JEPARA | GISTARA.com – Gus Dur melihat perempuan tidak hanya sebagai objek. Namun mengayomi hingga memberdayakan. Suara Gus Dur dalam membela hak-hak perempuan tidak selalu heroik.
Kalimat itu muncul disebabkan, karena ada salah satu tokoh gerakan feminisme Indonesia, Julia Surjakusuma, yang menyemprotnya dengan keras bahwa Gus Dur memiliki pandangan bias terhadap perempuan.
Hanya karena Gus Dur melontarkan joke tentang perkawinan Marlyn Monroe dan Einstein, yang alih-alih menghasilkan anak secantik Monroe dan secerdas Einsten sebagaimana yang diidamkan Monroe, malah yang dikhawatirkan Eintein adalah sebaliknya, wajahnya sejelek Eisntein dan otaknya seperti Monroe.
Joke itu mungkin membuat di mata para feminis gelombang kedua, nama Gus Dur sudah disilang merah dari gerakan feminisme.
Sehingga membuat Gus Dur menyatakan simpatinya terhadap gerakan feminisme menurun (decline). Orang seperti Gus Dur yang selama ini dikenal melihat dan memperlakukan perempuan dengan adil bisa kehilangan respek terhadap gerakan feminisme.
Hal tersebut dibahas dalam diskusi Gusdurian yang disampaikan salah satu penggerak Gusdurian Jepara Wahyuni Ahad, (9/4/2023) di kediaman sedulur Najib, Kecapi Tahunan Jepara. Diskusi kali kedua dibulan ramadan itu mengangkat tema ‘Gus Dur dan Gerakan Feminisme’.
Bicara feminisme sendiri, Wahyuni mengungkapkan, Feminisme merupakan sebuah gerakan baik sosial, politik, bahkan ideologi. “Feminisme itu gerakan. Kenapa anggotanya selalu perempuan. Karena perempuan masih menganggap dirinya dilemahkan belum memiliki kesetaraan antara laki laki,” terangnya.
Seiring berjalannya waktu, feminisme tidak hanya perempuan. Bentuk perjuangan untuk perempuan itu bisa datang dari siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.
Pandangan Gus Dur kali ini berbeda, bicara feminisme tidak melulu harus heroik. Wahyuni mengartikan Bahwa pejuang feminis tidak selalu harus dengan aksi-aksi heroik, namun dapat dilakukan dengan karya tulisan.
Selain itu ada beberapa sikap yang perlu diambil dalam memaknai feminisme seperti yang dicontohkan Gus Dur.
Misalnya, Gus Dur melihat praktik al-washiyat al-wajibah (membagi harta waris sebelum meninggal dunia) sebagai praktik resistensi perempuan lokal ketika faraid (fiqh formal) tidak mencerminkan keadilan gender. (Husni/Gistara)