Oleh : Bandung Mawardi
BUKU TEBAL itu mungkin tersisa puluhan saja di Indonesia. Buku turut dalam sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Buku memuat ribuan lema dan pengertian. Orang-orang bilang itu kamus.
Kita mengingat kamus lawas dan menghormati tokoh. Pada 1952, terbit Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta. Kita sengaja mengingat mumpung kamus berusia 70 tahun. Kamus itu mungkin sudah langka, tak gampang ditemukan di perpustakaan atau pasar buku bekas. Selama puluhan tahun, Kamus Umum Bahasa Indonesia dianggap (paling) penting dan berpengaruh di Indonesia. Kita tak lekas mufakat bila mau melacak sejarah perkamusan sejak awal abad XX.
Pada masa lalu, orang-orang mengetahui Kamus Umum Bahasa Indonesia, sebelum sering menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dua kamus tampak berbeda tapi berhubungan erat. Kini, orang-orang mengakrabi KBBI edisi daring ketimbang edisi cetak. Pergaulan kita dengan kamus-kamus sudah berubah. Kemudahan mencari kata dan pengertian menggunakan gawai mungkin berakibat orang melupa Kamus Umum Bahasa Indonesia diterbitkan Balai Pustaka.
BACA JUGA: Makan dan Minum (Bandung Mawardi)
Di majalah Tempo, 25 Mei 2008, edisi khusus berjudul “Indonesia yang Kuimpikan: 100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri”, kita membaca ulasan tentang Kamus Umum Bahasa Indonesia. Ulasan di urutan terakhir oleh Eko Endarmoko dan Anton M. Moeliono. Foto dipasang melengkapi tulisan tampak tak cocok dengan keterangan: “Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, Balai Pustaka, 1952.” Foto menampilkan Kamus Umum Bahasa Indonesia setelah diolah ulang oleh institusi pemerintah, 1976. Pihak redaksi Tempo mungkin gagal mendapatkan Kamus Umum Bahasa Indonesia cetakan pertama.
Di artikel, terbaca pengakuan Poerwadarminta sebagai “Bapak Kamus Indonesia”. Penjelasan diberikan Eko Endarmoko dan Anton M. Moeliono: “Kamus Umum Bahasa Indonesia hasil jerih payahnya telah memberi sumbangan yang tak ternilai dalam pembakuan kosakata bahasa Indonesia lewat usaha keras yang cermat, sistematis, dan menuruti prinsip-prinsip leksikografi.” Tulisan di Tempo bisa membuat kita abai dengan para pembuat kamus jarang teringat publik atau dijelaskan dalam sejarah perkamusan di Indonesia. Pembuat kamus bahasa Indonesia tak cuma Poerwadarminta.
Abdul Chaer dalam buku berjudul Leksikologi dan Leksikografi Indonesia (2007) menjelaskan posisi Kamus Umum Bahasa Indonesia, sejak masa 1950-an sampai abad XXI: “Kamus ini merupakan tonggak sejarah dalam pertumbuhan leksikografi Indonesia. Meskipun sifatnya sederhana dan praktis, kamus ini merupakan kamus deskriptif yang lema dan penjelasannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.”
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang (Bandung Mawardi)
Kamus disusun perorangan itu berpengaruh sampai pihak pemerintah membentuk tim dalam membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus itu menggunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia sebagai referensi (ter)penting. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbit pada 1988. “Kamus tersebut mendapat sambutan hebat dari kalangan masyarakat, baik yang memuji maupun yang memberi saran-saran perbaikan,” tulis Abdul Chaer.
Poerwadarminta moncer dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia. Ia mungkin tak mengetahui bila sering terjadi kesalahan dalam penentuan tahun terbit untuk cetakan pertama. Di pelbagai buku dan pidato, kesalahan terjadi dalam urusan tahun. Sekian orang menganggap cetakan pertama pada 1953 atau 1954. Kesalahan terjadi pula dalam penulisan tahun untuk cetakan kedua dan ketiga.
Kita membaca keterangan Anton M. Moeliono dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) terbitan Balai Pustaka: “Data kamus ini berasal dari dari berbagai sumber, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta (1976), Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (1983), Kamus Modern Bahasa Indonesia Sutan Mohammad Zain (tanpa tahun), Kamus Indonesia E. St. Harahap (1951), kamus bidang ilmu, buku pelajaran, dan berbagai media massa cetak.”
BACA JUGA: Bahasa Indonesia: Buku dan Masa Lalu (Bandung Mawardi)
Di halaman pustaka acuan, kita membaca pencantuman tahun penerbitan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta disunting (ulang) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia itu 1986, bukan 1976. Kita justru tak menemukan Kamus Umum Bahasa Indonesia cetakan pertama, 1952.
Kita berlanjut membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, 1952. Kamus bersampul tebal, 903 halaman. Harga kamus: Rp 40. Pengantar ditulis Poerwadarminta pada 1951 memuat penjelasan: “Tak teringkari lagi bahwa kamus ini masih banjak tjatjat tjelanja, dan banjak pula kekurangannja. Karena itu maka diharapkan dengan hormat sudilah pemakai kamus ini mentjatat barang apa jang kurang tepat dan menambah barang apa jang kurang…”
Poerwadarminta mengakui sulit untuk membuat kamus lengkap. Ia mungkin menganggap itu kemustahilan. Pada masa berbeda, ia tak mengikuti usaha-usaha dalam mewujudkan kamus “lengkap” berwujud Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kini, kamus itu tak cuma edisi cetak. Para pengguna sering memilih edisi daring meski berakibat gagal bertemu kamus lawas berusia 70 tahun. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.