Oleh : Ahmad Kholas Syihab
Meski belum memasuki musim kampanye, di sepanjang jalan perkotaan dan sudut-sudut kampung, mata kita disajikan dengan pemandangan maraknya gambar-gambar politisi memperkenalkan diri dan berbagai semiotika, hal ini sebagai penanda bahwa hajat besar lima tahunan bangsa Indonesia semakin dekat yakni pemilu 2024.
Pemilu serentak tahun depan ini akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi. Pasca Mahkamah Konstitusi merevisi materi Pasal 280 Ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 terkait perizinan kampus menjadi lokasi kampanye peserta pemilu.
Menurut sosiolog UGM Arie Sujito, bahwa kampanye di dalam kampus perlu dimaknai dalam kerangka pendidikan politik, mengingat kampus sebagai lembaga akademik juga memiliki peran sebagai pilar demokrasi.
Selain itu, kampus memiliki peran memberi bekal bagi publik termasuk mahasiswa dengan memformulasikan kampanye dalam bentuk debat, dialog, diskusi, atau membangun argumen antar-masing-masing kandidat.
Jadi, kampanye model konvensional pasang gambar dan baliho sebanyak-banyaknya mulai bisa dikurangi dengan model adu gagasan.
Masyarakat Indonesia saat ini perlu pendidikan politik yang matang, agar paradigma ada uang kami coblos bisa berangsur-angsur berkurang dan hilang. Dan kampus-kampus perlu terpapar masalah-masalah; bukan untuk menambah kompleksitas persoalan, melainkan agar penghuni kampus tidak terisolasi dan kehilangan kepekaan sosial mereka.
Kampus harus turut ambil peran dalam pendidikan politik kepada masyarakat. Seperti langkah yang cukup berani dilakukan UGM bersama Mata Najwa yang mengundang tiga Bacapres untuk berbicara gagasan pada hari Selasa 19 September 2023 patut kita apresiasi.
Kampus sebagai Ruang publik merupakan wacana yang memungkinkan terjadinya adu gagasan antar politisi untuk merebut hati pemilihnya secara rasional. Habermas menjelaskan bahwa ruang ini terdiri dari infrastruktur dan norma yang benar-benar mendukung dan memfasilitasi diskusi politik yang kritis. Dimana yang menjadi tren adalah argumentasi yang beralasan dan diskusi kritis menjadikan kekuatan argumentasi lebih penting dibandingkan identitas pembicara (Habermas, 2007).
Diharapkan model kampanye berbasis diskusi kampus akan lebih berbobot dibandingkan metode konvensional seperti panggung terbuka, baliho, dan jejaring sosial, sekalipun perdebatan politik muncul berdasarkan gagasan yang rasional dan komprehensif.
Gagasan politik ini muncul dari kemampuan berkomunikasi yang berbasis upaya pencarian pemahaman timbal balik lewat diskursus dalam ruang publik. Dalam Rasionalitas Komunikatif, Habermas menekankan pentingnya mengungkapkan tiga pernyataan valid dalam komunikasi, yaitu pernyataan kejujuran, ketepatan, dan kebenaran. Oleh karena itu, kebijakan publik harus dikembangkan atas dasar diskusi dan konsensus umum di ruang publik.
Kampus bukan lagi menara gading, gedung unggulan yang tidak bisa diakses publik untuk diskusi politik. Oleh karena itu, kampus perlu terbuka dalam mendesain ruang publik untuk berdiskusi mengenai isu politik.
Ruang publik dalam suasana kehidupan kampus sudah menjadi kebutuhan dalam kurikulum merdeka. Selain itu, dalam dinamika politik, hal ini menyiratkan bahwa warga negara dan masyarakat umum menjadi semakin naik kelas dan tidak baper-an soal beda pilihan dan pandangan politik.
Ahmad Kholas Syihab, Pegiat Sosial dan Demokrasi