Oleh : Bandung Mawardi
ORANG-ORANG terjerat nostalgia masih memutar lagu-lagu Ebiet G Ade. Di rumah, mereka mendengar lagu-lagu sambil menikmati teh, membaca koran, atau bercakap. Ebiet G Ade mengajak mereka terus terhubung masa lalu. Lagu-lagu lama tapi belum habis makna.
Di mobil, perjalanan atau bepergian sambil mendengarkan lagu-lagu Ebiet G Ade mungkin memicu perbandingan situasi zaman. Jalan-jalan telah ramai. Bangunan-bangunan di pelbagai tempat tak lagi bermasa lalu. Lagu-lagu dari Ebiet G Ade kadang “mengembalikan” orang untuk mengalami situasi hidup di kota masa 1970-an dan 1980-an. Pada saat melintasi desa, sawah, atau hutan, para pendengar lagu-lagu Ebiet G Ade bakal mengingat lirik-lirik puitis. Lagu-lagu tetap acuan saat sadar zaman telah berubah.
Duduk bersama suami atau istri, sadar usia bersama lagu-lagu bertema asmara persembahan Ebiet G Ade. Sekian lagu romantis tak berlebihan. Sekian lagu justru tragis dan ironis. Orang makin tua bakal melamunkan masa-masa saat masih menanggung asmara, berpacaran, atau menikah. Lagu-lagu menjadi latar menangisi atau mesem atas asmara masa lalu.
Pada abad XXI, kita masih bersama lagu-lagu Ebiet G Ade. Sosok masih pujaan bagi orang-orang telah berusia tua. Puluhan tahun lalu, ia dikenali sebagai lelaki berkacamata. Ia selalu bergitar. Selera busana dan tingkah tampak santun. Penampilan tak mengesankan seniman. Kita ingat ia terbiasa mengenakan baju, bukan kaos oblong. Lelaki rapi dengan lagu-lagu disangka mula-mula puisi.
BACA JUGA: Pikat Belum Tamat (Bandung Mawardi)
Ebiet G Ade saat masih muda diberitakan di majalah Tempo, 12 Januari 1980. Foto lelaki bergitar itu dipasang melengkapi berita kecil. Kita mengutip: “Sebelum memasuki dunia rekaman, dia sering ‘ngamen’ menyanyikan sajak-sajak beberapa penyair, di Yogyakarta.” Ebiet G Ade berasal dari Banyumas, bersekolah di Yogyakarta. Pergaulan bersama para seniman mengesahkan diri untuk menggubah puisi dan memetik gitar. Konon, ia berteman dengan Emha Ainun Nadjib saat berpredikat murid SMA.
Puluhan tahun berlalu, kita mengenang Ebiet G Ade dalam musik, bukan sastra. “Dia pun lebih ingin disebut penyair ketimbang penyanyi,” tulis di Tempo. Ia menulis lirik untuk lagu, mengerti itu puisi. Ia memegang gitar, lirik itu terdengar. Di telinga, ia mempersembahkan lagu. Pendengar memang menganggap lirik-lirik itu puitis meski tak lekas meresmikan sebagai puisi. Ebiet G Ade ingin disebut “penyair” menjelang berusia 25 tahun. Kini, ia mungkin mesem atau tersipu malu bila harus menjawab peran: penyair atau penyanyi.
Pada masa lalu, ia berhasil tabah, tak tergoda dengan teman-teman mulai keranjingan menulis puisi dikirimkan ke pelbagai koran dan majalah. Ebiet G Ade menulis puisi dihentikan di kertas saja untuk kelak berjumpa gitar, tak ada keinginan mengirim ke koran atau majalah. Kita menduga ia berdalih tak mau bersaing dengan seniman-seniman tangguh di Yogyakarta. Ia memilih jalan lain dalam memuliakan puisi. Peran penting dialami Ebiet G Ade dalam Pertemuan Sastrawan 1979 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ia tampil sebagai “penyair” bergitar. Di situ, ia bersenandung, bukan berdeklamasi.
Di majalah Tempo, 8 Maret 1980, gambar Ebiet G Ade bergitar tampil di kulit muka. Sosok dimunculkan menjadi juru bicara. Tempo mengajukan tulisan panjang berjudul “Angkatan Musik Bertutur”. Pada masa 1980-an, Ebiet G Ade tampil sebagai tokoh tenar: mendapat tepuk tangan dan pujian. Ia berada dalam industri musik pop tapi terbedakan gara-gara puitis.
BACA JUGA: Bawana dan Buwana (Bandung Mawardi)
Ebiet memicu perubahan: “Munculnya Camelia I dan kemudian Camelia II tahun lalu, dua album Ebiet, rupanya berhasil mempengaruhi pasaran lagu dangdut. Musik pop kembali sering berkumandang di kampung, di radio non-RRI, juga di bis.” Kaset-kaset Ebiet G Ade laris di pelbagai toko kaset di kota-kota besar. Ia menghasilkan untung besar bagi pedagang. Indonesia berubah setelah telinga-telinga ribuan orang termanjakan dan terlena oleh lagu-lagu Ebiet G Ade.
Kita mengingat masa lalu saat Indonesia mendengar lagu-lagu Ebiet G Ade. Masa “kemenangan” untuk lagu-lagu dengan lirik tak sembarangan. Di majalah Tempo, kita membaca penjelasan: “Sejak duduk di SMA Muhammadiyah, di Yogya, dia dekat dengan penyair Emha Ainun Nadjib. Di mana saja Emha muncul membacakan puisinya, muncul pula Ebiet menyanyikan puisi-puisi dengan gitarnya. Anehnya, ketika album pertamanya muncul, tak sebiji pun sajak Emha dia nyanyikan… Lingkungan itulah yang agaknya membentuk lirik-liriknya.” Ebiet berada di tempat benar dan tepat. Ia mengalami pergaulan kesusastraan memberi gairah tak pernah padam.
Puluhan tahun berlalu. Berita itu menjadi kliping penting bagi orang ingin melacak jejak-jejak Ebiet G Ade. Dulu, ia sering menjadi berita di koran dan majalah. Sosok mudah dikenali dengan penampilan santun dan gitar. Berita-berita bakal “mengawetkan” biografi meski penggalan-penggalan. Konon, Ebiet G Ade pernah bakal difilmkan tapi kita belum mendapat kabar lanjutan. Kita pun masih menantikan ada orang atau komunitas menggarap buku biografi 500-an halaman agar kita mengerti ketenaran masa lalu dan nostalgia belum mau selesai. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.