Pada 1924, lahir Javid Iqbal. Pada saat dewasa, ia pergi studi ke Inggris. Pulang, ia bekerja sebagai pengacara di Lahore, Pakistan. Javid Iqbal, tak sekadar nama milik lelaki terhormat. Nama itu melampaui sosok.
Ia lahir dan tumbuh dalam kasih dan misteri bapak. Ia memiliki bapak bernama Muhammad Iqbal (1877-1938). Di Pakistan, India, dan Eropa, Muhammad Iqbal itu filosof dan pujangga. Persembahan terus dibaca jutaan orang sampai sekarang: puisi. Muhammad Iqbal menekuni sastra tapi bergairah mengurusi filsafat dan mendalami Islam. Ia memberi puisi untuk kekuatan-kekuatan terkandung dalam diri pernah memuncak dan sempat terjeda.
Pada 1932, terbit buku puisi berjudul Javid Nama gubahan Muhammad Iqbal. Kita mengerti dalam terjemahan bahasa Indonesia: “kitab keabadian”. Pemberian judul pun mengarah ke pemberian pesan-pesan kepada Javid Iqbal. Muhammad Iqbal mengenalkan buku dan anak saat ia telah meraih ketenaran dalam sastra dan keintelektualan, tak sekadar di India. Ia mengembara ke Eropa, mendapat sambutan dan pengakuan.
Orang membaca Javid Nama berarti mengembara. Konon, buku itu memiliki kemiripan tata bercerita mengacu Divina Commedia gubahan Dante Alighieri. Muhammad Iqbal mengajak pembaca mengembara ke pelbagai tempat, mengunjungi planet-planet. Perjumpaan dengan para tokoh. Kunjungan ke gagasan dan suguhan renungan-renungan.
Orang khatam Javid Nama perlu mengetahui jalinan Muhammad Iqbal dan Javid Iqbal. Bapak dan putra dalam samar dan terang. Pada saat remaja, Javid Iqbal melihat sosok bapak: “Dia tidak terlalu suka keluar rumah. Kesenangannya adalah duduk di atas sofa kamarnya, atau berbaring santai di atas tempat tidurnya. Pada saat-saat itulah dia membaca atau menulis. Kadangkala dia begitu asyik membaca, hingga lupa sudah makan atau belum.”
BACA JUGA: Rumah dan Masjid
Bapak dan buku-buku. Sejak lama, bapak memang pembaca tangguh dan serakah. Ia memuliakan buku. Di waktu bergerak, pikiran terus bergerak. Di depan buku, mata bergerak ke makna. Pada saat menua, Muhammad Iqbal masih memilih bersama buku-buku meski merasa sepi.
Javid Iqbal mengisahkan filosof tua kesepian: “Ayah biasanya tidur begini: Dia baringkan tubuhnya ke kanan lalu diselipkannya lengan kanannya di bawah bantal. Kadangkala sambil berbaring dalam posisi demikian, digerak-gerakkannya sebelah kakinya. Itu artinta dia tidak sedang tidur, tapi tengah berpikir. Kalau dia memang benar-benar tidur lelap, dengkurnya terdengar keras.”
Di rumah, lelaki itu masih menjadi “pusat” dalam pergolakan sastra dan filsafat (Islam). Di luar rumah, buku-buku Iqbal terus mendapatkan pembaca. buku-buku diterjemahan beragam bahasa, memunculkan pengikut dan pembantah. Muhammad Iqbal menjadi referensi. Di rumah, Javid Iqbal masih meragu dalam mengenali bapak. Ia tak cukup dengan bersama di keseharian atau membuka kenangan-kenangan.
Bapak tampak dekat. Bapak pun tampak jauh: menunggu dimengerti dengan tabah dan pertambahan usia. Javid Nama sudah dibaca orang-orang tapi Javid Iqbal masih membaca bapak. Pada suatu masa, berlanjut untuk dibaca bersama Javid Nama.
Di buku berjudul Sisi Manusiawi Iqbal (1992) terbitan Mizan, kita membaca tata cara Javid Iqbal mengenali sosok bapak dan mendalami tulisan-tulisan Muhammad Iqbal. Ia sebagai anak dan “buku” bagi Iqbal. Ia pun berharap bapak pun “buku” untuk dibaca susah rampung.
BACA JUGA: Padi: Puisi dan Ritual
“Dia jarang memeluk atau menciumku,” kenang Javid Iqbal. Bapak tampak kaku tapi penuh kasih dengan sikap dan bahasa berbeda. Javid tak lama bersama bapak. Ia masih bertumbuh saat Muhammad Iqbal menua dan sakit. Pada babak akhir, Javid Iqbal ditinggal bapak dan sadar untuk terus berjalan: “Kepergian seorang ayah adalah kehilangan yang memilukan. Tapi, pada usia empat belas tahun, aku sepenuhnya menyadari apa sesungguhnya yang hilang dengan kepergian ayahku.” Javid tetap bersama bapak saat membaca buku-buku diwariskan. Ia bertambah usia dan makin mengenali bapak dengan khatam buku-buku.
Kita membuka Javid Nama dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia menjadi Javid Namah: Kitab Keabadian (2021). Buku telah terbit dalam beragam bahasa di Eropa dan pelbagai negara. Ingat buku, ingat Javid mendapat pesan-pesan dari Iqbal untuk menjadi “penerus” demi pemajuan Islam.
Di bagian akhir, Muhammad Iqbal sajikan deretan kalimat serius berpesan: “Tak ada gunanya menyusun kata demi kata karena yang terjadi di kedalaman lubuk hati berada di luar jangkauan bahasa. Meski telah kusingkap ratusan hal yang halus dan pelik, ketika suatu pikiran yang belum kutuliskan datang padaku, ia jadi lebih samar manakala kucoba mengungkapkannya. Huruf dan kata lebih sebagai tabir yang menutupinya daripada menjelaskannya. Tangkap hakikatnya dalam pandanganku, atau dalam munajatku di kebeningan subuh!”
Javid Iqbal membaca pesan. Kita pun membaca ikhtiar bapak mengasuh putra dengan pertaruhan bahasa. Di situ, ada waktu minta diterima dengan ketulusan dan permakluman saat dalih-dalih tak menjadikan semua terang.
Di hadapan Javid Nama, kita mengandaikan Javid Iqbal bersama bapak sedang bertutur dalam ketenangan dan kehangatan. Dulu, Muhammad Iqbal sempat berpikiran berat: “Aku khawatir akan zaman yang menyaksikan kelahiranmu ini karena ia tenggelam dalam benda dan hampir-hampir tidak tahu apa-apa tentang ruh.” Javid Iqbal mengetahui buku itu terbit saat ia masih bocah. Ia sanggup membaca dengan pertambahan usia dan pengetahuan meski tak pernah sampai paripurna. Begitu.