuhannya naik.
Kenaikan itu berakibat segala sesuatu yang terkait, akan dinaikkan.
Maka tepat sasaran ini harus diterjemahkan ulang. Jangan sampai masyarakat kita “blur” pemahaman itu.
PT Vivo yang menjual BBM harga murah bisa, mengapa PT Pertamina tidak bisa. Walaupun ronnya rendah. Apakah kemudian kita menuruti aturan hukum internasional soal ron, atau warga kita dibiarkan mengemban beban tinggi. Karena selain BBM naik, pajak belum lama ini juga naik. Misal PPN menjadi 11 persen.
Pemerintah juga harus melihat Indonesia seutuhnya. Juga nitizen (kalau kita tak bisa bedakan buzer).
Lihatnya masyarakat di pedalaman Jawa Tengah atau laur Jawa. Yang daya belinya juga rendah sebelum BBM naik. Apalagi ini naik.
Ingat juga jika gaji atau upah minimum kabuapaten tak bisa tiba-tiba naik. Seperti halnya BBM ini.
Selanjutnya, para petinggi pemerintah ini tak pernah memberikan opsi penurunan gaji pimpinan pegawai BUMN, DPR RI (DPR), sampai pejabat negara. Padahal gaji merekalah yang sebenarnya membani APBN.
Opsi itu tak pernah dimunculkan saat negara kekurangan uang.
Belum lagi biaya pembiayaan pensiunan DPR RI. Walaupun sekali menjabat, mereka dapat pensiunan.
BACA JUGA: Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW dan Cara Memperingatinya di Indonesia (Catatan Redaksi)
Sebagaimana diketahui, kebijakan pensiun DPR merupakan salah satu wujud dari amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tinggi/Tinggi Negara dan bekas anggota Lembaga Tinggi Negara.
Besarnya pensiun pokok sebulan adalah 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap satu bulan masa jabatan dengan ketentuan bahwa besarnya pensiun pokok sekurang-kurangnya 6 persen dan sebanyak-banyaknya 75 persen dari dasar pensiun.
Pembayaran pensiun diberikan kepada MPR dan DPR secara penuh jika masih sehat. Jika meninggal maka pemberian dana pensiunnya dihentikan. Kecuali ia masih memiliki suami/istri, maka akan tetap diberikan dana pensiun. Namun, nilainya berkurang dari saat penerima masih hidup.
Sementara itu, berdasarkan Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, besaran uang pensiun anggota DPR adalah 60 persen dari gaji pokok. Selain itu, mereka juga mendapatkan tunjangan hari tua (THT) yang dibayarkan sekali sebesar Rp15 juta.
BACA JUGA: Pembentukan PAC IKA PMII Se-Jepara Bikin Keder (Catatan Redaksi)
Dikutip www.idxchannel.com, pada pandemi Covid-19 tahun 2020, kompensasi direksi dan komisaris ditetapkan sebesar USD 38,89 juta atau sekitar Rp565.06 miliar dengan kurs Rp14.529. Tak hanya itu, Direksi mendapatkan USD 27,83 juta atau Rp 404,31 miliar, sedangkan komisaris memperoleh USD 11,06 juta atau Rp160,75 miliar. Gaji di atas dihitung per tahun.
Masih di tahun yang sama pada tahun 2020, terhitung Pertamina mempunyai 6 direksi sudah termasuk Direktur Utamanya. Gaji Dirut Pertamina per bulannya mendapatkan sebesar Rp5.61 miliar, jika dikonversikan selama satu tahun akan memperoleh gaji sebesar Rp67.38 miliar. Itu contohnya.
Kebijakan mengatur ulang gaji mereka seharusnya juga dilakukan pemerintah. Agar Indonesia benar-benar berkeadilan sosial dan bumi dan air di dalam Tanah Air Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Bukan mereka yang menjabat.
Mari kencangkan ikat pinggang. Dan “DIAM”. Karena kita takut “dosa”. (Redaksi Gistara)