Oleh : Bandung Mawardi
“KALAU ia lapar, ia ingin makanan kesukaannya yang aku masak sendiri,” pengisahan Inggit Garnasih dalam buku berjudul Soekarno: Kuantar ke Gerbang (2014) garapan Ramadhan KH. Semula, Soekarno datang ke Bandung berpredikat siswa. Ia ingin belajar dan mengerti pergerakan politik kebangsaan. Soekarno mondok di rumah Sanoesi-Inggit Garnasih.
Hari demi hari, ia mendapat perhatian dari tuan rumah: dari makanan sampai kasih. Soekarno betah dan memperistri Inggit. Lakon hidup itu mengejutkan. Soekarno terbiasa makan di rumah hasil masakan Inggit. Kenikmatan masakan itu berlanjut saat Soekarno berpredikat suami. Ia ingin makan di piring berisi masakan istri. Kita menduga menu makanan keseharian sederhana berlatar situasi Indonesia masa 1920-an dan 1930-an. Piring dan makanan menjadikan Soekarno memuji Inggit. Sosok paling menentukan dalam babak-babad penderitan, memberi kasih dan kehormatan.
Sejak mula, Inggit mengerti bahwa Soekarno itu penggerak ide dan mengimpikan Indonesia melalui pidato-pidato. Ia sulit dipastikan menjadi suami bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan pokok di rumah. Inggit memiliki cara mendapatkan nafkah dengan berdagang. Istri menjamin piring-piring di rumah tetap berisi makanan. Dapur diharapkan tetap menjadi tempat terindah untuk mengolah masakan-masakan lezat memberi kekuatan dalam kerja-kerja politik dan keintelektualan Soekarno.
BACA JUGA: Makan(an): Bumi, Global, Keragaman (Bandung Mawardi)
Pada suatu hari, Soekarno dihukum pemerintah kolonial. Ia menghuni penjara. Pada saat Soekarno dipenjara, Inggit sedih tapi memiliki harapan. Ia mendapat kabar agak baik: “Setelah beberapa minggu suamiku berada dalam tahanan, barulah aku diberi tahu bahwa yang ditahan boleh menerima makanan dari luar…. Aku pun sendiri lagi mengantarkan rantang dengan harapan akan mendapat kabar yang lebih menyenangkan.” Inggit tak ingin mendengar kabar Soekarno kelaparan. Masakan dibuat sendiri dimaksudkan mewujudkan kasih dan perhatian agar Soekarno tabah. Rantang itu kasih meski bila Soekarno diperbolehkan menerima kiriman makanan pasti selalu berurusan dengan piring dan cangkir khas penjara.
Soekarno tak selalu berada di rumah. Soekarno gagal untuk selalu makan di piring tersedia di rumah. Di pelbagai pertemuan atau rapat, ia mendapatkan piring dan santapan berbeda. Selama di penjara, ia belajar tentang piring dan makanan sambil terus memikirkan pergerakan politik Indonesia. Piring itu tampak dan digunakan tapi Soekarno mengerti nasib.
Di rumah, Inggit memiliki tanggungan sekian orang ikut mengalami hidup bersama. Hukuman untuk Soekarno makin menambahi beban dalam pemenuhan kebutuhan pangan di rumah. Inggit menanggungkan masalah besar, berikhtiar menjawab meski tak sempurna. Ia ingin piring-piring di rumah tetap berisi makanan.
Pengisahan ditulis Ramadhan KH: “Dari pagi, aku mesti memikirkan bagaimana bisa mendapatkan uang. Selain yang ada di rumah, yang di Banceuy harus bisa makan yang baik juga. Aku terima menjadi agen sabun cuci. Aku membuat rokok dan menjualnya sendiri dengan memberi merek ‘Ratna Djuami’, nama anakku yang kupakai. Aku menjadi agen cangkul dan parang buatan Ciwidey. Aku teruskan menjahit pakaian dan kutang. Lumayan. Semua selamat selama ini. Dengan itu, di rumah semua bisa makan dan ke Banceuy kami bisa mengirim makanan kesukaan suamiku.” Inggit, pemikir dan pengisi piring. Ia ingin Soekarno terus bisa makan tanpa harus menggunakan piring di rumah. Soekarno perlu makan untuk berpikir dan memuliakan Indonesia. Ia memang tak mampu berpikir dan mengadakan isi piring di rumah tapi peran Soekarno melampaui predikat suami di rumah.
BACA JUGA: Kamus 70 Tahun (Bandung Mawardi)
Soekarno tak selalu bernasib baik. Ia pernah dipenjara, berlanjut menanggungkan hukuman pembuangan ke Ende (Flores) dan Bengkulu. Pada suatu hari selama mengalami hari-hari di tempat pengasingan, Soekarno merenung: masa lalu dan masa depan. Ia ingin bersikap dan bertindak dengan rasional meski mengetahui ketakjuban-ketakjuban dalam hidup.
Di buku berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (1966) susunan C Adams, kita diajak mengenang peristiwa: “Suatu hari, aku sengaja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena pikiran sudah cukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepercayaan yang kuat ini. Akan tetapi, kuletakkan juga piring itu di atas meja dan memandangnya. Kemudian aku berpidato kepada piring yang ganjil ini yang begitu berkuasa terhadap jiwaku. Kataku, ‘Hei, engkau, engkau barangan yang mati, tidak bernyawa dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk menentukan nasibku. Kutantang kau. Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu.’ Beginilah caranya aku mengatasi tiap-tiap rasa takut yang mengganggu pikiranku. Kuhadapi rasa takut ini dengan tenang dan sejak itu tidak takut lagi.”
Semua gara-gara Soekarno berpikiran omongan orang mengenai benda-benda memiliki kekuatan. Benda-benda dijadikan jimat untuk keselamatan dan peruntungan. Sejak lama, Soekarno dibujuk orang-orang agar memiliki dan membawa sekian benda sebagai jimat dalam keberanian menggerakkan politik kebangsaan. Soekarno pun bersikap di hadapan piring. Ia memilih makan di piring ketimbang berpikiran kekuatan-kekuatan di luar nalar.
Soekarno itu pemikir Indonesia. Urusan piring dan makanan bisa dipikirkan tanpa keharusan mengerahkan segala kekuatan. Ia memang tak sanggup sendirian memastikan piring-piring di rumah selalu berisi makanan. Ia sadar peran sedang di arus politik kebangsaan, bukan sosok tekun mencari nafkah melulu berpikiran nasib keluarga. Soekarno pun berhadapan dengan piring saat memutuskan sikap atas bujukan orang-orang mengenai benda-benda berkekuatan sakti. Di hadapan Soekarno, piring masih dimengerti sebagai wadah untuk beragam makanan.
BACA JUGA: Makan(an): Bumi, Global, Keragaman (Bandung Mawardi)
Babak Soekarno-Inggit dan piring berlanjut sampai masa 1940-an. Soekarno kembali ke Jawa. Suasana zaman berubah dengan kedatangan balatentara pendudukan Jepang. Indonesia berganti nasib, masih tak keruan dan menderita. Soekarno pulang dengan misi-misi rumit. Kembali ke Jawa bersama Inggit, bukan menuju Bandung. Mereka tinggal di rumah beralamat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Rumah itu ramai. Rumah bukan cuma untuk keluarga tapi sering kedatangan kaum pergerakan kebangsaan. Inggit Garnasih bertutur seperti ditulis dalam buku Soekarno: Kuantar ke Gerbang, pengisahan berpijak ketabahan dan heroisme: “Tamu-tamu pun mengalir terus. Pagi, siang, dan malam tiada bedanya. Aku harus mengatur tenaga-tenaga di dapur supaya para tamu tetap terlayani. Ketika makan aku pun harus siap dengan makanan yang cukup untuk semua yang hadir di rumah ini, penghuni rumah, dan para tamu yang ada. Tugas seperti ini tidaklah kurasakan berat, biasa-biasa saja. Aku telah memikulnya sejak lama, sejak bersama dengan Kusno. Malahan sejak sebelum itu. Sekalipun sekarang sekali-sekali aku sendiri harus mencari beras karena orang di dapur sudah memberi tanda ‘merah’, tidaklah itu menjadi soal bagiku. Kulakukan dengan senang.” Inggit, perempuan tangguh berpikir piring: berjanji mewujudkan ada makanan di piring-piring untuk Soekarno dan orang-orang berada di arus pemuliaan Indonesia.
Piring dan makanan bukan perkara terbesar. Inggit dirundung sedih gara-gara Soekarno. Sosok dihormati dan diladeni telah kasmaran bersama Fatmawati. Inggit mengetahui dan menginginkan kepastian. Perceraian itu terjadi. Inggit bukan lagi sosok bertanggung jawab memasak demi mengisi piring Soekarno. Pada suatu hari, perpisahan mereka ditandai dengan salaman dan kata-kata. Mereka tak lagi makan bersama, tak lagi memandangi piring-piring memuat kenangan sepanjang masa. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.