Oleh : Murniati*
SECARA GENEOLOGIS, perempuan Jepara khususnya mewarisi keberanian dan semangat juang tiga perempuan pahlawan inspiratif Jepara yaitu: Ratu Shima yang berkuasa pada abad VII Masehi, Ratu Kalinyamat yang berkuasa pada abad XVI dan R.A Kartini pada abad XVIII. Pemerintah Kabupaten Jepara kemudian memutuskan untuk membuat Monumen Tiga Wanita Pejuang Jepara sebagai ikonik Jepara yang diresmikan pada tanggal 22 Desember 2016.
Dalam babakan sejarah, perempuan Jepara sejak zaman Hindu Budha sampai sekarang tercatat menjadi pusara kuasa dan sukses mengemban misi kepemimpinan perempuan hingga Islam masuk ke Indonesia. Perempuan mempunyai kesempatan yang sama dan bisa berkiprah bahkan gerakan dan pemikirannya jauh melampaui zamanya. Sebut saja Ratu Shima yang berkuasa pada abad VII M. Ratu Shima terkenal dengan keadilannya yang membawa Kerajaan Kalingga di sengani kerajaan lintas benua, perempuan kedua muncul pada abad XVI yaitu Ratu Kalinyamat yang membawa Jepara berada dalam puncak kejayaan baik secara teritorial, kemaritiman, politik, dan ekonomi ditandai dengan candra sangkala “Trus Karya Tataning Bumi”. Pada abad XVIII muncul sosok Raden Ajeng Kartini yang berjuang melawan hegemoni kuasa patriakhi dan kungkungan budaya feodal Jawa, tulisan-tulisanKartini di abadikan oleh JH. Abondanom yang terkenalnya ” Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Ratu Shima
Ratu Shima adalah pemimpin (Ratu) perempuan tertua di Jawa tepatnya di daerah Keling, sebelah utara Jawa tengah. Ratu Shima berkuasa antara 674-695 M. Ratu Shima adalah Ratu Perempuan Jawa yang terkenal karena keadilannya dalam memerintah Kerajaan Kalingga.
Berdasarkan cerita rakyat yang turun temurun (folklore) masyarakat Jepara bahwa sosok Ratu Shima adalah Ratu yang sangat dihormati dan disegani rakyatnya. Karena keadilannya pernah suatu Ketika Raja Ta-shih dari Timur Tengah, ingin menguji ketegasan Ratu Shima.
Setelah beberapa bulan, ternyata kantung tersebut masih tergeletak di sana. Akan tetapi, terjadi kesalahpahaman ketika Pangeran Narayana yang merupakan putra Ratu Shima tidak sengaja menyentuh kantung tersebut dengan kakinya. Sebagai seorang ibu, Ratu Shima tidak pandang bulu dalam memberikan hukuman. Ia menjatuhkan hukuman mati kepada Narayana meskipun sebenarnya Ratu Shima sangat menyayanginya. Seluruh pejabat dan keluarga istana Kerajaan Kalingga memohon keringanan kepada Ratu Shima agar pangeran Narayana diberikan ampunan. Namun, Ratu Shima masih tetap dengan pendiriannya untuk menegakkan keadilan. Akhirnya, hukuman mati dibatalkan dan kaki Narayana dipotong sebagai hukumannya karena telah menyentuh barang yang bukan miliknya.
Sikap tegas Ratu Shima tersebut menyebakan rakyatnya sangat tunduk dan menghormati sang Ratu.
Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat (Retno Kencana) atau orang Portugis menyebutnya Rainha de Japora atau sebutan lengkapnya Raiha de Japora, Senhora Paderosa e Rica; Ratu Jepara seorang perempuan yang berkuasa dan kaya raya. Memerintah di Jepara pada tahun 1549-1579 yang merupakan keturunan Demak. Ratu Kalinyamat naik ke-3 Sultan Trenggono dan merupakan cucu dari Raden Patah pendiri Kesultanan demak (Lukito, 2022:70).
Pada masa kecil hingga remaja, Ratu Kalinyamat hidup di Demak Bersama ayahnya Sultan Trenggono Raja Demak dan keenam saudaranya (Babat Demak 2 yang ditulis oleh Sababiuyanto, dalam Lukito, 2022:72). Ratu Kalinyamat dididik ayahandanya pengetahuan tentang keutamaan seorang putri raja, keagamaan, olah kanuragan dan pemerintahan.
Ratu Kalinyamat menikah dengan pangeran Hadiri dan tinggal di dekat Kali nyamat karenanya disebut sebagai Ratu Kalinyamat. Dalam pernikahannya sang Ratu tidak dikaruniai keturunan sehingga sang Ratu Kalinyamat menganggkat Pangeran Arya anak dari Ratu Kirana yang menikah dengan Hasanuddin dari Banten. Pangeran Arya dijadikan sebagai putra mahkota. Ratu Kalinyamat juga mengasuh Arya Panggiri dan Rara Semangkin anak mendiang Sunan Prawata dan Dewi Wulan putri Sultan Cirebon juga diangkat sebagai anak (Lukito, 2022:75)
Ratu Kalinyamat menjadi tokoh penting dan banyak disorot Ketika sang Ratu menggantikaan suaminya Sultan Hadiri yang meninggal tahun1536 M. Peresmian Ratu Kalinyamat sebagai pemegang kekuasaan di Jepara ditandai dengan Candra Sengkala “Trus Karya Tataning Bumi yang berarti tahun 1549 M (Sofiana, 2017)
Keteladanan Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat Peran Menentang Kolonialisme
Pada awal abad ke-16, ketika Malaka sebagai bagian dari jaringan perdagangan nusantara, mempunyai banyak relasi dengan kerajaan di nusantara. Ketika pada tahun 1511, Malaka di bawah penguasaan Portugis, maka muncul upaya penentangan.
Bagaimana peran RK dalam menentang kolonialisme Portugis di Malaka, dapat tergambar dari bukunya Diogo de Couto yang memotret tentang “Rainha de Jepara”
“Ratu dari Jepara mengirim pasukan hebat/tangguh dengan membawa 4.000 sampai 5.000 prajurit siap tempur. Pada bulan Februari 1574 kapal tiba di Malaka dengan keadaan yang menyedihkan. Raja Aceh/Sumatra dan Ratu dari Jepara bertanggungjawab atas kehancuran itu. Ratu dari Jepara, pada bulan Oktober 1574, mengirim armada lagi yang terdiri dari 300 perahu layar setara 80 kapal besar masing-masing berbobot 400 ton, dengan 15.000 prajurit terpilih, lengkap dengan perbekalan, amunisi, dan artileri. (Alamsyah, 2021)
Sepak terjang Ratu Kalinyamat melawan Portugis ini di catat de Couto sebagai “Rainha de Japora” atau Ratu Jepara Yang diundang untuk memberikan bantuan dalam menentang Portugis (Lukito, 2022:87)
Ratu Kalinyamat Peran dalam Bidang Politik, Ekonomi dan Perdagangan
Karya Graaf dan Pigeaud menjelaskan bahwa pada tahun 1536, Sultan Trenggana menyerahkan kota Pelabuhan Jepara kepada menantunya yang bernama Pangeran Hadiri. Pangeran Hadiri adalah suami dari Retna Kencana yang dalam masyarakat Jawa dikenal dengan nama Ratu Kalinyamat. Pangeran Hadirin meninggal dibunuh oleh Aria Penangsang 1549, akibat persaingan perebutan tahta di Demak. Aria Penangsang tewas di tangan Sutawijaya, anak angkat Sultan Pajang Hadiwijaya dengan menggunakan tombak Kyai Plered. Setelah kematian Aria Penangsang 1549, Retna Kencana diangkat menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat. Sultan Hadiwijaya mengambil alih kekuasaan dari Raja Demak, yang kemudian dipindahkan ke Pajang. Ratu Jepara merupakan tokoh penting di Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Barat sejak pertengahan abad ke-16. Pengaruh Ratu Kalinyamat sangat besar di daerah-daerah sepanjang pantai utara sebelah barat sampai di Banten hingga ke Johor, Malaka, Aceh, dan Maluku pada paruh ke dua abad ke-16 (Alamsyah, 2021)
Dibawah kekuasaan Ratu Kalinyamat, Jepara mengalami kebangkitannya, Sang Ratu membangun Pelabuhan yang sangat stategis, karena Pelabuhan Jepara sebagai pengeksport produk-produk hinterland. Disamping Pelabuhan yang sangat stategis, Ratu Kalinyamat juga mengembangkan usaha industry galangan kapal. Sang Ratu juga membangun Jung yang mampu mengangkut barang dan manusia dalam kapasitas besar (Lukito, 2022: 79). Sedangkan dari sisi ekonomi, Demak dan Jepara menjadi tempat pengekspor beras dan bahan pangan lain. Beras yang melimpah dari pedalaman merupakan barang penting untuk diekspor ke Malaka yang berpenduduk padat dan juga diekspor ke kepulauan rempah-rempah (Alamsyah, 2021)
Ratu Kalinyamat dalam Hubungannya dengan Dunia Internasional.
Pengertian hubungan internasional mengacu pada hubungan yang dijalin oleh Ratu Kalinyamat dengan pihak di luar batas wilayah kekuasaannya pada konteks zamannya. Meskipun wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat secara formal hanya di daerah Pati, Jepara, Juana, dan Rembang, namun kebesaran kekuasaan Ratu Kalinyamat tampak dari luas wilayah pengaruhnya. Sebagai raja yang memiliki posisi politik yang kuat dan kondisi ekonomi yang kaya, Ratu Kalinyamat sangat berpengaruh di Pulau Jawa. Pulau Jawa pada konteks zamannya bisa diposisikan sebagai wilayah nasional, sedang daerah luar Jawa dapat dikatakan wilayah Internasional. Oleh karena itu hubungan internasional yang dimaksud pada bagian ini meliputi hubungan antara Jepara dengan daerah luar Jawa seperti Maluku, Aceh, Malaka, dan Johor. Di daerah itu tampaknya Ratu Kalinyamat dikenal sebagai tokoh yang besar peranan dan perjuangannya untuk melawan dominasi asing di wilayah Nusantara alamsyah, 2021)
RA. Kartini (1904)
Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 17 September 1904. Ayah Kartini bernama RMAA. Sosroningrat sedangkan ibunya adalah MA Ngasirah. MA. Ngasirah merupakan istri pertama namun bukan yang utama karena peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristri bangsawan. Untuk itu RMAA Sosronigrat kemudian menikah lagi dengan RA. Woerjan (Moerjam).
Perkawinan RMAA Sosoroningrat dengan MA. Ngasirah melahirkan 8 orang anak yaitu: RM Slamet Sosroningrat, P. Sosroboesono, RM Panji Sosro Kartono, RA Kartini, RA Kardinah, RM Sosro Mulyono, RA Sumatri Sosrohadi Kusumo, RM Sosrorawito. Sementara itu perkawinannya dengan RA Moerjam melahirkan 3 orang anak yaitu: RA Sulastri Hadisosro, RA Roekmini dan RA Kartinah (Sastroatmojo dalam Sudrajat:4)
Kartini lahir dari latar belakang keluarga bangsawan juga merupakan satu-satunya kelompok yang sangat dekat dengan raja. Karena kerajaan merupakan pusat budaya maka dengan demikian bangsawan merupakan konseptor dari kultur masyarakatnya. Dari keluarga seperti inilah Kartini dilahirkan. Keluarga Kartini merupakan kelompok bangsawan yang telah berpikiran maju. Kakeknya, Pengeran Condronegoro merupakan generasi awal dari rakyat Jawa yang menerima pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna. Diantara putra-putra Pangeran Condronegoro yang terkenal adalah Pangeran Ario Hadiningrat, RMAA Ario Condronegoro dan RMAA Sosroningrat. RMAA Condronegoro merupakan seorang sastrawan yang banyak dikenal oleh pembaca baik di Indonesia maupun di Belanda. Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain: Kesalahan-kesalahan dalam berkarya sastra Jawa (1865), Pengelanaan Jawa (1866), dan Kritik dan catatan atas buku karangan Veth “Java” jilid 1 (1875- 1888).
RMAA Sosroningrat, ayah Kartini merupakan seorang bangsawan yang berpikiran maju. Beliau memberikan pendidikan Barat kepada seluruh anak-anaknya karena didorong oleh adanya kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan demi kemajuan bangsa dan negaranya. Sampai usia 12 tahun, Kartini mendapat pendidikan di ELS (Europese Lagere School) dimana Kartini mendapat pelajaran Bahasa Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar yang terbit di Semarang yaitu De Locomotief. Disamping itu Kartini juga sering mengirimkan tulisannya kepada majalah wanita yang terbit di Belanda yaitu De Hollandsche Lelie. Di samping membaca majalah, Kartini juga membaca buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli, lalu De Stille Kracht karya Louis Coperus, dan sebuah roman anti perang yang berjudul Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner (Sudrajat: 5)
Kartini dan Perjuangan kesetaraan Gender
Kartini memperoleh Pendidikan di Elementary School dan Kartiuni bisa menguasai Bahasa Belanda dengan mudah. Modal bahasa inilah yang digunakan Kartini untuk berhubungan dengan teman-temanya di Eropa melalui korespondensi. Kepiawaian Kartini dalam berkirim surat, menyita perhatian Suryanto Sastroatmodjo menyematkan Kartini sebagai seorang penyair prosalistik (Sudrajat: 7)
Sebagian besar surat-surat Kartini mengisahkan keadaan kaum perempuan di Indonesia yang secara umum masih tertinggal, baik dalam bidang pendidikan maupun kesempatan perempuan di ranah publik lainya. Digambarkan Kartini bahwa perempuan Jawa pada waktu itu berada dalam konstruksi patriarkhi dimana aktifitas perempun Jawa pada waktu itu masih berrkutat pada ranah domestik. Bahwa citra perempuan Jawa yang cantik dan anggun itu ketika dia bisa memfungsikan dirinya sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu suami dan melayaninya dengan sepenuh hati. Tiga pekerjaan perempuan Jawa pada waktu itu berkutat pada 3 M yaitu: macak, masak dan manak (bersolek untuk suami, memasak untuk keluarga, dan melahirkan anak).
Melaui tulisan, Kartini menumpahkan semua kegelisahan dan semua ketidakadilan yang dirasakannya dan teman-teman perempuannya kepada sahabat penanya Stella Zeehandelaar seorang tokoh feminis Belanda. Salah satu tulisan Kartini yang dikirimkan ke stella tertanggal 25 Mei 1899 adalah tentang kegelisahan dan posisinya yang tidak bisa keluar dari budaya feodal Jawa yaitu Ketika Kartini mengalami masa pingitan. ”When I reach the age of twelve, I was kept at home. I had to go into the box. I was locked up, and cut off from all communication with the outside world, toward which I might never turn again save at the side of bridegroom, a stranger, an unknown man whom my parents would choose for me, and to whom I should betrothed without my own knowledge…” (Geerttz, Hildred, dalam Sujono:9).
Bagi Kartini masa-masa menjalani pingitan merupakan masa-masa kelam dalam perjalanan hidupnya, apalagi dia kemudian tahu bahwa orang tuanya telah mempersiapkan seorang laki-laki yang tak dikenalnya sebagai calon suaminya. Kartini kemudian menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah memiliki 3 istri. Demikianlah budaya feodal Pribumi kala itu, dan Kartinipun tak kuasa menentangnya.
Akan tetapi Kartini memiliki keinginan untuk medirikan sekolah yang disampaikan kepad suaminya. Suami Kartini mendukung penuh keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah untuk perempuan pribumi. Kartini memperoleh kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Narasi diatas menggambarkan terjadi suatu masalah yang sangat signifikan yaitu adanya ketidakadilan yang terjadi pada kaum perempuan, dan masalah itu adalah ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dalam hal seperti aspek pendidikan, sosial, budaya dan lainnya. Dari situlah sebuah faktor pendorong Kartini ingin mendobrak dan menjunjung tinggi martabat seorang kaum perempuan (Karlina, Hudaibah, 2020:41).
Alasan Kartini melakukan upaya pemberdayaan perempuan melalui pendidikan karena bagi Kartini peradaban dan kemajuan bangsa bisa terwujud jika perempuan mempunyai kesempatan yang luas untuk mengenyam Pendidikan. Karena Kartini memandang bahwa Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting, dengan Pendidikan maka perempuan Pribumi mampu mengangkat martabat dan derajat kaum perempuan (Karlina, Hudibah, 2020:1)
Tujuan pendidikan perempuan R.A. Kartini adalah menjadikan kaum perempuan sebagai perempuan yang cakap baik serta mandiri yang sadar akan panggilan budinya, sanggup menjalankan kewajibannya dalam masyarakat(Karlina, Hudaibah, 2020:40)
Bukti keseriusan perjuangan Kartini adalah ketika Kartini mendirikan Sekolah Kartini. Sekolah Kartini pertama kali dibuka oleh R.A. Kartini dan Rukmini pada tahun 1903. Sekolah ini dikhususkan untuk para wanita dan diprakarsai oleh R.A. Kartini pada tahun 1903 di kota Jepara. Pada awal berdiri hanya ada 9 orang dan semakin lama muridnya makin bertambah. Materi yang diajarkan berupa membaca, menulis, menjahit, dan lainnya, seperti konsep pendidikan yang digagas oleh R.A. Kartini tanpa melibatkan kurikulum pemerintah, karena tujuannya bukan hanya memberikan pendidikan umum saja, tetapi juga pendidikan budi pekerti. Sekolah R.A. Kartini juga dibuka di Rembang. Sekolah Kartini juga mengajarkan materi agama, karena agama adalah materi dasar yang dijadikan untuk memahami ilmu pengetahuan yang lain. Alasan Kartini mengajarkan materi agama ialah karena agama mempunyai peran yang besar bagi peradaban manusia. Dasar dari pendidikan seorang anak adalah agama yang baik (Mulyohardjo, dalam Karlina, Humaidah, 2020: 41).
Kartini Pahlawan Nasional dari Jepara
Keputusan Ir. Soekarnon Presiden Republik Indonesia melalui SK Presiden RI nomer 108 pada tanggal 2 Mei tahun 1964 yang isinya adalah menetapkan Kartini sebagai pahlawan kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini , tanggal 21 April sebagai peringatan hari besar Nasional yang kemudian hingga hari ini kita kenal sebagai hari Kartini.
Keteladanan R.A. Kartini
Melihat sepak terjang dan perjuangan R.A. Kartini dalam bidang Pendidikan dan dalam memperjuangkan emansipasi perempuan Boemie Poetra, Keteladanan yang bisa kita ambil sampai sekarang adalah:Pertama, Keberanian kartini untuk mendobrak budaya patriarkhi dan feodalistik terhadap perempuan Jawa, Kedua, Kemandirian, Kartini dalam mengatasi persoalan perempuan Jawa untuk berdaya , Ketiga,Budi pekerti, Keempat, Pendidikan, Kelima, Korespondens, Keenam, Berbudaya, Ketujuh, Kesetaraan, Kedelapan, Emansipasi dan Kesembilan adalah Nasionalisme.
Nasionalisme Kartini dapat dilacak dari pemikirannya yang terdapat dalam surat-suratnya. Nasionalisme Kartini merupakan refleksi sosial yang kritis dari seorang wanita Indonesia yang didasarkan pada religieusiteit, wijsheid en schoonheid (ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan) ditambah dengan humanitarianisme (kemanusiaan) dan nasionalisme. Nasionalisme yang tampak dalam pandangan Kartini dapat dikategorikan sebagai sebagai nasionalisme Universal dalam arti gagasan-gagasan yang diungkapkan mengandung nilai-nilai Universal, seperti pendidikan, persamaan derajat, dan solidaritas sosial.
Semua Gerakan dan pemikiran Kartini adalah bagaimana kesetaraan gender itu bisa terwujud pada perempuan Pribumi. Membuat perempuan Pribumi berdaya dan setara diwujudkan Kartini dengan memberikan kesempatan perempuan Pribumi mengenyam Pendidikan seluas-luasnya. Semua kegelisaan dan cita-cita mulia Kartini selalu ditorehkan dalam surat-suratnya kerpada sahabat-sahabatnya di Belanda. Dan JH. Abondanom menguimpulkan surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Belanda dengan judul “Door Duisternis Tot Licht (Out of Dark Comes Light)” Habis Gelap terbitlah terang.
Spirit perjuangan tiga tokoh perempuan Jepara tersebut seharusnya selalu menginspirasi generasi sekarang, ditambah lagi semangat leadership Ratu Shima abad ke-7, Ratu kalinyamat abad ke-16 dan RA. Kartini abad ke-18 semakin menguatkan eksistensi perempuan Jepara khususnya dalam laku politik, pendidikan, ekonomi, social budaya, keagamaan dan domestic dan public.
*Murniati, Ketua Pusat Study Ratu Kalinyamat Unisnu Jepara & Ketua Yayasan Perempuan Mandiri Jepara (YPMJ)
Daftar Pustaka
- Karlina, Hudaibah, 2020, Pemikiran Pendidikan dan Perjuangan Raden Ayu Kartini untuk Perempuan Indonesia, Jurnal Humanitas, Vol.7 No.1, Desember 2020, hal.35-44
- Lukito, Ratno, dkk, 2022, Laporan Hasil Penelitian empiric Ratu Kalinyamat Perempuan Perintis Anti Kolonialisme 1549-1579
- Sofiana, Anas, 2017, AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 5, No. 3
- Sudrajar, Kartini; Perjuangan dan pemikirannya,—-
- Alamsyah, Menggali Peran Besar Ratu Kalinyamat dalam Sejarah Indonesia, Naskah Akademik, tidak dipublikasi
- “Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga (674-695 M)”, https://tirto.id/f7Di, diakses tanggal 19 November 2022 pukul 21.30 wib