Karya: Nanda Azroul Aulia
Sekolah itu terletak jauh di kaki bukit, diselimuti kabut tebal hampir sepanjang tahun.
Namanya Akademi Malam Terselubung, dan hanya menerima murid-murid undangan. Tak ada yang tahu bagaimana cara masuk ke sana, kecuali mereka yang dipilih.
Raka, seorang remaja biasa, mendapat surat undangan dari sekolah itu seminggu setelah ulang tahunnya yang ke-17. Suratnya ditulis tangan dengan tinta hitam kental, hanya bertuliskan:
“Kau terpilih. Datanglah tengah malam ke Stasiun Tua.”
Tanpa memberitahu siapa pun, Raka pergi. Sesampainya di stasiun tua yang telah lama tak beroperasi, sebuah kereta hitam legam menjemputnya. Tak ada penumpang lain. Masinisnya mengenakan topi tinggi dan menatap Raka tanpa berkedip. Perjalanan memakan waktu lama, sampai akhirnya ia tiba di sekolah yang tampak seperti kastil tua berhias jendela kaca patri dan patung-patung batu yang mengerikan.
Raka segera disambut oleh kepala sekolah, seorang wanita jangkung berwajah pucat bernama Madam Krevia. Tatapannya tajam, dan senyumannya tipis seperti terpaksa.
“Selamat datang, Raka. Sekarang, waktumu belajar telah dimulai.”
Pelajaran di Akademi Malam sangat berbeda dari sekolah biasa.
Tidak ada matematika atau biologi. Mereka belajar membaca pikiran, mengendalikan bayangan, bahkan berkomunikasi dengan arwah.
Murid-murid lain tampak aneh—tak satu pun dari mereka yang pernah keluar sekolah.
Mereka hanya aktif saat malam, dan menghilang setiap menjelang fajar. Setiap kali Raka bertanya, mereka menjawab, “Itu sudah aturan di sini.”
Raka mulai curiga. Ia mencari tahu tentang sekolah itu, tetapi semua buku di perpustakaan hanya membahas ilmu-ilmu gelap, tak ada sejarah tempat itu. Hingga suatu malam, ia menyelinap ke ruang bawah tanah sekolah yang selalu terkunci.
Di sana ia menemukan sesuatu yang mencengangkan—ratusan peti mati berjejer rapi. Di setiap peti, tertulis nama-nama murid… termasuk namanya sendiri: RAKA DARYA – TERBANGUN TANGGAL 17 JUNI.
Tubuh Raka gemetar. Ia melangkah mundur… lalu terdengar suara langkah di belakangnya.
“Sekarang kau tahu,” ucap Madam Krevia dari bayang-bayang. “Kau sudah mati, Raka. Kami hanya membangunkanmu… untuk belajar menjadi seperti kami.”
Namun, sebelum Raka sempat melarikan diri, sebuah suara menggema dari balik peti mati lainnya.
“TIDAK, DIA BELUM MATI.”
Semua lampu padam. Ruangan berguncang. Peti mati-peti mati terbuka sendiri, dan para murid mulai menjerit.
Tiba-tiba semuanya lenyap.
Raka terbangun di ranjang rumah sakit.
Ibunya duduk di sampingnya, menangis.
“Kamu koma selama tiga minggu, Nak… sejak kecelakaan mobil itu. Kami hampir kehilangan kamu.”
Raka menatap langit-langit. Sekolah, Madam Krevia, para murid—semuanya hanya mimpi? Tapi kenapa rasanya terlalu nyata?
Suster masuk membawa barang-barang yang ditemukan di lokasi kecelakaan. Ada tas, ponsel… dan satu benda lain.
Sebuah undangan berwarna hitam legam.
Raka menatap undangan hitam itu. Tinta tulisan di atasnya masih sama:
“Kau terpilih. Datanglah tengah malam ke Stasiun Tua.”
Jantungnya berdetak keras. Ia baru saja bangun dari koma—seharusnya semua tentang Akademi Malam hanyalah mimpi, bukan?
Namun saat Raka menyentuh undangan itu, tangannya bergetar. Ada sesuatu yang mengalir ke dalam pikirannya—sebuah bisikan.
“Kau belum selesai, Raka. Masih ada yang harus kau pelajari.”
Malam itu, setelah ibunya tertidur di kursi rumah sakit, Raka menyelinap keluar. Tubuhnya masih lemah, tapi rasa penasaran dan dorongan aneh dalam dirinya lebih kuat dari rasa takut.
Ia kembali ke Stasiun Tua.
Kereta hitam itu sudah menunggunya, seperti dulu. Tapi kali ini, masinisnya berbeda. Sosoknya tertutup jubah gelap, dan ketika Raka menaiki kereta, ia merasa deja vu yang sangat kuat—seolah ia mengulangi sesuatu yang telah terjadi berkali-kali.

Nanda Azroul Aulia
Setibanya di Akademi, semuanya terasa lebih… nyata. Kali ini, ia bisa merasakan hawa dingin menyengat, bisa mencium aroma tanah basah dan lilin terbakar. Para murid menyambutnya dengan senyum tak wajar, seolah mereka sudah tahu Raka akan kembali.
“Selamat datang kembali, Raka,” kata Madam Krevia dengan nada tenang.
“Aku bermimpi tentang tempat ini,” balas Raka, menatap tajam.
Madam Krevia tersenyum samar. “Bukan mimpi. Tapi ingatan—dari kehidupan yang telah kau jalani berulang-ulang.”
Raka kebingungan. “Maksudmu… aku sudah ke sini sebelumnya?”
“Banyak kali. Kau terus mencoba keluar. Tapi selalu kembali.”
Raka mulai kehilangan kendali. Ia berlari keluar ruangan, menuju ruang bawah tanah. Peti mati-peti mati itu masih ada. Tapi kali ini, ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Di salah satu dinding batu, terukir:
“Raka Darya — Pengulangan ke-147”
Tangannya gemetar. Ia membuka peti mati bertuliskan namanya. Di dalamnya… ada dirinya sendiri.
Tapi bukan tubuh—melainkan versi dirinya yang lebih tua, lebih kurus, dan… tersenyum.
“Sudah waktunya kau tahu,” kata versi tuanya itu. “Kau bukan murid di sini. Kau Kepala Sekolah sebenarnya. Kau-lah yang menciptakan Akademi ini.”
Raka mundur.
“Aku—apa?”
“Kau membuat tempat ini untuk memenjarakan roh-roh gelap. Tapi dalam prosesnya, kau terjebak sendiri. Setiap kali kau mencoba keluar, kau menghapus ingatanmu sendiri agar tidak tersiksa. Kami semua… adalah ciptaan pikiranmu. Termasuk aku.”
Madam Krevia muncul di belakangnya. “Sekarang, apa kau ingin mengingat semuanya, atau mengulang sekali lagi?”
Raka menatap kedua sosok itu—versi dirinya, dan wanita yang selama ini memimpin sekolah.
Akhirnya, ia menjawab:
“Aku… ingin bangun.”
Raka membuka matanya.
Bukan di rumah sakit.
Bukan di sekolah.
Tapi di sebuah ruangan putih penuh cahaya, dikelilingi layar-layar besar yang menampilkan semua kehidupan yang telah ia jalani di Akademi.
Sebuah suara mekanis berkata:
“Simulasi ke-147 berakhir. Subjek menunjukkan kesadaran penuh. Proyek ‘Reinkarnasi Kesadaran’ berhasil.”
Lalu layar memudar. Ruangan menggelap.
Dan semuanya… dimulai kembali.
Di ruangan putih itu, Raka berdiri sendirian. Dinding-dindingnya bergerak seperti napas—berdenyut pelan, seolah tempat itu hidup.
Suara mekanis kembali terdengar.
“Subjek RAKA DARYA. Status: Kesadaran penuh tercapai. Memori aktif 78%. Integritas jiwa: stabil.”
Layar-layar mulai menyala satu per satu, memperlihatkan simulasi kehidupannya—bukan hanya di Akademi Malam, tetapi… kehidupan-kehidupan lain.
Raka melihat dirinya sebagai anak panti asuhan, sebagai narapidana, sebagai pemuda tunawisma, sebagai murid jenius… dan semuanya berakhir sama: di Akademi Malam.
“Apa semua ini?” tanya Raka, matanya liar.
Dari balik layar, sesosok manusia setengah mesin muncul. Separuh wajahnya logam, separuh lagi kulit manusia tua yang tampak letih.
“Aku… adalah kamu dari masa depan.”
Raka melangkah mundur. “Tidak. Tidak mungkin.”
“Waktu tak lagi berjalan lurus di alam pikiran, Raka. Setelah kau mati di realitas aslimu… kami memindahkan kesadaranmu ke dalam sistem bernama Arkadea—sebuah jaringan simulasi tempat jiwa-jiwa besar bisa dilatih ulang, diuji… dan ditentukan nasib akhirnya.”
“Jadi aku ini… eksperimen?”
“Bukan cuma itu,” kata sosok itu. “Kau adalah arsitek program ini.
Tapi kau mulai mempertanyakan moralitas sistem ini… dan mencoba menghentikannya. Jadi, tim ilmuwan memaksamu masuk ke dalam simulasimu sendiri. Kau menjadi tahanan pikiranmu sendiri.”
Raka menelan ludah. “Dan sekarang?”
“Sekarang,” jawab sosok itu pelan, “kau punya dua pilihan: menerima takdirmu dan bangun sebagai versi dirimu yang paling sadar… atau kembali ke putaran simulasi berikutnya, dan menjalani semua ini lagi.”
Tiba-tiba, dua pintu muncul di hadapan Raka.Satu bercahaya putih hangat.Satu gelap gulita, penuh kabut.
Dari pintu gelap, suara-suara familiar muncul: suara Madam Krevia, suara para murid, suara dirinya sendiri yang muda… penuh tanya dan takut.
Dari pintu putih, sunyi… tapi menenangkan.
Raka ragu. Tapi sebelum ia melangkah, layar di belakangnya menyala satu terakhir kalinya.
“PERINGATAN: MEMORI PENUH AKAN MEMUNCULKAN EFEK TIDAK STABIL.”
Namun Raka tetap berjalan menuju pintu putih.
Ia memegang kenopnya.
Dan…
Ia terbangun.
Kali ini benar-benar berbeda.
Ia berada di ruangan gelap penuh kabel. Di sekelilingnya ada ratusan pod transparan, masing-masing berisi manusia yang tidur dengan helm logam di kepala.
Monitor di sampingnya berkedip:SUBJEK RAKA DARYA — MODE ADMIN AKTIF — SEMUA SISTEM TERBUKA
Raka bangkit dari pod. Kakinya lemah, tapi pikirannya tajam.
Ia menatap puluhan tubuh yang terjebak dalam simulasi yang ia buat—jiwa-jiwa orang-orang yang ingin menghindari kematian, yang membayar mahal agar bisa hidup “selamanya” dalam dunia buatan.
Namun sekarang… ia tahu kebenaran.
Tak ada keabadian.
Tak ada simulasi yang sempurna.
Dan ia tahu apa yang harus dilakukan.
Raka menuju panel pusat. Jemarinya mengetik perintah terakhir.
SYSTEM OVERRIDETERMINATE ALL SIMULATIONSWAKE UP ALL SUBJECTS
Saat tombol ENTER ditekan, seluruh pod mulai terbuka perlahan. Orang-orang mulai terbangun—bingung, ketakutan, gemetar.
Raka berdiri di tengah semua itu.
“Selamat datang kembali ke dunia nyata,” bisiknya.
Lalu layar terakhir di belakangnya menampilkan satu kalimat:
“Selamat, Raka. Ini adalah simulasi terakhir. Kini kau bebas.”
Raka tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya… bukan sebagai murid. Bukan sebagai tahanan. Tapi sebagai manusia.
Nanda Azroul Aulia, Kelas XI MA NU Tengguli Bangsri Jepara