Oleh: Dr. Muh Khamdan
Tujuh April 1985 menjadi tonggak penting dalam sejarah intelektualisme Nahdlatul Ulama. Pada tanggal ini, Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) resmi didirikan sebagai respon strategis atas hasil Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Muktamar ini menetapkan kembali khittah NU 1926, menjauh dari politik kekuasaan dan kembali pada perjuangan keumatan melalui dakwah, pendidikan, dan sosial budaya.
Dalam konteks ini, Lakpesdam NU hadir sebagai wadah penting untuk membentuk kader intelektual NU yang mampu menerjemahkan khittah ke dalam kerja-kerja konkret, terutama dalam pengembangan SDM, penguatan pemikiran kritis, serta pemberdayaan masyarakat. Inisiator seperti KH Abdurrahman Wahid dan Fahmi Syaifuddin memahami bahwa revitalisasi NU pasca khittah tidak bisa dilakukan tanpa pembentukan fondasi intelektual yang kuat.
Pada fase awal, Lakpesdam bukan sekadar ruang kajian, tetapi juga menjadi laboratorium kaderisasi intelektual. Ketua pertamanya, Abdullah Syarwani, membawa semangat pengorganisasian pemikiran progresif dalam NU, menjadikan kader muda NU sebagai pelopor transformasi sosial berbasis nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Perubahan status Lakpesdam dari lajnah menjadi lembaga pada tahun 1994 melalui Muktamar Cipasung membuka peluang struktural baru. Setiap tingkatan kepengurusan NU, dari PBNU hingga ranting, dapat membentuk Lakpesdam sebagai instrumen utama kaderisasi dan penguatan nilai-nilai ke-NU-an.
Namun, empat dekade berlalu, arah gerak Lakpesdam patut dikritisi. Di tengah perubahan sosial politik yang semakin kompleks, Lakpesdam justru tampak kehilangan arah.
BACA JUGA: Hindun Anisah: Bulog Harus Bertanggungjawab Terkait Ratusan Ribu Ton Beras Impor Berkutu
Pada masa PBNU di bawah Gus Yahya, Lakpesdam cenderung terjebak dalam formalisme program pengkaderan semata, tanpa daya dorong dialektika kritis yang selama ini menjadi ciri khasnya.
Ironi ini semakin kentara ketika posisi ketua Lakpesdam diberikan kepada Erick Thohir, sosok yang selama ini dikenal dalam orbit kekuasaan politik dan bisnis nasional. Penunjukan ini menyiratkan bergesernya orientasi Lakpesdam dari lembaga advokasi intelektual menuju ruang legitimasi politik pragmatis.
Tentu, NU bukan anti-politik. Sejarah membuktikan bahwa NU memiliki kapasitas politik yang besar. Namun, khittah 1926 menegaskan bahwa NU harus menjauh dari politik kekuasaan, bukan menjauhi politik nilai. Lakpesdam sebagai garda terdepan pembaruan pemikiran, semestinya menjadi benteng untuk menjaga marwah itu.
Dalam realitas kontemporer, tantangan umat semakin kompleks dari radikalisme, konservatisme digital, hingga kemiskinan struktural. Lakpesdam sejatinya menjadi ruang dialektika kritis untuk menjawab tantangan ini melalui narasi keagamaan yang membebaskan dan memberdayakan.
Sayangnya, semangat dialektika tersebut kini digantikan dengan rutinitas program diklat tanpa arah ideologis yang kuat. Kaderisasi yang dilakukan cenderung bersifat teknokratik, melatih keterampilan administratif dan manajerial, tanpa penguatan visi keislaman progresif.
Jika Lakpesdam kehilangan fungsi kritiknya terhadap kekuasaan, maka ia hanya akan menjadi pelengkap struktural yang kehilangan elan vital. Padahal, pada masa Gus Dur, Lakpesdam adalah dapur ideologis, pusat pembaruan pemikiran, dan ruang artikulasi gagasan sosial keislaman yang relevan.

Dr. Muh Khamdan
Kini, refleksi 40 tahun Lakpesdam NU harus menjadi momentum untuk reorientasi. Pertama, Lakpesdam harus kembali menjadi pusat dialektika pemikiran keislaman, bukan sekadar lembaga diklat. Ini bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali diskusi terbuka, kajian kritis, dan publikasi intelektual kader muda.
Kedua, perlu ada pemisahan yang jelas antara kerja-kerja Lakpesdam sebagai lembaga intelektual dengan kepentingan politik jangka pendek PBNU. Keputusan politik NU, semestinya tidak mencampuri ruang otonomi Lakpesdam sebagai ruang produksi pengetahuan.
Ketiga, Lakpesdam harus memperluas jejaringnya dengan institusi akademik, LSM, komunitas intelektual, dan lembaga riset keislaman lain. Ini penting untuk menghindari isolasi kelembagaan dan membangun kekuatan epistemik kolektif di luar struktur NU.
Keempat, penguatan kapasitas kader Lakpesdam harus difokuskan pada integrasi antara fiqih sosial dan analisis kebijakan publik. Kader Lakpesdam tidak cukup paham kitab, tapi harus mampu membaca realitas sosial dengan pisau analisis yang tajam.
BACA JUGA: Wujudkan Ramadan Tenang dan Menyenangkan, YBM PLN UIK Tanjung Jati B Berbagi Berkah Di Bulan Suci
Kelima, revitalisasi Lakpesdam juga harus dilakukan dengan pendekatan kultural, bukan sekadar struktural. Artinya, budaya berpikir kritis, terbuka, dan egaliter harus ditanamkan sejak proses rekrutmen kader. Tanpa ini, Lakpesdam hanya akan menjadi mesin administratif tanpa ruh pergerakan.
Jika mengacu pada khittah 1926, maka orientasi utama NU adalah membina umat, bukan merebut kekuasaan. Dalam konteks ini, Lakpesdam mestinya menjadi benteng pertama yang mengawal agar NU tetap berada pada jalan pengabdian umat, bukan penguasaan atas umat.
Tugas Lakpesdam bukan memenangkan pemilu, tapi memenangkan kesadaran umat. Bukan menjadi buzzer elite, tapi menjadi penyambung suara kaum tertindas. Karena itu, pembaruan visi Lakpesdam harus dimulai dengan mengembalikan marwahnya sebagai pusat pemikiran kritis dalam NU.
Lakpesdam bisa kembali menjadi institusi strategis jika ia mampu menginternalisasi kembali semangat Gus Dur: berani berpikir merdeka, berani bersuara meski melawan arus, dan berani menjaga NU dari infiltrasi kepentingan pragmatis.
Di usia 40 tahun ini, 7 April 1985, Lakpesdam tidak butuh seremoni, tapi refleksi mendalam. Tidak butuh branding, tapi butuh penguatan ideologis. Tidak butuh nama besar dalam struktur, tapi butuh pemikir muda yang siap mengguncang status quo.
Lakpesdam harus kembali ke khittah, tidak sekadar kembali ke NU. Karena yang dibutuhkan umat hari ini bukan hanya kader yang loyal pada organisasi, tapi kader yang mampu melawan arus politik kekuasaan dengan senjata ilmu, keberanian moral, dan komitmen pada nilai-nilai Islam yang membebaskan. Selamat harlah Lakpesdam.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; LTN NU MWCNU Nalumsari