JEPARA | GISTARA.COM – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dikenal cetak kader kritis progresif, ternyata, ada salah satu kadernya yang memilih jalan lain.
Kader tersebut bernama Miftahur Roqib, yang saat ini menjadi Anggota DPRD Kabupaten Jepara dari PKB.
Dia memutuskan menjadi kader yang berbeda, yaitu dengan mengedepankan pendekatan persuasif. Menghindari aksi dan mengupayakan audiensi.
Roqib, sapaan akrabnya, selama menempuh pendidikan di Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Kabupaten Kudus tahun 1990/1991, ia diwarisi kultur perdamaian.
“Saya mengakui sendiri berbeda dengan kader Semarang dan Yogyakarta. Gerakan kita berbeda, sana progresif sini persuasif. Kudus lebih sejuk, tapi tujuan kita sama, keadilan,” papar Roqib yang juga pernah menjadi Petinggi Desa Pancur. (31/10/23).
Meski persuasif adalah senjatanya, namun karena dididik di Jurusan Aqidah Filsafat, sisi kritisnya boleh diadu dengan kader lain. Sehingga tidak heran, ternyata ketika mahasiswa, fokus kepada pengembangan diskusi.
Sumber Daya Manusia (SDM) tiap kader dichargher secara masif dan komprehensif. Dari diskusi itu muncul gerakan, jika diprosentasekan 10% progresif, tapi 90% tetap komunikasi persuasif.
BACA JUGA : Ribuan Jamaah Hadiri Haul KH. Ahmad Fauzan ke-51 di Bangsri

Miftahur Roqib. Foto : dok. pribadi/gistara. com
Jika Semarang dan Yogyakarta mengkritisi Pemda, maka Roqib yang saat itu masuk di Nahdlatul Ulama (NU) malah menguatkan struktural dan kultural. Seperti di IPNU dan Ansor sampai hari ini.
“Ikut di Lakpesdam Jepara, implementasinya komunikasi ke banom-banom lain dapat terjalin dengan baik. Bahkan dua tahun terakhir, bersama IKA PMII Jepara terjadi penguatan,” ujar kader kelahiran Jepara, 1970 M.
Sepak terjang semasa di NU, ia merasa forum diskusi dinamika sosial di struktural NU sendiri dalam kondisi lemah. Cenderung munadloroh (ngaji) dan bahtsul masa’il (tanya jawab keagamaan).
Berangkat dari hal itu, Roqib berpesan kepada kader PMII di tingkat mahasiswa, agar jangan meninggalkan proses belajar (diskusi) sebelum melakukan gerakan. Sehingga, sebagai banom NU juga merawat NU.
Tidak kalah penting, untuk mengedepankan pendekatan persuasif serta autokritik. Karena, bagi dia, perubahan diawali oleh diri sendiri. Ketika diri ini baik, maka perubahan menjadi lebih baik.
“Pentingnya belajar, jangan sampai kepentingan subjektif, tapi objektif kemaslahatan. Jangan tajam ke luar, tapi tumpul ke dalam. Autokritik itu penting, dan PMII di basis NU. Butuh pengawalan perbaikan,” pungkasnya.
(Okom/KA)