Oleh: Muhammad Shohibul Itmam
Menjelang Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) ke 102 sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia, perlu kiranya mengingat sejarah panjang yang telah membuktikan, bahwa agama tidak lebih sekedar budaya yang lekat dengan kesadaran masyarakat tertentu, yang mempunyai psikologi puritan yang sesuai dengan konteks dan sosio-kultur eksistensi suatu masyarakat tersebut.
Agama dalam sejarah panjangnya juga sampai pada kesimpulan bahwa penghayatan suatu ajaran tertentu menjadi kunci bagi eksistensinya suatu agama tertentu termasuk Islam.
Dua hal, penghayatan ajaran dan budaya masyarakat inilah yang kemudian diakui menjadi kunci atas eksistensinya suatu agama tertentu.
BACA JUGA: Semarang Jadi Tuan Rumah Pembukaan Proliga 2025, Dorongan Semangat Baru bagi Atlet Voli Jateng
Premis demikian bisa diterima dengan bukti ilmiah yang pernah dilakukan oleh para peneliti agama seperti A. Mukti Ali-mantan Menteri Agama Indonesia, Huston Smith-asal Tiongkok yang karirnya cemerlang sebagai akademisi di Amerika serta beberapa peneliti lain yang substansinya juga menegaskan bahwa agama adalah budaya yang sangat lekat dengan psikologi masyarakat dengan ragam budaya yang tumbuh berkembang secara antropologis.
Dapat disarikan bahwa redefinisi agama era post truth mengalami pergeseran dinamis dan sangat ditentukan oleh dinamika budaya dan pikiran suatu masyarakat tertentu.
Resistensi Ormas Besar
Organisasi Masyarakat (Ormas) yang besar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, saat ini dihadapkan pada persoalan besar, sebanding lurus dengan peluang besarnya dalam kiprahnya untuk berkhidmah, supaya diterima masyarakat sebagai penyeimbang diantara multi kepentingan yang ada, termasuk utamanya kepentingan negara yang sangat dominan.
Resistensi ormas tersebut saat ini mulai dipertanyakan, selaras dengan munculnya kenyataan sosial yang kontras dengan mindset public terkait manuver arah politik yang sedang dijalankan ormas besar tersebut.
BACA JUGA: Bahtsul Masa’il PWNU Jateng, Mbah Ubaid: Jalannya NU harus dituntun dengan Ilmu, Khususnya Ilmu Fikih
Alih-alih memperoleh dukungan publik, justeru sebagian masyarakat mempertanyakan eksistensi ormas tersebut yang terkadang berbalik arah dari cita yang diharapkan oleh pendukung mayoritas dari ormas tersebut.
Ormas yang besar, saat ini juga dihadapkan pada dua arah pilihan dilematis, antara maju dan mundur. Keduanya beresiko, maju kena apalagi mundur jelas lebih berdampak menjauhkan ormas dari cita ormas serta harapan mayoritas pendukung ormas tersebut.
Disinilah resistensi terkait dengan re-fungsi dan re-strategi bagi ormas besar di Indonesia menjadi suatu keniscayaan yang membutuhkan formulasi dinamis, dengan strategi tertentu sesuai arah dan gerakan yang responsif proporsional berkelanjutan.
Negara Era Post Truth
Konsep Post-Truth semakin populer sejak tahun 2016, ketika Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai Word of the Year. Sebuah konsep yang merujuk dan menekankan pada situasi di mana fakta-fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam membentuk opini publik ketimbang dengan emosi dan keyakinan pribadi.
BACA JUGA: Komitmen Garap Kaderisasi, Syuriah Dan Tanfidziah PWNU Jawa Tengah Bersinergi
Dalam konteks ini, informasi yang tidak akurat atau bahkan sepenuhnya salah dapat dengan mudah diterima dan disebarkan, jika sesuai dengan pikiran dan keyakinan yang berkembang pada Masyarakat tertentu.
Negara pada era post truth juga dihadapkan pada situasi yang tidak ringan, dimana program yang dicanangkan dituntut selaras dengan keyakinan dan pikiran yang berkembang dalam masyarakat, untuk meminimalisir rasa saling curiga konsekuensi era post truth tersebut.
Kebaikan dan prestasi yang dilakukan negara selalu dicurigai dan dikhawatirkan oleh masyarakat dan bahkan ditentang karena terjadi perbedaan pandangan dan pemikiran pada suatu program tertentu. Saling mencurigai dan saling kontrol secara positif akan selalu terjadi sebagai konsekuensi dari massifnya era post truth tersebut.
Arah Agama, Nahdlatul Ulama dan Negara Era Post Truth
Menelisik agama, NU dan negara pada era post truth sungguh krusial problematik, karena saat ini sedang terjadi massifnya pola pikir, mindset serta trend pada hampir semua negara maju di dunia. Konsekuensinya, agama, ormas dan negara era Post Truth bisa dikendalikan oleh kekuatan besar berupa pengaruh aliran filsafat materialism. Sebuah aliran yang selalu mengajarkan kebahagiaan yang diukur dari sesuatu yang nampak terlihat dan terukur secara empiris.
Polarisasi demikian juga telah merubah cara pandang yang melahirkan premis baru, bahwa mindset publik bangsa ini telah terkooptasi dalam hegemoni aliran filsafat materialism yang bisa membahayakan keberlangsungan suatu bangsa.
Sejarah panjang hancurnya bangsa bangsa besar termasuk kerajaan Majapahit di Nusantara saat itu juga antara lain pengaruh aliran filsafat materialism yang merasuki pikiran dan mindset para penerus kerajaan saat itu yang kemudian berdampak pada konflik berkelanjutan hingga runtuhnya kerajaan Majapahit tersebut.
Ketergantungan atas aliran tersebut, belum mampunya melepaskan dari aliran tersebut, tidak adanya kemandirian ekonomi, minimnya rasa solidaritas organisasi besar yang ada menjadi pemicu atas pembenaran premis tersebut.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, arah semua agama di Indonesia, termasuk NU dan kebijakan negara pada era post truth sangat ditentukan oleh budaya dan mindset bangsa ini, sehingga dampak berkelanjutan yang bisa terjadi adalah mengakui atas kedaulatan ekonomi negara negara maju seperti Inggris, Prancis, Amerika termasuk Cina khususnya yang secara historis paling dekat dengan budaya ekonomi bangsa Indonesia.
Saatnya NU dengan warganya baik kultural maupun struktural, tidak perlu menyalahkan siapapun dengan alasan apapun, tetapi saatnya berbuat dengan siapapun, bersinergi dengan cara apapun yang sesuai dengan kebutuhan bangsa ini karena NU untuk bangsa dan bangsa membutuhkan NU.
Muhammad Shohibul Itmam, Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah