Kita mengenal deretan nama intelektual atau cendekiawan di Indonesia membentuk biografi dengan buku-buku selama ribuan hari. Mereka membeli buku. Mereka mendapat hadiah buku. Mereka menulis buku-buku. Hari demi hari berganti, koleksi mereka mencapai ribuan atau puluhan ribu buku.
Pada saat masih hidup, buku-buku itu digunakan untuk menghasilkan tulisan-tulisan. Buku-buku menjadi bekal memberi ceramah-ceramah. Di rumah mereka, buku-buku menjadi pemandangan lazim meski selalu saja menakjubkan. Konon, buku-buku tak bakal langgeng berada di rumah. Pada suatu hari, intelektual atau cendekiawan itu pamit dari dunia, koleksi buku kadang berpindah tempat. Buku-buku mungkin dititipkan atau dihibahkan ke perpustakaan besar. Buku-buku mungkin dirawat oleh komunitas dengan mendirikan tempat penghormatan. Warisan buku-buku dipelajari publik dan acuan nostalgia. Kita pun lumrah mendapat berita koleksi para intelektual atau cendekiawan berada di penampungan rongsokan atau dagangan di pasar buku bekas.
Pada 4 Februari 2023, pedagang buku di media sosial dengan inisial ES menampilkan foto-foto buku. Kita melihat buku-buku berantakan dan kardus-kardus. Pemandangan berantakan membuat kita tersentak. Ia menampilkan foto stempel di buku. Di situ, terbaca: “Prof. Dr. Nurcholis Madjid Library.” Kotak memuat data buku juga terlihat. Stempel berwarna biru membuat kita terharu. Buku-buku pernah menjadi koleksi dan dibaca itu berpindah tempat. Buku dilihat sebagai dagangan. Foto-foto mengingatkan bahwa buku-buku berantakan itu pernah menjadi koleksi Cak Nur (Nurcholis Madjid). Sosok rajin menulis dan berceramah. Kita menghormati keampuhan intelektual dengan membaca puluhan judul buku sering diterbitkan oleh Mizan dan Paramadina.
Kita tak melupa Cak Nur. Kita justru makin ingat setelah melihat buku-buku itu menjadi dagangan ditawarkan di media sosial. Buku-buku telah berpisah dari Cak Nur, meninggalkan jejak-jejak tak cuma stempel.
BACA JUGA: Pengarang Tua dan Novel Lama
Sekian menit berlalu, ES membuat pengumuman setelah menghapus foto-foto telanjur diunggah. Pengumuman singkat: “Maaf, kawan FB, bukunya sang prof… sudah dibeli oleh yang tak mau disebutkan namanya tetapi perlu buat dokumentasi kata beliau.” Kalimat masih agak mudah dimengerti. Pedagang agak sopan dengan mengetik titik-titik, bukan nama terang.
Koleksi buku sudah dibeli orang tanpa mau diketahui nama. Dalih terbesar: dokumentasi. Ia tak tega bila buku-buku itu dibeli sekian orang dan bergerak ke alamat-alamat berbeda. Kita tak membaca keterangan tentang mufakat harga untuk buku-buku pernah menjadi koleksi Cak Nur. Kita mengangguk atas keputusan orang membeli semua untuk dokumentasi. Ia melakukan penghormatan setelah kita sempat tersentak dan penasaran.
Kita mendingan mengingat penjelasan Nurcholis Madjid dimuat dalam buku Kaki Langit Peradaban Islam (1997). Di situ, ia membahas masjid dan etos membaca. Penjelasan-penjelasan mengandung kritik tapi bermaksud memicu kesadaran umat Islam. Ia berpendapat: “Kemunduran umat Islam di seluruh dunia sekarang ini antara lain adalah akibat rendahnya minat membaca, yang mengakibatkan terjadinya kemasabodohan (obskurantisme), yang membuat mereka (umat Islam) tidak lagi memiliki kreativitas ilmiah seperti yang dulu pernah ada pada generasi-generasi pertama kaum muslim. Mereka kehilangan kemampuan membuat terobosan-terobosan baru, dan menjadi puas hanya dengan memelihara apa yang sudah ada dalam warisan, tanpa keberanian mengembangkan ke arah yang lebih maju.”
Kalimat-kalimat itu dibuat Cak Nur. Kita pun biasa mendapat seruan dengan kemiripan peringatan tentang umat Islam abad XX malas membaca buku dan miskin pengalaman bacaan. Keluhan dan kecewa disampaikan dalam pelbagai tulisan dan acara. Peristiwa membaca itu peristiwa sulit terjadi saat dunia terlalu berubah. Cak Nur ingin pemunculan dan penguatan etos pembaca berpusat atau mengacu di masjid. Usulan berkaitan tilikan sejarah dan perkembangan peradaban Islam di pelbagai benua.
BACA JUGA: Kamus 70 Tahun
Kita beralih ke pendapat (umum) mengenai misi dan dampak membaca meski agak klise: “Membaca adalah kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dengan membaca orang dapat melakukan penjelajahan bebas ke mana-mana, ke daerah-daerah (ilmu pengetahuan) yang belum dikenal. Membaca adalah kegiatan memahami apa yang tertulis. Dan apa yang tertulis itu, yaitu kitab-kitab atau buku-buku serta dokumen-dokumen lainnya, adalah simpanan ilmu pengetahuan dan akumulasi pengalaman umat manusia sepanjang sejarahnya.”
Kita gampang memberi mufakat. Tulisan lama itu terbaca lagi sambil berpikir nasib koleksi buku Cak Nur dan koleksi buku para cendekiawan di Indonesia. Koleksi buku-buku terduga tak betah berada di rumah. Koleksi kadang berpindah tempat bukan ke perpustakaan tapi dimengerti sebagai dagangan di pasar buku bekas.
Dulu, Cak Nur suka mengunjungi pasar buku bekas. Ia memiliki kenangan indah di Solo. Kenangan itu terdapat dalam buku berjudul Hidupku Bersama Cak Nur (2015) berisi catatan Omi Komaria-Madjid. Kita diajak mengenang Cak Nur saat masih muda dan mengalami hari-hari untuk membuat janji suci bersama Omi Komaria dalam pernikahan.
Pada suatu Hari, Omi kuliah di Solo. Cak Nur datang dari Jakarta ingin bertemu demi mewujudkan impian menikahi Omi. Cak Nur mengajak teman untuk mengajak Omi jalan-jalan. Semula, Omi ikut dengan terpaksa gara-gara harus meninggalkan kuliah.
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang
Peristiwa indah ditandai buku. Kita membaca catatan Omi: “Di siang yang terik, kami bertiga berjalan menyusuri Jalan Slamet Riyadi. Kami mampir di pasar buku bekas karena Cak Nur ingin membeli buku-buku berbahasa Jawa. Cak Nur membeli buku-buku berbahasa dengan aksara Jawa pula. Sambil melihat-lihat buku, dia mengatakan ingin menulis buku dengan bahasa Jawa karena ia khawatir bahasa Jawa akan punah.” Cak Nur saat muda memiliki perhatian besar tentang Jawa. Pada masa berbeda, ia mungkin gagal mewujudkan keinginan menulis buku bertema Jawa.
Omi masih mencatat kenangan: “Tidak terasa kami berjalan sepanjang tiga kilometer di hari yang panas itu. Setelah membeli buku-buku, kami melanjutkan perjalanan ke alun-alun, kemudian ke Pasar Klewer.” Di Solo, Cak Nur menjumpai gadis pujaan. Ia pun memerlukan mengikuti gairah keintelektualan dengan berbelanja buku-buku bekas. Pada saat masih muda, koleksi buku mungkin ratusan. Pada saat ia telah menjadi cendekiawan besar dan berpengaruh, koleksi pasti mencapai ribuan buku.
Kini, kita mengenang Nurcholish Madjid sambil berharapan buku-buku selamat. Koleksi buku bisa menjadi bukti ketekunan membaca dan menghasilkan tulisan-tulisan. Pembeli tanpa mau disebutkan nama untuk dagangan buku-buku berstempel koleksi Nurcholis Madjid melakukan tindakan heroik untuk pemuliaan tokoh dan buku. Begitu.