Oleh : Bandung Mawardi
PADA MASA 1950-an, keinginan memajukan bahasa Indonesia diselenggarakan di sekolah, politik, pers, sastra, dan lain-lain. Kemajuan memerlukan “modal” berupa kebijakan-kebijakan pemerintah, ketersediaan bacaan, dan kurikulum. Bahasa Indonesia bergerak setelah babak-babak penentuan pada 1928, 1938, dan 1945. Kemajuan makin tampak pada masa 1950-an dengan bacaan-bacaan. Sekian buku pelajaran atau umum semula diterbitkan masa 1940-an tapi makin bermakna dan berfaedah pada masa 1950-an. Kita menduga itu masa terindah untuk penerbitan buku-buku mengenai bahasa Indonesia. kini, Kita menganggap buku-buku itu masa lalu.
Kita ingin mengenang tiga buku, membuka kembali halaman-halaman pernah dipelajari murid, guru, dan peminat bahasa Indonesia. Tiga buku lama masih lestari. Kita beruntung masih mungkin menghormati para penulis, memberi pujian untuk penerbit, dan mengerti dampak buku dalam perwujudan kemajuan bahasa Indonesia.
Tiga buku wajib tercatat dalam bibliografi bahasa Indonesia. Pada suatu hari, pemerintah bila mendirikan museum atau pusat dokumentasi, tiga buku wajib masuk koleksi. Nama-nama penulis juga bisa dijadikan nama ruangan atau penghargaan. Pada masa lalu, mereka berbagi pengetahuan: bukti pengabdian keilmuan. Di politik, bahasa Indonesia masa 1950-an memang meriah dan bergairah tapi pengajaran di sekolah memerlukan kaidah-kaidah keilmuan.
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang (Bandung Mawardi)
Kita membaca buku berjudul Paramasastera Landjut susunan Madong Lubis. Di hadapan kita, buku terbitan W Verluys, cetakan kelima: 1954. Cetakan pertama pada 1946. Sekian bulan setelah proklamasi dan penetapan UUD 1945, Madong Lubis tampil di depan dalam mengajarkan bahasa Indonesia. Buku membarakan keinginan murid dan guru agar mahir berbahasa Indonesia. Buku memberi penguatan bela negara-bangsa.
Penjelasan diberikan Madong Lubis bertanggal 1 Januari 1946: “Sampai sekarang sedikit sekali buku-buku bahasa Indonesia dikeluarkan orang, apalagi buku peladjaran untuk sekolah-sekolah menengah dan bagi orang-orang terpeladjar, jang suka memperdalam pengetahuannja didalam bahasa Indonesia, karena dalam waktu jang silam bahasa Indonesia tidak dipentingkan, sangat dianak-tirikan orang. Tambahan lagi pengarang-pengarang Indonesia kurang dihargakan. Penjelidikan dan pendapat orang Indonesia tidak dipertjajai.”
Kita membaca sedih dan kecewa. Madong Lubis bukan bermalasan dan minder. Ia justru menanggapi dengan buku cukup tebal: berseru pemajuan bahasa Indonesia. Buku pun bukti bila ahli bahasa tak melulu sarjana Belanda atau Eropa. Ia mungkin “marah” mengetahui buku-buku kebahasaan di Nusantara sering ditulis orang-orang asing. Buku-buku itu dipelajari di sekolah-sekolah. Sejak 28 Oktober 1928, buku mengenai bahasa Indonesia dibutuhkan tapi orang-orang Indonesia kesulitan atau enggan menulis buku (pelajaran). Mereka mau menulis kadang menjadi pendamping, pembantu, atau pihak kedua bersama pakar-pakar bahasa asing.
Di Medan dan pelbagai kota, buku susunan Madong Lubis tergunakan dalam pelajaran di sekolah. Buku sering cetak ulang mengabarkan mutu. Buku itu mendapat restu pemerintah (1950) untuk digunakan di sekolah-sekolah. Restu itu terpahamkan sebagai pembenaran buku berpengaruh dalam perkembangan bahasa Indonesia. Ralat dan penambahan pasti dilakukan Madong Lubis agar buku selalu mengalami pemutakhiran dan tanggap situasi zaman.
BACA JUGA: Makan(an): Alam dan Kemanusiaan (Bandung Mawardi)
Kita bertemu buku kedua, masih berasal dari Medan. Buku berjudul Seluk Beluk Bahasa Indonesia disusun oleh Sabaruddin Ahmad. Buku terbit 1948. Cetak ulang kelima pada 1953. Penulis buku berprofesi sebagai guru di Medan. Profesi turut menentukan nasib buku: laris dan penting digunakan di sekolah-sekolah. Penggunaan tentu tak cuma di Medan.
Buku mendapat sambutan dari Madong Lubis: “Berhubung dengan peralihan masa jang disebabkan oleh kebangunan Timur, bertambah banjaklah putera dan puteri tanah air jang sadar, jang insaf, bahwa mentjintai bahasa Ibu Pertiwi itu adalah bahagia sangat besar. bukan hanja sadja bagi pribadi, tetapi terutama kepada Nusa dan Bangsa.” Kita diberi pengertian pokok: bahasa Indonesia dan bahagia. Bahasa menjadi acuan orang-orang bahagia. Bahasa Indonesia itu tak sekadar bahasa resmi negara. Penggunaan dalam pelbagai peristiwa di kehidupan memuncak dengan bahagia.
Penulisan buku mendapat bantuan pemikiran dan masukan dari para ahli. Sabaruddin Ahmad sadar kemampuan terbatas dalam menghasilkan buku bermutu dipelajari di sekolah-sekolah. Ia memiliki pertimbangan agar bahasa Indonesia turut bergerak di alam kemajuan, masa akhir 1940-an dan 1950-an.
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang (Bandung Mawardi)
Pengakuan tanpa kesombongan: “Penjusun sendiri masih belum merasa puas dengan hasil jang seketjil ini karena masih berupakan kupasan jang dangkal, sedikit sekali gunanja bagi umum, tetapi oleh dorongan perasaan jang ingin terus memperkenalkan bahasa Bunda kepada putera-puterinja maka penjusun berani meneruskan usahanja.” Kita menduga jumlah judul buku untuk dipelajari pada masa lalu masih terbatas. Sekian buku ditulis para ahli bahasa atau guru belum dijamin semua bermutu. Buku disusun Sabaruddin Ahmad dianggap penting dipelajari di sekolah-sekolah. Pengesahan diberikan oleh Djawatan Pengadjaran PP dan K (1951).
Di Medan, dua buku disusun Madong Lubis dan Sabaruddin Ahmad mengisahkan kesungguhan kaum terpelajar memajukan bahasa Indonesia. Pada suatu masa, Medan dilihat sebagai pusat perkembangan bahasa Indonesia. Peristiwa terpenting di Medan: Kongres Bahasa Indonesia II (1954). Kongres itu mengesankan ada keistimewaan dalam pemajuan bahasa Indonesia di kota berselera kemodernan. Bahasa Indonesia itu modern tapi berkembang selaras di pelbagai tempat memiliki beragam akar sosial-kultural.
BACA JUGA: Piring dan Nasib (Bandung Mawardi)
Kita berlanjut menikmati buku ketiga berjudul Djalan Bahasa Indonesia susunan Sutan Mohammad Zain. Dulu, ia moncer dengan Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Penulisan buku untuk dipelajari di sekolah menambahi kehormatan dan pembuktian tanggung jawab atas kemodernan bahasa Indonesia. Kita membuka buku terbitan Grafica untuk cetak ulang kesepuluh, 1958. Buku terbit di Jakarta, kota terpenting dalam sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia, sejak seratusan tahun lalu.
Sutan Mohammad Zain tak ingin paling pintar dan menganggap buku itu terbaik. Ia menjelaskan: “Seperti sudah memangnja dalam karang-mengarang kitab-kitab peladjaran, kamipun djuga akan menerima dengan segala senang hati tiap-tiap teguran siasat, jang maksudnja bukannja hendak mentjela sadja, melainkan hendak memperbaiki djuga.” Pengakuan sebagai ahli tak membuat Sutan Mohammad Zain menutup diri dari saran dan kritik. Ia memang tak menggunakan diksi kritik tapi pembaca mengerti ada ikhtiar menjadikan buku sempurna dengan perbaikan atau ralat.
Sekolah menjadi institusi penting dalam memajukan bahasa Indonesia. Pada situasi hidup modern, bahasa Indonesia dipelajari serius. Ketersediaan buku-buku pelajaran dan pendamping mengantar guru dan murid makin menggandrungi bahasa Indonesia. Mereka bertambah mahir. Mereka mengerti bahasa Indonesia itu bahasa untuk politik, bahasa untuk keilmuan, bahasa untuk seni, dan lain-lain. Bahasa Indonesia makin kokoh dalam gerak sejarah Indonesia. Bahasa itu terus berkembang. Kini, kita melihat dan membaca tiga buku itu masa lalu. Kita menemukan hal-hal lama dan kedaluwarsa. Tiga buku itu penting meski tergantikan buku-buku terbaru belum tentu bermutu. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.