Di rumah, anak itu mengetahui bapak dan ibu suka membaca buku. Ia biasa melihat buku-buku koleksi bapak. Di tatanan rapi, ribuan buku itu menakjubkan. Pemandangan menebar pengetahuan. Anak membuat pemaknaan tentang bapak dan buku. Sosok lelaki berkacamata itu mungkin patut mendapat julukan “lelaki bermata buku”. Bapak memang hidup bersama buku-buku. Bapak itu bernama Mohammad Hatta.
Pengalaman melihat buku dan mendapat asuhan bapak menjadikan Meutia Farida HS gandrung buku. Ia turut ketagihan buku meski tak “separah” bapak. Hidup di rumah bersama buku-buku mengartikan pengembaraan pengetahuan dan imajinasi sering tak berujung.
Meutia dalam buku berjudul Bung Hatta (2003) menjelaskan: “Namun, membaca tidak membuat ayah menjadi text-book thinking. Sebaliknya, beliau mencerna substansi buku-buku itu, apakah pandangan pengarangnya perlu diadopsi, diadaptasi atau bahkan secara fundamental disanggah.” Di hadapan buku, pembaca bukan selalu pengikut, hamba, atau pemberi tepuk tangan.
Buku dibaca dalam kondisi terbuka. Buku-buku pun ditutup selesai membaca. Perlakuan santun untuk buku-buku. Meutia mengerti wujud menghormati buku dari pengajaran bapak: “Namun, yang membuat kagum kami, anak-anaknya, ialah cara ayah memelihara buku-bukunya. Termasuk di sini adalah buku-bukunya yang digunakannya pada tahun-tahun pertama kuliahnya di Belanda, antara 1921-1924, yang hingga kini masih kami simpan baik-baik.” Buku-buku itu pengetahuan. Buku-buku pun penentu biografi pembaca, mengingatkan waktu-waktu berlalu dengan pelbagai kesan-kesan pembacaan. Buku-buku bermasa lalu bisa diwariskan, melintasi garis waktu masih panjang.
Konon, jumlah buku itu mencapai sepuluhan ribu. Kita melihat rumah dihuni buku-buku, mencipta hawa keaksaraan setiap hari. Di situ, keluarga berakraban dengan buku-buku. Bapak, ibu, dan anak berkiblat buku untuk belajar pelbagai hal. Mereka bukan cuma pembaca buku. Mereka berperan sebagai pemelihara buku agar rapi dan awet.
BACA JUGA: Tokoh: Buku dan Solo
Di rumah, bapak menjadi panutan dalam menghormati buku. Ajaran diperoleh Meutia sejak kecil: “Belajar menyukai buku sekaligus belajar cara membaca yang baik, yaitu duduk di depan meja baca, tidak boleh sambil berbaring atau telungkup di tempat tidur. Buku tak boleh dilipat kulit maupun lembar kertasnya, apalagi dikotori dengan minuman dan makanan.” Kita memastikan buku-buku di rumah anggun, bersih, dan termuliakan. Buku melampaui sekadar benda. Penghormatan pembaca terhadap buku dilambari kebaikan, keindahan, dan kesantunan.
Kita mengenang lagi babak awal Mohammad Hatta membeli, membaca, dan mengumpulkan buku. Pada saat remaja, ia menggandrungi buku. Ingatan tercatat dalam buku berjudul Untuk Negeriku (2011) mengingatkan diri dan buku: “Sesudah itu aku dibawanya ke sebuah toko buku antiquariaat di sebelah Societeit Harmonie. Buku pelajaran kimia yang kuperlukan tidak ada. Selagi melihat-lihat buku di sana tampak oleh Mak Etek Ayub tiga macam buku yang dianggapnya perlu aku baca nanti, yaitu NG Pierson (Staathuishoudkunde) dua jilid cetakan pertama; HP Quack (De Socialisten) enam jilid; dan Bellamy (Het Jaar 2000). Inilah buku-buku yang bermula kumiliki, yang menjadi dasar perpustakaanku.” Peristiwa itu mungkin dialami pada 1919 saat Hatta berada di Jakarta.
Buku-buku itu dibaca saat malam, Hatta memang sungguh-sungguh dalam berurusan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Buku-buku menunjang studi dibaca cermat dan bersemangat. Buku-buku umum pun dinikmati agar mengerti pelbagai hal. Hatta memiliki tempat dan waktu dalam menikmati buku-buku: “Biasanya buku-buku yang mengenai mata pelajaran aku pelajari pada malam hari. Buku-buku lainnya, buku roman dan buku tambahan untuk meluaskan pengetahuan, kubaca pada sore hari sesudah pukul 16.00 atau 16.30.” Sejak mula, Hatta, menentukan tata cara membaca buku. Ia dalam peristiwa rutin, berpatokan tertib dan disiplin.
Babak remaja berlanjut sampai tua. Hatta terus membeli buku-buku di pelbagai kota atau negara. Koleksi bertambah setiap tahun sampai ribuan buku. Ia merawat buku-buku. Sekian buku sudah khatam dibaca mendapat tanggat saat digunakan dalam menulis atau percakapan. Orang-orang mengira hidup Hatta melulu buku.
Bapak memiliki biografi panjang bersama buku-buku. Sosok bapak dan buku ikut mempengaruhi Meutia saat lahir dan tumbuh di rumah dihuni buku-buku. Tata cara membaca dan merawat buku menjadikan Meutia tak sembarangan dalam menikmati bacaan. Ia mengetahui kaidah-kaidah digunakan bapak. Meutia mengerti itu bermaksud baik.
BACA JUGA: Pengarang Tua dan Novel Lama
Meutia dalam buku berjudul Pribadi Manusia Hatta (2002) membuktikan pengaruh bapak: “Setelah timbul kegemaran mengumpulkan buku-buku cerita, dengan sendirinya saya terbiasa untuk menyimpan buku-buku pelajaran saya dari kelas yang sebelumnya, bahkan sampai sekarang buku-buku pelajaran sejak dari SD masih merupakan bagian dari koleksi buku saya, yang tentunya akan berguna bagi anak saya kelak.”
Kita agak kaget mengetahui kemauan dan kebiasaan mengoleksi buku-buku pelajaran. Pada masa berbeda, buku-buku pelajaran digunakan di sekolah sering berganti setiap tahun, susah dijadikan warisan untuk dibaca lagi. Dulu, Meutia mungkin berada dalam kebijakan-kebijakan pendidikan belum menggampangkan bisnis perbukuan pelajaran. Pada masa berbeda, kita bakal mendapat dokumentasi penting bila mau melakukan studi bertema buku pelajaran di Indonesia. Buku-buku lama menjadi bandingan dan mengesahkan nostalgia bersekolah. Buku-buku itu memang berisi materi-materi pelajaran tapi mengikutkan biografi murid, dari masa ke masa.
Bapak di rumah memberi petunjuk dan pembiasaan menggandrungi buku. Anak-anak sadar khasiat buku. Di depan buku, mereka menjadi pembaca memperoleh “keuntungan-keuntungan”. Bapak terbukti sebagai panutan. Meutia menjelaskan: “Kegemaran membaca buku yang ditanamkan ayah sejak kecil ternyata menguntungkan kami bertiga dalam hal memperoleh nilai yang baik dalam pelajaran tata bahasa Indonesia. Keuntungan lainnya, kami memperoleh pengetahuan tentang adat-istiadat beberapa masyarakat di Indonesia…” Buku-buku menjadi acuan pelajaran-pelajaran di sekolah dan berlimpahan pengetahuan umum. Anak-anak berhak menjadi buku itu hiburan, tak selalu bermisi akademik.
Pada suatu masa, buku menentukan jalinan erat bapak dan anak. Mereka mengalami zaman masih mementingkan buku-buku cetak atau beragam bacaan cetak. Kesanggupan mengoleksi atau merawat buku-buku mengartikan kesadaran ruang, waktu, dan suasana. Pada abad XXI, pengisahan bapak dan anak bersama buku-buku itu agak sulit ditiru saat wujud bacaan dan tata cara menikmati bacaan berubah. Rumah-rumah tak lagi mengharukan memiliki ruang untuk ditempati lemari atau rak buku. Dunia telah makin ringkas. Dunia tak menghendaki orang-orang sibuk dengan buku-buku cetak sebagai penghuni rumah: mengiringi kelahiran dan pertumbuhan anak. Begitu.