
BEDAH BUKU – Diskusi dan bedah buku Feminisme Nusantara bersama Nurul Khotimatul beserta penulis Debora Natasia, M. Ohan, dan Katharina. (Foto: Husni/Gistara)
JEPARA | GISTARA.com – Membincang perempuan tak lepas dari peran ibu rumah tangga yang mana mengurusi sumur, dapur, dan kasur. Namun bukan itu pembahasan dalam sesi diskusi yang di inisiasi Lentera Kartini, Sabtu, (4/2/2023) di Swasana Kopi Tahunan Jepara.
Diskusi itu membahas dan membedah buku Feminisme Nusantara. Perempuan memiliki ruang gerak tak terbatas, sebagaimana laki-laki. Perempuan memiliki peran penting dalam segala sektor baik pendidikan, sosial, budaya, maupun politik.
Ketua panitia Elsa megatakan, isu feminisme tak lepas maraknya kasus asusila dan pelecehan seksual utamanya di kota Jepara. Diskusi yang diikuti puluhan siswa, mahasiswa dan pegiat gender Jepara bertujuan menciptakan kesetaraan dan menurunkan kesenjangan sosial antara kaum laki-laki dan perempuan.
Buku karya Debora Natasia dan M. Ohan menerangkan tentang mitos-mitos feminisme di Indonesia. Ada sepuluh tema yang dibahas didalamnya diantaranya, Gayatri, Calon Arang, Ratu Kalinyamat, Calabai, Kuntilanak, Srikandi, Malinkundang, Warok dan Gemblak, Misteri Evol Feminis dan Perlawanan Kretek Roro Mendut.
“Buku ini menarik,” ungkap Nurul Khotimatul salah satu pembedah buku. Menurut buku yang Ia baca ada dua mata pisau tentang perempuan. Perempuan itu cantik, indah, dan anugerah. Karena kecantikannya menjadikan objek ketidakadilan.
BACA JUGA: Menarik! Tour Novel ‘Cita-Cita Titik Dua Petani’, Nasib Petani Harus Diutamakan
Satu contoh yang menarik dari buku ini, menceritakan bagaimana perempuan memiliki value yang tinggi. “Artinya mau sebagaimanapun ruang yang diberikan, namun perempuan itu sendiri tidak mau memanfaatkan dan menempatkan dirinya ‘yowes’ tidak memiliki arti apa-apa,” ungkap Nurul Khotimatul.
Mengingat kebudayaan Nusantara sering melekat dengan stigma sebagai setting sosial patriarki, tidak memberi ruang terhadap perempuan, dan berbagai stigma lain yang seakan meragukan Nusantara punya khazanah kesetaraan gender.
Memang tidak dapat kita pungkiri kebiasaan di Nusantara yang tidak ramah perempuan. Kebiasaan yang lekat dengan patriarki. Misalnya, kebiasaan pelanggengan nikah dini sehingga perlunya upaya pencegahan.
Sementara Hindun Anisa sebagai Keynote Speaker mengartikan feminisme dan Islam tidak perlu dipertentangkan, menurutnya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama diciptakan dari ‘Nafsun Wahida’.
Sehingga tidak heran jika banyak perempuan Nusantara yang tampil sebagai sosok pemimpin seperti R.A. Kartini, Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat. Ini tentu menggambarkan kalau sejatinya sosial budaya Nusantara tidak membatasi ruang gerak perempuan. Ada kesetaraan gender dalam budaya Nusantara. (Husni/Gistara)