Oleh : Mima Afiyah*
MENJADI SEBUAH kebahagiaan bagi saya pribadi, ketika di Jepara diadakan pameran seni rupa. Art Exhibition Road to Jepara Enviromental Art Biennale (JEAB) 2023 adalah pameran pembukaan untuk pameran JEAB yang akan diadakan pada 2023 mendatang. Menjadi hal yang seharusnya “lumrah” ketika Jepara sendiri terkenal sebagai kota ukir dengan mahakarya yang mengagumkan. Seni ukir berupa mebel dan patung yang telah diekspor sampai ke mancanegara. Bukan hal yang tidak mungkin jika suatu saat Jepara bisa menjadi salah satu kiblat kota seni di Indonesia maupun luar negeri. Meski ini butuh dukungan dan perhatian dari berbagai pihak untuk merealisasikannya.
Selain bertujuan untuk mengangkat karya seniman asli Jepara, pameran ini juga mengusung tema isu lingkungan. Pameran yang bertajuk “Ambah Pesisiran” adalah ajakan untuk melihat dan memerhatikan lagi identitas, seni, budaya, peradaban, dan sejarah pesisir Jepara. Di mana Jepara sendiri mempunyai panjang garis pantai 82,73 Km dan luas lautan 1.845,6 Km2. Sehingga mempunyai potensi ekonomi yang besar dalam sektor pariwisata dan kelautan. Menurut A. Anzieb kurator pameran, hubungan manusia tidak hanya dengan manusia lainya dan Tuhan. Melainkan dengan alam juga, maka menjadi kewajiban menjaga dan merawat alam yang menjadi tumpuan hidup manusia. Dalam pameran ini juga digaungkan tagar #savekarimunjawa, upaya penolakan keberadaan tambak udang ilegal yang terjadi di Karimunjawa. Tambak udang ilegal dilalukan sekelompok oknum merusak ekosistem pantai dan terumbu karang. Narasi penolakan sudah disuarakan sejak 2019 bertujuan untuk menyelamatkan laut Karimunjawa dari kerusakan.
Pameran yang digelar pada 19-24 November 2022 diikuti tiga puluh seniman menyuarakan kegelisahannya dalam karya yang sarat penafsiran. Dihelat di Aula Serbaguna Pantai Bandengan, pameran menampilkan 40 karya seni berupa lukisan, patung, instalasi dan tenun. Di antaranya, karya Naufal Biahaqy yang berjudul Berenang Menuju Hidangan (2022).
Lukisan terdiri dari 3 bagian yang masing-masing berukuran 60 cm x 30 cm. Bagian pertama adalah kepala ikan yang berenang di lautan. Bagian kedua adalah proses pembersihan badan ikan dari sisik dan kotoran. Kemudian yang terakhir adalah makanan yang tersaji dalam piring yang siap dimakan. Sebuah gabungan beberapa lukisan yang menunjukan proses pembuatan makanan. Yang bisa ditafsirkan bagaimana proses makanan dihidangkan. Terdapat banyak peran yang berjasa dari perjuangan nelayan mendapat ikan, distribusi hingga pengolahannya.
Ada juga lukisan karya Sumarno yang bertajuk “Pokok Sekembu Mulyoharjo” (2022). Lukisan yang menceritakan aktivitas nelayan mencari ikan di pantai merupakan sebuah cuplikan kehidupan nelayan di pesisir yang coba diangkat oleh pelukis. Sebuah profesi yang terancam keberadaanya karena ancaman kerusakan lingkungan.
Adapun karya lain yang turut dipamerkan antara lain, Nyekar karya Bambang Sugiyanto (2022), Wijoyokusumo Tumbuh di Ambang Pesisir karya Yulis Dwi Nur Wijayanti (2022), Jambal Roti karya Budi Karya (2022), Sumber Penguripan karya Robert Saputro (2022), Kali Ombo Tempur karya Yusuf Dwiyono (2022), Srikandi di Perbatasan karya Tino Setyono (2022), Lomban Pesta Laut Raya karya Juni A. Wulandari (2022), Naungan Antar Bayang karya Fahmi Gaka (2022).
Memasuki area gedung pameran, pengunjung disuguhi dengan instalasi kursi Jepara. instalasi yang diberi judul “Gerbang Jepara” karya Roni ini, merupakan kumpulan kursi Jepara yang disusun membingkai pintu masuk pameran. Instalasi ini diibaratkan seperti “gerbang selamat datang” Kota Jepara dengan segala keindahan alam, sejarah, budaya dan problematikanya. Jepara dikenal dengan nama kota ukir, mebel dan patung ukiran menjadi salah satu mata pencaharian warga Jepara. Tapi dibalik itu sering muncul problematika baik dalam hal sosiokultural, ekonomi, dll. Munculnya degradasi nilai-nilai seni ukir karena maraknya produksi mebel yang mengesampingkan originalitas seni ukiran Jepara. Sehingga nilai estetika dan kreativitas perlahan pudar. Ini terjadi disebabkan oleh banyaknya pengrajin Jepara yang menerima pesanan dengan desain luar negeri. Kekhawatian tergerusnya eksistensi ukiran Jepara menjadi inspirasi terciptanya karya instalasi yang menarik ini.
Seni juga bisa digunakan untuk menyampaikan pesan, pendapat, kritik sosial, gagasan, dan kebijakan kepada masyarakat. Namun sayang, jika kritik sosial dan gagasan yang baik luput dari perhatian masyarakat. Kurangnya kesadaran akan berkesenian. Promosi yang kurang maksimal, menjadikan pameran kurang diminati pengunjung. Dibutuhkan peran berbagai pihak untuk mengenalkan lebih dalam tentang seni dan budaya Kota Jepara. Terumata seni ukir, pemerintah diharapkan lebih maksimal memerhatikan keberlangsungan seni ukir Jepara. Di samping maraknya lapangan kerja non-mebel sehingga berkurangnya minta menajdi pegrajin ukir di kalangan anak muda. Maka dari itu. Generasi muda perlu dipupuk dan dibina untuk lebih mencintai seni ukir agar keberlangsungan ukiran Jepara tetap lestari.
*Mima Afiyah, Seorang Karyawan yang Aktif di Komunitas Akademi Menulis Jepara Asal Karangrandu Pecangaan Jepara.