Oleh : Bandung Mawardi
HUMANISME di Eropa digerakkan oleh pemikiran-pemikiran Desiderius Erasmus. Ratusan tahun lalu, tokoh berpengaruh asal Belanda bernama Erasmus membuat tulisan berupa percakapan-percakapan bagi orang-orang ingin mahir atau menguasai bahasa Latin. Pembacaan atas teks-teks percakapan bakal menemukan pemikiran-pemikiran menggugah turut mengubah Eropa. Pada masa berbeda, kita membaca sebagai rekaman zaman.
Di teks percakapan berjudul “Perjamuan Orang-Orang Agama” terdapat dalam buku berjudul Percakapan Erasmus (1985), kita berjumpa orang-orang sibuk dalam percakapan berselera filsafat. Percakapan mengandung lelucon, ejekan, pujian, kejengkelan, gugatan, dan lain-lain. Mereka mengucap nama filosof-filosof tenar di Yunani. Percakapan pun menguak masalah makanan dan makan. Kita memilih masalah makan untuk mengerti kebutuhan dan pemaknaan berlatar Eropa ratusan tahun silam.
Tuan rumah diceritakan saleh mengundang teman-teman untuk sarapan bersama di pesanggrahan. Ia mengatakan: “Untuk seluruh sarapan hanya disajikan sayur-sayuran. Jadi, santapan yang tidak dimasak, seperti kata Horatius. Di kebunku sendiri bisa dibuat anggur. Semangka, labu, buah ara, pir, apel, dan buah berkulit keras boleh dikatakan disuguhkan sendiri oleh pohon-pohon, seperti yang terjadi di pulau-pulau bahagia kalau kita boleh percaya Lucian. Barangkali akan disuguhkan pula seekor ayam dari kandang ayam.”
Kita berimajinasi kebun itu subur. Tuan rumah bernama Eusebius menjadi sosok pemurah dan “memamerkan” pesanggrahan berkebun indah. Kebun sebagai sumber makanan. Ia bercerita tentang beragam tanaman dengan mengacu perkataan-perkataan dalam filsafat, epos, atau omongan sandiwara. Makanan dan peristiwa makan bertambah kesan dengan turutan memicu teman-teman mengimajinasikan kesegaran, kelezatan, dan kemolekan. Mereka menikmati waktu dan kebersamaan. Mereka makan dengan percakapan, menolak sepi saat menghadapi sesama dan menu-menu makanan.
BACA JUGA: Piring dan Nasib (Bandung Mawardi)
Di percakapan, kita mengetahui ada ragam menu. Pada masa berbeda, teks-teks percakapan terbaca oleh orang-orang di pelbagai negara. Mereka mungkin tak terlalu berurusan dengan jenis makanan. Kita menduga masalah-masalah itu perlahan terpikirkan bagi orang-orang hidup di abad XX saat mempertimbangkan raga, iman, alam, kemanusiaan, kolonialisme, wabah, dan lain-lain. Di tempat jauh dari Yunani atau Belanda, ada lelaki berpikiran serius tentang makanan. Ia lahir dan tumbuh di Indonesia dalam lakon kolonialisme, berlanjut menempuh studi dan pengelanaan di Eropa dan Afrika Selatan. Lelaki itu bernama Mahatma Gandhi.
Ia pasti mengenal Erasmus tapi belum tentu pernah memikirkan masalah makanan dan makan dalam teks percakapan terpelajari ratusan tahun lalu. Gandhi mencari dalih dan argumentasi terpenting dalam bersikap terhadap makanan. Ia hidup dalam abad memuja makanan, terutama di Eropa. Di negara-negara terjajah, makanan itu masalah rumit. Gandhi mengerti latar penjelasan atas keberadaan makanan di pelbagai negara. Ia pun memiliki cara mengartikan dan menentukan sikap hidup.
Di buku berjudul Gandhi: Sebuah Otobiografi (1982), kita mendapatkan penggalan-penggalan pengakuan mengenai diri dan makanan. Ia penggerak perubahan di India. Pemikiran dan cara hidup Gandhi berpengaruh di dunia. Pada babak hidup penuh konflik dan pengharapan selera, ia berpikiran makanan. Ia mengingat dan menceritakan kepada pembaca: “Sementara cita-cita untuk berkorban dan hidup sederhana makin lama makin menjadi kenyataan dan kesadaran agama terus meningkat dalam hidupku sehari-hari, semangat pendirian untuk pantang daging sebagai suatu panggilan meningkat pula.” Gandhi mengalami hari-hari penuh pertimbangan dan pembuktikan sikap.
Ia membaca dan bercakap dengan orang-orang demi pendalaman masalah makanan. Panggilan untuk makan perlahan memiliki patokan-patokan ketat, bermaksud selaras alam dan menebar pesan-pesan kemanusiaan. Gandhi berpendapat: “Adalah merupakan keyakinan yang mendalam bagi saya, bahwa manusia tidak perlu minum susu sama sekali selain susu ibunya yang didapatnya waktu bayi. Makanannya seharusnya hanya terdiri dari buah-buahan dan kacang-kacangan yang dimatangkan atau dikeringkan di bawah sinar matahari. Manusia cukup menerima cukup gizi baik untuk jaringan dan syaraf-syaraf tubuhnya, dari buah-buahan seperti buah anggur dan kacang-kacangan seperti melinjo.”
BACA JUGA: Bacaan dan Keluhan (Bandung Mawardi)
Kita bingung mengetahui keberanian Gandhi dalam memikirkan makanan dan membentuk sikap keseharian tentang makan. Ia melakukan studi. Raga diri menjadi pembuktian. Di komunitas, ia menilai sosok-sosok memahami hidup dan kebersamaan dengan selera makan. Mereka melakukan pembatasan dan pengekangan. Argumentasi dan misi dibuat agar panggilan atas makanan tak sia-sia untuk mengubah manusia dan dunia berlatar abad XX.
Gandhi pun memberi bobot religius dalam perkara makanan. Kita mengenali Gandhi tapi jarang turut berpikiran makanan. Sejak masa kolonial, orang-orang melihat Gandhi sebagai lelaki bertubuh kurus. Kacamata itu tampak mau jatuh. Ia mengenakan kain sederhana. Ia sering berpuasa sebagai doa, protes, ajakan, dan pujian. Raga telah membuktikan kesanggupan menentukan diri berkaitan ajaran-ajaran makanan. Kita kadang telat berpikiran lama tentang makanan, setelah Gandhi sering dimunculkan dalam masalah-masalah politis.
Erasmus dan Gandhi mengingatkan masalah makanan-makanan baik bagi raga. Manusia memiliki keinginan (berlebihan) dalam memanjakan raga dan memuja kenikmatan. Pilihan makanan dan tata cara makan mengesahkan manusia sadar alam dan peka kemanusiaan. Pada abad XX, orang-orang justru tergoda dalam industri makanan daging dan khotbah-khotbah kenikmatan dalam keberlimpahan iklan. Mereka mulai berjarak dengan tanaman sebagai sumber makanan. Mereka berani menanggung risiko demi kenikmatan terpuncak dalam makanan.
Petaka perlahan berdatangan dan memberi tanda seru. Tubuh manusia abad XX bermasalah. Mereka gampang sakit. Raga dituduh sumber kebiadaban dalam politik, perdagangan, hiburan, dan lain-lain akibat salah dalam makan. Dunia memburuk gara-gara makanan. Pengertian-pengertian makan lekas mendapat ralat dengan beragam pengetahuan. Sekian orang berhak mengingat Erasmus dan Gandhi dalam menilik babak-babak peradaban di pelbagai benua berpusat makanan. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.