Oleh: Subchan Zuhri
Hampir dalam waktu bersamaan dua even besar terlaksana dan sangat memengaruhi aktivitas masyarakat di Indonesia. Apakah itu? Tidak lain adalah even sepak bola dunia yang terselenggara dalam kualifikasi piala dunia 2026. Di mana Timnas Indonesia turut ambil bagian untuk memperebutkan tiket kompetisi sepakbola paling akbar di planet ini.
Yang kedua, adalah even pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota. Even pilkada di Indonesia ini juga menyita banyak perhatian, sebab pilkada 2024 diselengarakan serentak di seluruh provinsi, kabupaten/kota se Indonesia.
Kedua even besar ini terselenggara hampir bersamaan di beberapa bulan ini. Kualifikasi piala dunia 2026 untuk zona Asia telah memasuki babak ketiga (round 3). Ada 18 negara yang saat ini akan memperebutkan tiket ke Piala Dunia 2026 di mana Timnas Indonesia merupakan salahsatunya, dan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih bertahan dalam kualifikasi piala dunia ini.
BACA JUGA: Pentingnya Menjadi Pemilih yang Cerdas dalam Membentuk Masa Depan Bangsa
Dengan masuknya Timnas Indonesia pada babak ketiga kualifikasi piala dunia 2026 ini, tentu perhatian masyarakat Indonesia tertuju untuk menyaksikan perjalanan Tim Garuda (jukukan Timnas Indonesia) di setiap pertandingan. Hal itu tergambarkan di saat Rizky Ridho dan kawan-kawannya melakoni pertandingan, hampir di semua rumah, hotel-hotel, restaurant, kafe, warung angkringan, bahkan sampai instansi pemerintah juga menggelar nonton bareng (nobar).
Setiap pertandingan Timnas Indonesia selalu disaksikan baik yang memang pencinta sepak bola sampai yang asalnya tidak suka sama sekali pun tak mau ketinggalan nonton di layar televisi.
Kehebohan di saat timnas Indonesia bermain juga tidak hanya terjadi selama 90 menit pada saat pasukan Shin Tae-yong bermain. Akan tetapi perbincangan, bahkan kegaduhan terjadi beberapa hari menjelang pertandingan, pada saat bermain, sampai beberapa hari setelah pertandingan.
Geger piala dunia ini alamiah terjadi di semua wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai Aceh sampai Papua. Bahkan negara-negara Asean lain yang sudah tidak lolos round 3 seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam pun turut geger, terbukti media-media lokal negara itu ramai memberitakan kiprah Timnas Indonesia.
Di babak ketiga kualifikasi piala dunia 2026 ini, Indonesia tergabung dalam grup C bersama Jepang, Arab Saudi, Australia, Bahrain dan China. Dari tiga laga yang dijalani, Timnas Indonesia sama sekali belum terkalahkan. Ketiganya berakhir seri dan telah mengumpulkan 3 poin dari tiga laga awal.
BACA JUGA: Ini Tips Sehat di Saat Cuaca Panas
Saat ini Timnas Indonesia bersiap menghadapi China (15/10) dan sangat diharapkan akan mendapatkan kemenangan pertamanya untuk bisa mengamankan posisi di empat besar agar lolos ke babak keempat (round 4). Bahkan Timnas Garuda akan punya peluang bertengger di posisi runner up (posisi 2) untuk mengamankan tiket langsung lolos ke Piala Dunia 2026 di Amerika.Target empat besar maupun runner up itu sangat realistis melihat materi pemain timnas saat ini. Namun untuk berharap di posisi juara grup tampaknya masih sulit sebab di grup C ada raksasa Asia, yakni Timnas Jepang yang sampai saat ini belum terkalahkan.
Hal lain di luar sepak bola yang juga mengegerkan khalayak adalah pilkada. Ya. yang namanya kontestasi politik dalam memperebutkan jabatan kepala daerah, mau dibuat sunyi sekalipun keriuhan masyarakat tetap terjadi.
Tak ubahnya dengan penonton sepakbola, para peserta pilkada yakni pasangan calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati maupun walikota-wakil walikota beserta tim pemenangannya, partai pengusungnya, sampai para relawan dan pendukungnya akan riuh ramai dengan sendirinya.
Saling adu strategi antar peserta dan tim suksesnya sudah mulai tampak, apalagi saat ini telah memasauki musim kampanye. Atraksi-atraksi dan jurus politik masing-masing kubu mulai dikeluarkan, tentunya untuk menggaet suara pemilih demi memenangkan pilkada.
Hal tersebut tidaklah sesuatu yang salah. Dalam kontestasi perebutan kekuasaan yang diwadahi dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara demokratis, setiap peserta pemilu mengeluarkan segala jurus politiknya untuk meraih kemenangan adalah hal yang sah.
Namun, tentu jurus-jurus dan strategi politik dalam pilkada ini harus mengikuti peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan perubahan ketiga dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Sama halnya dalam pertandingan sepak bola, juga dikenal ada aturan main (rule of the game) yang harus ditaati peserta pertandingan maupun perangkat pertandingan lainnya.
Antara sepak bola dan pilkada tentu ada kesamaannya. Yakni sama-sama ingin menjadi juara. Kesamaan lain yang mestinya tersaji adalah peserta permainan harus tunduk terhadap rule of the game (aturan main) yang telah disepakati. Apabila ada pemain yang melanggar, wasit pertandingan jangan segan memberikan sanksi. Dalam sepak bola maupun pilkada, sanksi terhadap pelanggar bisa bertingkat, mulai dari kartu kuning (peringatan), sampai kartu merah (dikeluarkan dari arena pertandingan).
Sanksi atas pelanggaran ini tidak hanya berlaku pada pemain. Namun perangkat pertandingan seperti wasitpun ada yang sampai mendapatkan sanksi.
Bisa jadi wasit yang terbukti tidak adil akan menerima sanksi dari federasi sepak bola internasional atau FIFA. Bahkan jika ada wasit yang tidak adil dalam memimpin pertandingan tetapi FIFA tidak memberikan sanksi, para pendukung tim di setiap negara seringkali bereaksi memberikan sanksi sosial. Seperti halnya yang baru saja dialami wasit Ahmed Al Kaf yang memimpin Timnas Indonesia vs Bahrain dianggap tidak adil dan mendapat sanksi sosial berupa hujatan pendukung Timnas Indonesia melalui media sosial.
Di pilkada hal serupa bisa saja terjadi. Potensi pelanggaran dalam pilkada selalu ada. Indeks kerawanan Pilkada yang seringkali disorot adalah netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan politik uang.
Dalam penanganannya, ada saluran-saluran resmi yang akan menangani setiap jenis pelanggaran pilkada. Baik pelanggaran yang dilakukan peserta pilkada maupun pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pilkada sendiri.
Semoga geger piala dunia dan pilkada ini hanya soal keramaian suporter yang masih wajar dan tidak menimbulkan konflik antar pendukung. Meskipun Pilkada itu seringkali disebut konflik yang legal dalam berebut kekuasaan, namun konfliknya bukan berupa adu fisik, tetapi adu konsep dan gagasan.
Subchan Zuhri, Direktur Publikasi dan Media Lembaga Independen Demokrasi Indonesia (LIDINA)