Oleh : Bandung Mawardi
PERMASALAHAN kita dengan makanan makin bertambah. Kita mungkin mengira ada peningkatan mutu atau derajat dalam makanan, setelah babak-babak peradaban memberi kegirangan. Orang-orang pun tetap bercuriga di balik kegirangan ada tragedi-tragedi. Kita susah berpikiran jauh dan mengajukan argumentasi-argumentasi.
Kini, masalah makanan menjadi masalah global. Negara-negara besar dan pelbagai institusi internasional mengurusi makanan. Mereka memikirkan nasib manusia. Mereka ingin dunia baik-baik saja. Segala kebijakan diterapkan dengan polemik-polemik. Kesadaran pangan diglobalkan berbarengan masalah-masalah politik, kesehatan, pendidikan, perempuan, ekologi, agama, dan lain-lain.
Kita ingat buku susunan Barbara Ward dan Rene Dubos berjudul Hanya Satu Bumi: Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planet Kecil (1980). Buku bertema besar lingkungan hidup tapi kita bisa memikirkan masalah pangan bagi miliaran orang di Bumi. Masa demi masa, kerusakan lingkungan hidup sering dipicu masalah kebutuhan pangan. Perusak terbesar mungkin nafsu industri pangan abai tata hidup tradisional dan lokalitas.
BACA JUGA: Kamus 70 Tahun (Bandung Mawardi)
Kita membaca penjelasan: “Keanekaragaman tanah, iklim, jenis makhluk, tumbuh-tumbuhan. Inilah memang justru keagungan lingkungan alam manusia, dan salah satu bahaya yang berasal dari urbanisasi yang monoton dan seragam itu adalah kecenderungan ke arah standarisasi dan keseragaman yang dapat merupakan bencana kebudayaan bagi jiwa manusia.” Kita diajak mengerti (lagi) keanekaragaman di dunia. Perlakuan manusia terhadap alam memiliki pendasaran lokalitas, tak harus mengikut petunjuk-petunjuk global. Cara bertani dan pembentukan peradaban pangan pun berdasarkan hubungan-hubungan manusia dan alam dimaksudkan tanpa perusakan atau penghancuran. Dulu, orang-orang membahasakan sebagai harmoni, selaras, dan serasi.
Pada situasi global, kebijakan-kebijakan bercorak standarisasi mengakibatkan perubahan lingkungan hidup. Di pelbagai tempat, perubahan-perubahan digerakkan oleh kolonialisme, perdagangan, teknologi, pendidikan modern, dan lain-lain memicu salah dan sesat dalam berpikiran makanan. Keburukan berlanjut dalam kebiasaan makan bila ada pemaksaan-pemaksaan mengacu modernitas. Bumi dalam kemeranaan saat lokalitas-lokalitas mendapat sangkaan menghalangi impian ilusif kemakmuran global dan pesta pora makanan.
Di Indonesia, kita mengalami bimbang dalam pemenuhan pengetahuan makanan bersifat lokal dan global. Kita terlalu mudah untuk menggemari dan menikmati pangan global. Segala berdatangan dengan bahasa dan keterangan memikat. Urusan makanan lokal masih mungkin dipelajari dan diamalkan tapi kita (terlalu) lama ketinggalan pengisahan. Kita juga sulit dalam lacak kembali ke alam (tradisional).
BACA JUGA: “S” Sakit dan Sehat (Bandung Mawardi)
Klise di Indonesia gara-gara pendefinisian rezim Orde Baru: negara beras. Kita telanjur diajari untuk menerima “kebenaran” bahwa Indonesia itu negara agraris. Penduduk di Indonesia makan nasi. Kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru itu mengabaikan keanekaragaman lingkungan alam di seantero Indonesia dan tradisi pangan terbentuk sejak lama.
Kita menengok sejenak kesilaman tanpa harus selalu berkaitan “rezim beras” bentukan Orde Baru. Kita bergerak ke masa lalu saat orang-orang di Jawa bertani. Mereka memuliakan Dewi Sri. Kita membuka buku berjudul Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Cariyos Dewi Sri (1998) terbitan Depdikbud. Studi tim dalam melakukan pembacaan dan penafsiran atas naskah menguak tradisi pangan dan tata kehidupan di Jawa.
Kita kembali ke mitos. Di situ, ada citarasa lokal mengandung masalah religius, alam, dan nasib. Di Jawa, orang-orang pernah dalam pengertian bahwa padi berasal dari surga. Tanaman itu turun ke Bumi dibawa oleh Dewi Sri dan Ki Sedana. Pengangkut sampai ke Bumi atau Jawa adalah burung pipit. Imajinasi kita dianjurkan melangit dan membumi.
Pertanian padi dilakukan dengan pelbagai ritual. Padi turut menentukan arsitektur rumah dan pergaulan sosial-kultural. Tata cara makan dan pembentukan keluarga dipengaruhi padi. Ajaran-ajaran luhur dan kesadaran alam tetap bereferensi padi. Pada suatu masa, orang-orang menerima mitos demi kebaikan bersama, bukan menuruti keserakahan, pemujaan makanan, dan perusakan alam. Mitos itu menjadi “aneh” dalam nalar modern. Kita maklum tapi memahami ada pijakan lokalitas agar masalah makan(an) menjadikan manusia beradab, bukan biadab.
BACA JUGA: Buku Itu Fana (Bandung Mawardi)
Pada abad XX, orang-orang pernah terlena dengan Revolusi Hijau. Penjelasan dan petunjuk bermutu disampaikan demi mengubah nasib miliaran manusia di Bumi. Keterlenaan lekas mendapat kritik-kritik. Pada masa keterpujian Revolusi Hijau, Barbara Ward dan Rene Dubos menerangkan nasib pertanian global berlatar 1960-an: “Tetapi, pada 1967 telah terjadi kemajuan besar dalam produktivitas pertnian, yaitu apa yang disebut Revolusi Hijau. Penelitian yang 20 tahun lamanya telah berhasil menghasilkan jenis padi dan gandum baru, yang diperoleh dengan seleksi saksama bibit hasil persilangan dan yang dengan aman dapat menyerap nitrogen sampai hampir 1,5 kwintal setiap hektare.” Abad XX, abad capaian pertanian dengan laporan-laporan memukau tapi ada keluhan, prihatin, kecewa, dan sesalan atas nasib lokalitas. Situasi itu menentukan pola makan dan pengetahuan pangan termiliki melalui kebijakan-kebijakan sering bersifat global.
Kita terpanggil untuk menilik kesejarahan (makanan) Nusantara. Kita memilih membuka buku berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) susunan Fadly Rahman. Penjelasan berhikmah: “Citra makanan Indonesia sendiri memang identik dengan keragaman dan keunikan budaya serta kaya akan citarasa. Keragaman, keunikan, dan kekayaan itu terbentuk melalui proses sejarah yang berlangsung dalam kurun waktu panjang serta dipengaruhi berbagai unsur global.” Kita mengerti bahwa peradaban makan(an) di seantero Indonesia mendapat pengaruh dari pelbagai sumber tapi ada kekhasan tampak di lokalitas. Begitu.
*) Bandung Mawardi merupakan Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.