Sekolah-sekolah berdiri di tanah jajahan. Ilmu-ilmu “baru” bakal diajarkan kepada anak-anak agar mengerti dunia. Konon, ilmu-ilmu itu datang dari Barat. Penamaan mata pelajaran memang aneh. Para guru pun mula-mula asing. Di sekolah, murid-murid belajar beragam ilmu dengan takjub, bingung, ragu, girang, takut, dan bosan.
Mereka di kelas menanggungkan impian tentang masa depan-depan. Ilmu-ilmu dipelajari di sekolah dijanjikan bisa membuat mereka terhormat, mengubah nasib, dan “memiliki” dunia. Di sekolah, mereka juga mendapat derita dan dilema dalam mempelajari pelbagai ilmu kadang tak sesuai dengan iman, adat, atau (ideologi) kebangsaan.
Di hadapan guru, para murid dianjurkan patuh. Pada saat mengikuti pelajaran, mereka diwajibkan tenang bertujuan bisa mengerti. Pelanggaran, kebodohan, dan kebingungan mengakibatkan guru berhak marah atau menambahi “masalah” dengan pelajaran tambahan. Pada masa lalu, guru-guru tak selalu bijak. Di kelas, mereka kadang mengajar dengan kekuasaan besar, angkuh, dan lupa kemanusiaan. Guru dan pelajaran menjadi petaka bagi murid-murid belum terlena ilmu-ilmu berdatangan dari Barat.
Kita mengenang pelajaran dan petaka dialami murid-murid di Sumatra awal abad XX. Rekaman peristiwa terdapat dalam buku berjudul Pengalaman Masa Kecil (1960) susunan Nur Sutan Iskandar. Kita mengingat situasi menegangkan dan pelajaran bernama apik tapi menimbulkan siksa. Nur Sutan Iskandar mengisahkan: “Anak itu terpanggil kemuka kelas, waktu beladjar ilmu bumi. Ia harus menundjukkan beberapa buah negeri di Sumatera dalam sebuah peta, jang telah digantungkan dipapan tulis. Kami sudah gelisah karena negeri-negeri itu hampir tidak kami perhatikan karena ketjil dan tidak pernah disebut-sebut. Tetapi, katanja, negeri itu penting sekali karena disitu ada sebidang kebun tembakau jang amat luas.”
Ilmu bumi, nama pelajaran mengajak murid-murid mengetahui Indonesia dan dunia. Mereka melihat peta. Buku pelajaran dan guru memberi penjelasan-penjelasan mengenai laut, sungai, gunung, danau, dan lain-lain. Murid-murid mengerti beragam jenis flora dan fauna. Mereka mengenali perbedaan mata pencaharian di pelbagai negara. Pelajaran itu mungkin mengajak mereka berimajinasi bakal bertualang mendatangi tempat-tempat dipelajari selama di kelas. Imajinasi itu bisa berantakan bila bodoh dan salah.
BACA JUGA: Buku: Bapak dan Anak
Cerita berlanjut: “Tentu saja anak itu tidak tahu dan ragu-ragu menunjukkan. Hati saja sendiri sudah berdebar-debar. Nistjaja terdjadi pula hal jang sangat ngeri. Memang, belum beberapa menit antaranja, anak itu pun sudah kena tampar. Sekali, dua kali, dengan tidak pernah menaruh belas kasihan. Kawan-kawanku karena sudah biasa dengan hal sedemikian, duduk tepekur dan ketakutan. Akan tetapi, api marah telah berkobar-kobar dalam dada kami masing-masing. Dalam pada itu kami berharap-harap djangan terpanggil kemuka kelas…” Ilmu bumi tidak terlalu bersalah. Murid-murid marah kepada guru dianggap suka main hukum dan mengajar tidak dengan cara menggembirakan.
Dulu, buku-buku ilmu bumi sering disusun oleh orang-orang Eropa. Buku dipelajari murid-murid di tanah jajahan untuk mengetahui pelbagai hal. Pengetahuan tentang Indonesia terbatas. Konon, pihak-pihak menggerakkan ideologi nasionalisme menganggap terjadi “muslihat” selama pengajaran ilmu bumi sejak awal abad XX. Murid-murid dipengaruhi mengagumi Eropa. Mereka belajar keunggulan atau keistimewaan negara-negara besar di Eropa. Di kelas, murid-murid dibuat terpukau dengan Belanda. Mereka pun berhadapan peta Indonesia meski penjelasan-penjelasan kadang dikaburkan oleh pembuat buku atau guru.
Pada suatu masa, kaum terpelajar sadar mendapat “muslihat” dalam kurikulum kolonial. Mereka mengerti ada sekian mata pelajaran memang tak mengantar pengetahuan dan pemuliaan Indonesia. Peta sering menjadi perhatian. Mereka paham kolonialisme itu peta dan kekuasaan. Di selembar peta atau buku atlas ada misi-misi besar menguasai dunia. Di buku pelajaran dinamakan ilmu bumi, ada keinsafan tentang “pembatasan” pengetahuan dan pengelabuan posisi atau pengaruh Indonesia di dunia. Kolonialisme lumrah merecoki buku pelajaran berakibat murid-murid di Indonesia jarang sampai ke kebenaran.
Keinginan meralat atau mengubah isi pelajaran ilmu bumi diwujudkan dengan penulisan buku-buku pelajaran setelah 1945. Peta untuk Indonesia dipastikan menentukan mutu nasionalisme. Peta belum tetap, masih terus dalam sengketa politik dan bisnis. Murid-murid belajar di sekolah menggunakan buku-buku belum baku. Mereka pun diajak memiliki Indonesia dengan membuka buku atlas. Pengertian tentang Indonesia berlanjut dalam pergaulan dunia. Peta-peta dan segala keterangan dalam buku atlas perlahan berbeda dari warisan-warisan kolonial.
Adinegoro, pengarang dan wartawan moncer sejak masa 1920-an, bergerak ke Belanda untuk belajar masalah peta. Ia pun mendalami pendidikan. Buku-buku telah ditulis dan diterbitkan mengenai sastra, perlawatan, pers, demokrasi, pendidikan, dan lain-lain. Berdalih kemuliaan Indonesia, ia membuat buku atlas dalam menggenapi pelajaran ilmu bumi di sekolah-sekolah.
BACA JUGA: Tokoh: Buku dan Solo
Pada 1951, terbit buku berjudul Teks Atlas Tanah Air dan Dunia susunan Adinegoro. Buku tipis tapi bukti pementingan ilmu bumi. Buku diterbitkan oleh Djambatan. “Tudjuan ilmu bumi: mempeladjari keadaan dan perbedaan ruangan dimuka bumi, perbedaan alamnja, kehidupan tumbuh-tumbuhannja, binatangnja dan manusianja, serta seluk-beluk, sebab, serta akibat jang berhubungan dengan tempat ruangan itu dengan kehidupan,” penjelasan Adinegoro.
Buku itu tak pernah terbaca oleh murid-murid diceritakan Nur Sutan Iskandar dalam buku berjudul Pengalaman Masa Kecil. Mereka belajar dalam situasi penjajahan. Nama pelajaran tetap sama tapi citarasa dan kemauan belajar berbeda, dari masa kolonial sampai masa kemerdekaan. Buku persembahan Adinegoro bermaksud tampil beda ketimbang dengan buku-buku pernah dipelajari pada masa penjajahan dan awal revolusi.
Adinegoro memberi keterangan tentang Indonesia dalam beragam hal. Kita mengutip masalah hutan sambil berimajinasi melihat peta berukuran besar terhampar: “Keadaan hutan tropika bagi bangsa Indonesia tidak asing lagi. Pohonnja ternjata berdjenis-djenis. Tinggi pohon-pohonnja ada jang sampai 60 m. dibawahnja ada lagi tingkatan kaju-kajuan jang rendah, sudah itu ada lagi tingkatan jang lebih rendah dan jang paling rendah ialah djenis pakis, resam, dan tumbuh-tumbuhan jang mendjalar (sulur-suluran). Tanahnja lembab dan banjak daun serta kaju mati jang mendjadi busuk diatas tanah itu, dan karena lapisan humus itu tanah mendjadi subur.”
Pada masa 1950-an, kita mengandaikan murid-murid bergairah belajar ilmu bumi. Mereka menghadapi peta. Di depan kelas, guru-guru diharapkan buka seperti guru-guru kejam dan berlagak paling pintar seperti masa awal abad XX. Buku-buku digunakan dalam belajar perlahan disusun orang-orang Indonesia meski masih bereferensi buku-buku asing pernah digunakan pada masa kolonial. Belajar ilmu bumi, belajar pelbagai hal. Belajar untuk menjadi Indonesia, bukan menjadi sasaran “pembodohan” dan “penghinaan” pernah dialami murid-murid masa lalu. Begitu.