Konon, orang-orang mengakui agama memberi kaidah-kaidah makan. Mereka mengerti makan berurusan dengan dunia dan akhirat. Makan bukan sekadar peristiwa duniawi atau terbatas raga. Orang-orang pun mengakui pengetahuan dan tata cara makan diperoleh dari para leluhur. Mereka diajak insaf atas hubungan manusia dengan makanan tersedia di alam. Hubungan “selaras” memungkinan peristiwa makan tak membuat kehancuran dunia.
Sekian dalih menjadikan kita berpikiran makanan setiap hari. Di gerakan waktu, kita tak merasa selesai atau memadai dalam pemaknaan makan. Mata melihat makanan berarti “melihat” segala untuk masuk raga. Segala itu bisa “menghilang”, “berubah”, atau “menetap” saat kita mengartikan dengan ilmu-ilmu atau kebiasaan. Di ujung renungan tergesa: kita mengaku memakan dunia.
Di setiap zaman, ajaran dan kritik atas makan beriringan tanpa selesai. Pada abad XX, kita pernah menduga manusia sulit makan akibat perang, bencana, bisnis, dan lain-lain. Abad itu berlalu dengan ketagihan makan. Konon, industri makan terus meningkat tanpa mengenal tamat. Pada abad XXI, kita masih mengaku makan dunia gara-gara industri makanan makin melipatgandakan godaan. Ketagihan berbarengan kenestapaan jutaan manusia akibat makanan.
Kita mengutip ocehan Pau McMahon dalam buku berjudul Berebut Makan: Politik Baru Pangan (2017) untuk mengerti makna makan(an), kita, dan dunia: “Tak ada keraguan bahwa kita memang kini memasuki suatu masa penuh tantangan. Jumlah penduduk dunia akan bertambah terus dari 7 sampai 9 miliar untuk empat puluh tahun ke depan. Setiap tahun, selalu ada tambahan 80 juta mulut perlu disuapi.” Kalimat itu peringatan. Kita menganggap Bumi tetap memiliki segala hal agar bisa dimakan miliaran manusia. Anggapan kadang dimunculkan bukan sebagai pemuliaan tapi penghancuran.
Orang-orang membaca kitab suci. Keinginan mengetahui peran manusia selama di dunia berkaitan makan. Sekian hal dipelajari demi tercipta bahagia bersama di dunia. Makan menjadi referensi pembentukan dan sebaran bahagia. Bersumber kitab suci, makan menjadi peristiwa religius. Makan pun memuat kadar makna keagamaan dan kemanusiaan.
Di mitos-mitos, orang-orang melakukan penalaran dan pengimajinasian tentang makan(an). Mereka bertemu rahasia. Makan memang bukan melulu mulut dan perut. Di mitos, makan(an) mendapatkan pengisahan panjang dan rumit. Kemauan mengerti memerlukan kesabaran menerjemahkan atau menafsirkan simbol-simbol. Kelelahan mengerti makan(an) dalam mitos disusul pemanjaan imajinasi melalui industri makanan. Orang-orang lekas terlena untuk makan dan memuja makanan-makanan mengacu iklan atau “khotbah” bisnis terindah.
Kita kadang insaf dan ingin memegangi kaidah-kaidah agar tak rakus dalam makan. Kesadaran atas makna makanan bukan memuncak kenikmatan tapi kebaikan, kebenaran, dan kesucian. Orang-orang mulai mempelajari makan(an) melalui pelbagai bacaan, seminar, pengajian, dan lain-lain.
BACA JUGA: Bapak, Buku, Pembaca
Kita membuka buku berjudul Food Rules: Pedoman Bagi Para Penyantap Makanan (2011) susunan Michael Pollan. Buku tipis bergelimang nasihat dan “lelucon” membuat kita malu atas kedangkalan pengetahuan makanan. Kita mendapat petunjuk berdasarkan pengamatan: “Masyarakat yang banyak mengonsumsi makanan khas Barat – biasanya didefinisikan sebagai pola makan yang terdiri dari banyak makanan dan daging olahan, banyak tambahan lemak dan gula, olahan biji-bijian, banyak tambahan lain kecuali sayuran, buah, dan biji-bijian murni – banyak menderita penyakit khas Barat seperti obesitas, diabetes melitus, dan kanker.” Kita diajak memikirkan lagi makanan-makanan tradisional tanpa pemujaan (lagi) atas industri pangan diajarkan Barat.
Petunjuk baik saat kita “telanjur” dalam pikat makanan-makanan Barat. Keluarga-keluarga belajar memuja makanan Barat dari iklan, televisi, media sosial, film, dan buku. Pada suatu masa, makanan-makanan itu menampilkan puncak-puncak kenikmatan. Makan(an) berdampak dalam pembentukan identitas di pergaulan global. Kita terlambat memikirkan sakit dan mati.
Pelajaran-pelajaran konsumsi makanan memang diperoleh dari Barat. Kita mengingat pelajaran-pelajaran telah diberikan saat masa kolonial. Sejak awal abad XX, tata cara makan dan selera makanan berubah: cepat atau lambat. Perubahan terjadi disokong dengan pendidikan menghasilkan kaum terpelajar, pesta-pesta di kota, bisnis restoran, kebijakan pertanian, dan industri surat kabar. Kita belum lekas memikirkan “menang” atau “kalah” saat pelajaran-pelajaran Barat terus berdatangan ke tanah jajahan. Pengakuan terpenting: pelajaran-pelajaran itu berpengaruh sampai sekarang. Barat menjadi kiblat makan(an).
Di buku berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) garapan Fadly Rahman, kita diajak kembali melacak makanan-makanan warisan leluhur dan pengaruh-pengaruh Barat. Kita diberi keterangan, bukan ketakutan dominasi Barat: “Citra makanan Indonesia memang identik dengan keragaman dan keunikan budaya serta kaya akan citarasa. Keragaman, keunikan, dan kekayaan itu terbentuk melalui proses sejarah yang berlangsung dalam kurun waktu panjang serta dipengaruhi berbagai unsur global.” Kita ke sejarah saat makan(an) belum terlalu bermasalah seperti sekarang. Kita mulai diajak membuat penetapan dan sadar cap atas makanan-makanan Indonesia. Ajakan mengandung dilema dalam pembenaran dan pemaknaan.
Kini, kita diajak belajar lagi tentang manusia, makan(an), dan agama setelah lelah dengan beragam masalah makan dijelaskan kaum terpelajar atau pakar makanan. Kembali ke kitab suci, kita membaca petunjuk-petunjuk makan(an) berpahala, bukan menghasilkan dosa-dosa. Kita diajar menjadi manusia sadar ibadah. Makan bukan melulu tindakan memenuhi hasrat-hasrat duniawi. Di situ, ada perintah dan larangan berpijak agama. Pada saat kembali ke kitab suci, kita justru dihajar ribuan iklan menjajakan makanan-makanan mengaku terbaik, ternikmat, terkenal, dan terindah. Iklan-iklan mengabarkan industri makanan justru membuat serbuan besar saat orang-orang mengalami bulan suci. Begitu.