Oleh: Dr. Muh Khamdan
Pada 10 April 2025 ini, Jepara memperingati hari jadinya yang ke-476. Candra sengkala Trus Karya Tataning Bumi bukan sekadar penanda kelahiran administratif, tapi cermin dari semangat luhur: membangun peradaban lewat kerja dan karya. Sejarah mencatat, Jepara lahir bukan sebagai kota kecil di pesisir, tetapi sebagai kota kosmopolitan dengan pelabuhan internasional, galangan kapal, dan armada laut yang ditakuti sejak abad ke-13.
Ratu Kalinyamat menjadi simbol kejayaan itu. Beliau tak hanya menjadi pemimpin perempuan yang karismatik, tetapi juga komandan militer yang memimpin serangan terhadap Portugis di Selat Malaka demi solidaritas antar kerajaan Nusantara. Tak heran jika pada November 2023 lalu, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Namun, warisan agung ini kini berada di persimpangan jalan. Jepara perlahan berubah wajah, dari kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat ukiran dunia menjadi kota buruh industri asing. Pabrik garmen, sepatu, dan tekstil asing menjamur, menyerap ribuan tenaga kerja lokal, namun juga menggeser identitas dan keterampilan masyarakat Jepara yang dahulu dikenal sebagai pengukir dan perajin unggul Nusantara.
BACA JUGA: Lima Fakta Pulau Menjangan Kecil Karimunjawa. Selain Spot Bawah Laut Ada Apa Saja?
Ini adalah paradoks pembangunan. Di satu sisi, industrialisasi menciptakan lapangan kerja. Di sisi lain, ia menyeret masyarakat ke dalam pola kerja repetitif, minim kreativitas, dan bergaji rendah. Lebih buruk lagi, industri kreatif lokal seperti ukiran kayu, kerajinan logam, dan tenun tradisional, justru kian terpinggirkan.
Realitas tersebut jelas sebagai trade-off berbahaya. Pertumbuhan ekonomi yang bersandar pada buruh murah dan investasi asing tak akan membawa Jepara pada daya saing berkelanjutan. Sebaliknya, hal ini berpotensi mengikis kepercayaan diri kolektif masyarakatnya yang dahulu mandiri dan inovatif.
Jepara adalah merek global. Produk ukirannya dikenal di Eropa dan Timur Tengah. Jika kekuatan ini ditinggalkan hanya demi menjadi kota manufaktur upah rendah, maka yang hilang bukan hanya pekerjaan bermartabat, tetapi juga warisan budaya yang menjadi jati diri daerah.

Dr. Muh Khamdan
Sudah saatnya pemerintah daerah menyusun ulang strategi ekonomi Jepara. Jepara harus naik kelas, dari kota produksi massal menjadi kota pusat design thinking, ekonomi kreatif, dan ekspor produk bernilai budaya tinggi. Ini membutuhkan keberanian politik, mulai dari regulasi kuota pabrik asing, pemberian insentif besar bagi UMKM kreatif, hingga diplomasi dagang produk budaya ke pasar global.
Pendidikan vokasi pun harus direformasi. SMK dan balai latihan kerja tak lagi hanya mencetak buruh pabrik, tetapi juga pelaku industri kreatif, sebagaimana desainer furnitur, digital marketer, ahli logistik ekspor, hingga kurator seni ukir. Inilah wajah baru pembangunan Jepara yang berbasis budaya dan teknologi.
BACA JUGA: Menguatkan Nilai Spiritualitas di Tengah Kemajuan Teknologi
Momentum hari jadi ke-476 ini harus menjadi refleksi kolektif, mau ke mana Jepara dibawa? Apakah hanya menjadi kota garmen dunia ketiga yang kehilangan karakter? Ataukah menjadi kota maritim modern yang berakar pada sejarah dan unggul dalam inovasi global?
Jepara punya potensi untuk menjadi ikon eco–creative economy Indonesia. Dengan bahan baku kayu legal, pewarna alami, dan tenaga terampil, produk Jepara bisa memimpin pasar global yang kini makin menyukai keaslian dan keberlanjutan.
Di tengah tekanan zaman, Jepara masih punya harapan. Tapi harapan itu butuh arah. Dan arah itu hanya bisa dicapai jika kita berani memulihkan kembali identitas, bahwa Jepara bukan sekadar kota penghasil barang, tetapi pusat peradaban maritim dan budaya yang pernah membuat dunia menoleh.
Karena Jepara bukan sekadar nama. Ia adalah semangat. Ia adalah warisan. Dan ia adalah masa depan.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; LTN NU MWCNU Nalumsari