Oleh : Bandung Mawardi
SENIN, 2 Januari 2023, Solo saat pagi masih mendung tapi orang-orang tetap bergerak mencari nafkah. Di jalan, pagi itu keramaian dengan segala pamrih. Di perempatan jalan, sosok itu masih menjual koran. Tatanan dagangan tak seramai sekian hari lalu. Pedagang belum berputus asa bahwa rezeki masih mungkin diperoleh pagi hari. Rezeki dari berjualan koran-koran. Jumlah memang berkurang tapi pengharapan atas rezeki tetap menguat.
Tumpukan dagangan koran menanti para pembeli. Jawa Pos edisi 2 Januari 2023 tetap terbit. Harga eceran di kulit muka: Rp 6000. Di pojok atas, tercantum seruan: “Selamat Tahun Baru! Selamat Bekerja!” Pedagang koran di perempatan jalan bekerja, sadar tahun telah berganti. Pembeli koran pun bekerja dengan membaca dan berpikir, setelah memberikan duit kepada pedagang.
Detik-detik bergerak, murung dan lesu bisa ditumpas sambil berharap matahari memberi sinar terang, setelah sekian pagi selalu gerimis dan mendung. CEO Jawa Pos (Leak Kustiyo) memberi keterangan penting bagi orang-orang masih ingin rutin membaca koran cetak. Ia mengingatkan tanpa rasa terlalu kecewa: “Cetak tak sendirian menghadapi disrupsi media.” Koran dan majalah cetak di Indonesia mulai tutup atau pamitan. Radio pun menghadapi situasi sulit.
BACA JUGA: Bawana dan Buwana (Bandung Mawardi)
Renungan diajukan saat melihat sekian media cetak tamat: “Koran mati tak perlu disesali, koran yang masih hidup tak elok membanggakan diri. Selain hidup dan mati adalah rutinitas, hidup juga berisi keharusan-keharusan yang harus dijalani.” Kita mendapat kabar baik bahwa Jawa Pos bakal tetap terbit, menghampiri pembaca setiap hari. Janji diberikan kepada pembaca: Jawa Pos bakal ditingkatkan kualitas cetak. Sekian “baru” mungkin bakal diwujudkan ketimbang putus asa dan mengeluh seribu jam.
Jawa Pos itu bermasa lalu, biasa mengalami naik-jatuh. Kita mendingan mengingat Jawa Pos dan Dahlan Iskan. Sosok bakal tercatat dalam sejarah pers. Sosok membesarkan Jawa Pos, setelah menekuni kerja di Tempo. Masa lalu masih teringat dengan kita membaca Jawa Pos meski ada gejolak dan perubahan.
Di majalah Gatra edisi Februari 1991, terbaca kalimat memikat: “Jika Jawa Pos sebuah kereta api, Dahlan Iskan lokomotifnya.” Sejarah dan perkembangan Jawa Pos bertalian dengan biografi Dahlan Iskan, sejak masa 1980-an. Ia datang membenahi Jawa Pos dalam kondisi sulit. Sadar seribu masalah tapi bergairah merampungkan dengan ketekunan. Hal teringat tentang Jawa Pos puluhan tahun lalu: “Kaulitas cetaknya pun masih seperti sedia kala. Maklum, mereka cuma memiliki satu mesin cetak tua peninggalan manajemen lama.”
BACA JUGA: Makan(an): Bumi, Global, Keragaman (Bandung Mawardi)
Di pasar, Jawa Pos tak laku. Koran dengan rupa jelek. Orang-orang enggan membeli dan membaca. Jawa Pos terbit tanpa pikat. Koran tak menguntungkan. Sekian ledekan menimpa Jawa Pos saat pasar pers di Indonesia sedang bergairah. Pembelian mesin cetak baru itu wajib. Dahlan Iskan mengurusi redaksi dan manajemen demi menghasilkan Jawa Pos elok di tatapan mata dan lezat saat disantap pembaca.
Benar! Jawa Pos perlahan laris. Dahlan Iskan mengatur siasat dalam persaingan koran. Keputusan terpenting: mengurangi jatah berita politik dan menambahi berita olahraga (terutama sepak bola). Capaian-capaian besar menempatkan Jawa Pos sebagai koran terbesar dan berpengaruh. Koran terbit di daerah tapi bercap koran nasional.
Babak sukses teringat pada suatu masa: “Jawa Pos kini menjadi penerbitan besar. Ia mampu membangun sebuah percetakan di atas areal tanah seluas 1,5 hektar, lengkap dengan empat mesin cetak mutakhir yang mampu mencetak koran 300 ribu dalam sejam.” Kita mengingat masa lalu sambil bertepuk tangan atas kabar terbaru disampaikan Leak untuk 2023: “Temprina Media Grafika, percetakan grup Jawa Pos yang setiap hari mencetak koran Jawa Pos, berencana membeli mesin cetak koran generasi terbaru di semester pertama 2023.” Kabar berpamrih peningkatan mutu Jawa Pos, koran tak sekadar tetap terbit.
BACA JUGA: Kamus 70 Tahun (Bandung Mawardi)
Di Jakarta, ada kabar baik bahwa Kompas masih terbit. Kompas edisi cetak masih bisa dipegang para pembaca. Koran belum mau tamat meski mengetahui situasi ekonomi makin sulit. Kompas, 2 Januari 2023, memuat penjelasan Sutta Dharmasaputra. Di paragraf kedua, kita diajak prihatin: “Tahun 2023 banyak yang melihatnya sebagai tahun yang gelap, tahun multikrisis.” Media cetak mendapat dampak. Pengharapan masih ada: “Meski di era digital industri surat kabar terdisrupsi, sejumlah ahli meyakini masih memiliki keunggulan yang belum tergantikan medium digital.”
Di permulaan 2023, pembeli dan pembaca koran agak kaget saat membaca keterangan harga Kompas. Sekian hari lalu, harga eceran Kompas masih Rp 6.500. Pada 2 Januari 2023, harga berubah: Rp 9.000. Pembeli berpikir sejenak untuk mengeluarkan duit demi mendapat koran. Harga itu cukup mahal tapi pembaca masih gandrung dengan bacaan terpegang alias bacaan dicetak di kertas.
Bujukan diberikan kepada publik agar tetap membeli dan membaca koran: “Medium kertas yang sangat lebar, yang memiliki daya papar yang sangat kuat, adalah keunggulan koran yang tak tertandingi medium mana pun. Begitu pula dengan tata letak halaman koran yang indah, yang bisa diubah setiap hari.” Kita mengerti dan terus memuji penerbitan bacaan-bacaan edisi cetak. Kita pun mengerti perubahan harga itu konsekuensi.
BACA JUGA: Makan dan Minum (Bandung Mawardi)
Ingat Kompas, ingat Jakob Oetama. Tokoh sudah pamit tapi memberi warisan besar untuk bacaan-bacaan cetak: koran, tabloid, majalah, dan buku. Ia bergerak sejak awal untuk menghadirkan Kompas di tangan pembaca, 1965. Di majalah Intisari edisi Oktober 2020, kita membaca ketokohan Jakob Oetama dalam pembentukan arus bacaan di Indonesia. Ia memimpin dan memberi bukti-bukti kerja berkaitan mesin cetak menghasilkan beragam bacaan. Sekitan terbitan sudah tamat tapi Kompas tetap berjalan di hadapan kita.
Di Solo saat pagi mendung, Jawa Pos dan Kompas dibeli untuk memulai 2023. Bacaan di tangan. Bacaan kadang terbuka, kadang terlipat. Di tatapan mata, koran-koran itu tebar pesona. Pikat belum tamat. Pembaca belum ingin semua menghilang untuk menjadi nostalgia. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.