
Piring dan Nasib – Bandung Mawardi / Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah. (Foto: Alenia.ID)
Oleh : Bandung Mawardi
KONON, kehidupan keluarga bisa terbaca melalui piring-piring di rak atau meja makan. Keluarga sadar pangan. Kita tak lekas berurusan selera makanan. Piring itu mengartikan kesanggupan mencari nafkah. Di mata pemerintah atau kaum bijak, hidup memiliki tiga kebutuhan pokok: pangan, sandang, dan papan. Piring itu tergunakan dalam peristiwa makan. Sesuatu di piring diperoleh dari bekerja atau ikhtiar berdalih mencari rezeki.
Di piring, makanan itu mengabarkan sejahtera atau kemelaratan. Piring tetap piring tapi isi memicu dugaan-dugaan atas lakon keluarga. Kita melihat piring sebagai benda atau wadah. Di penglihatan berbeda, piring itu biografi, kekuasaan, iman, dan lain-lain.
Piring memiliki isi berarti orang berhak menikmati makanan. Piring selalu berada di rak atau terlihat kosong memberi pesan tentang ketiadaan. Pangan sedang absen. Piring masih mungkin pemicu cerita meski kesadaran wadah makanan perlahan berubah. Piring tak mutlak menjadi acuan. Kita mengenang saja bahwa piring pernah berlimpahan cerita. Benda mengisahkan keluarga dan negara. Kita sengaja mengaitkan dengan negara berpijak kebijakan politik-pangan.
Pada abad XXI, piring masih referensi mengandung getir, tragedi, dan ironi. Di Kompas, 19 September 2022, kita membaca: “Piring kosong kembali mengemuka belakangan ini. Tak hanya jadi simbol memerangi kelaparan dan mengurangi sisa atau sampah makanan, piring kosong juga menjadi simbol meredam dampak kenaikan tingkat inflasi.” Piring tetap terpilih dalam mengamati nasib miliaran orang di dunia, terutama mereka di negara-negara miskin.
BACA JUGA: Bacaan dan Keluhan (Bandung Mawardi)
Piring ada di pelbagai negara, terpahamkan sebagai wadah. Piring itu bercerita pangan: ada dan tiada. Pemberitaan piring kosong membuat orang-orang prihatin atas kesulitan mengadakan pangan akibat kemiskinan, perang, bencana. Dan lain-lain. Piring membahasakan nasib. Di negara-negara terus dirundung masalah, ketersediaan pangan mungkin impian termuluk. Segala krisis menimpa mengakibatkan piring-piring diam atau piring-piring merindukan makanan. Piring masih termiliki, belum tentu makanan.
FAO, 16 Juli 2022, berseru lagi tentang piring. Petikan dari Kompas menghubungkan kita dengan masalah global: “Narasi (piring kosong) itu membungkus gerakan memerangi kelaparan dan bahasa rawan pangan akibat imbas pandemi Covid-19, konflik geopolitik, serta kenaikan harga pangan dan energi.” Piring kosong itu tanda seru. Piring kosong menjadi kebalikan dari pemuasan selera dan pesta makanan. Piring kosong itu di seberang saat orang-orang memenuhi nafsu kuliner berbekal duit. Piring kosong diledek dengan kemubaziran makanan di hadapan orang-orang tak terlalu bermasalah dengan kelaparan.
Kita tak tergesa memberi makna piring kosong. Biografi orang miskin kadang mengandung ketulusan dan ketabahan, tak melulu makanan di piring itu terpenting. Kita mendapat pengisahan dari Sindhunata (2004) mengenai suami-istri dalam usia tua masih bekerja. Istri berjualan daun jati. Suami berjualan arang. Pendapatan sedikit tapi mereka ngirit. Sikap mereka terhadap makanan bukan menuruti selera. Mereka terbiasa makan sekali dalam sehari. Piring-piring jarang tergunakan untuk makan. Mereka beranggapan merasakan dan menahan lapar itu mengajarkan hidup. Pada saat makan, mereka tak berpikiran kenikmatan atau berlebihan. Mereka miskin tapi bukan berarti kekurangan. Pengakuan: “Untuk kami berdua, segelas beras sudah cukup.” Kita justru merasa sedang mendapat sindiran atas piring kosong atau piring berisi makanan sederhana. Kecukupan itu rumus hidup.
BACA JUGA : “S” Sakit dan Sehat (Bandung Mawardi)
Di Jawa, gagasan tentang makanan memang diusahakan tak muluk. Kenikmatan makanan itu berdasarkan lapar bukan selalu pemujaan selera. Di piring, mereka makan nasi. Di tatapan mata, beras terpikirkan ada di dapur untuk dimasak menjadi nasi. Beras biasa dalam ukuran saat menghitung kecukupan bagi orang-orang mau makan. Sisa-sisa terbuang dari piring pun diperingatkan tak terjadi. Persoalan nasi di piring mungkin agak modern, setelah orang-orang berkesadaran pangan dalam bungkus daun atau wadah-wadah tradisional.
Di perkotaan, piring mengisahkan kaum miskin. Piring-piring menantikan makanan, berbeda dengan piring-piring di keluarga mapan bersaing selera kenikmatan. Piring di rumah kaum miskin termasuk harta. Keberadaan piring memberi jaminan ada kemungkinan-kemungkinan makan meski piring bisa dihancurkan saat terjadi perseteruan dalam keluarga.
Pada 1986, Wiji Thukul menggubah “Sajak Ibu”. Ia tak mencantumkan diksi piring tapi pembaca mengerti dan melihat. Kita memasuki rumah kaum miskin: bila adikku tak bisa tidur karena lapar/ ibu akan marah besar/ bila kami berebut jatah makan/ yang bukan hak kami/ ibuku memberi pelajaran keadilan/ dengan kasih sayang/ ketabahan ibuku/ mengubah rasa sayur murah/ jadi sedap. Ibu memiliki siasat piring. Ibu berpetuah ikut menjadi isi piring.
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang (Bandung Mawardi)
Piring tak ditulis tapi kita mengerti nasib kaum miskin. Wiji Thukul (1986) dalam puisi berjudul “Apa yang berharga dari Puisiku” mengajukan protes dan tabah. Kita membaca dalam jamak makna: Apa yang berharga dari puisiku/ Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak/ Jika nasi harus dibeli dengan uang/ Jika kami harus makan/ Dan jika yang dimakan tidak ada? Puisi terbaca sambil kita mengingat nasib kaum miskin di tatapan mata rezim Orde Baru.
Masa lalu itu kesedihan. Rezim tak menjamin jutaan orang bisa makan. Kota malah membuat kaum miskin makin terhina dan menerima nasib tak untung. Di rumah, piring-piring mungkin ada. Mereka selalu saja berharapan ada makanan.
Kini, situasi hidup makin tak keruan. Di Kompas, kita mengutip lagi untuk mengerti masa sekarang: “Kondisi itu memaksa keluarga miskin dan keluarga berpenghasilan pas-pasan bertahan hidup agar piring mereka tetap terisi. Butuh berbagai upaya konkret agar kisah piring kosong Indonesia tak kelabu. Tak cukup jika hanya bersandar pada negara.” Kita terus mendapat ribuan tanda seru tentang makanan. Piring-piring menanti diceritakan untuk bahagia, bukan merana seribu tahun. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.