Oleh : Bandung Mawardi
PENGHORMATAN untuk seniman “berakhir” dengan penamaan jalan. Kebiasaan terjadi di Indonesia, setelah nama-nama jalan sering tokoh dalam raihan kemerdekaan dan militer. Jalan itu bernama tapi belum terjamin bercerita. Orang-orang melintasi jalan diminta mengetahui nama melalui papan. Mereka dalam kecepatan dan ketergesaan di jalan, tak ada kepastian sejenak mengingat dan menuruti penasaran bermula nama.
Jalan dinamakan Ki Nartosabdo (25 Agustus 1925-7 Oktober 1985) berada di Semarang. Penamaan jalan melengkapi keberadaan monumen dan patung. Pihak pemerintah membuat kebijakan itu sebagai penghargaan. Kita maklum saja dengan tata cara penghargaan justru klise. Kita terlalu sering mendapat berita mengenai penamaan jalan, pembuatan patung, dan monumen berdalih menghormati atau mengenang tokoh (seniman). Klise gara-gara tiada atau miskin cerita untuk publik.
Kita mengandaikan tata cara untuk pemaknaan atas ketokohan dan segala warisan itu secara “produktif”. Pemerintah dan pelbagai institusi partikelir mungkin mengadakan lomba penulisan buku biografi, novel, gubahan tembang, atau pentas seni. Usulan berbeda bisa berupa lomba menggambar atau pembuatan film dokumenter. Usulan sederhana bisa melibatkan publik untuk mengetahui sosok dan warisan, berdampak dalam pengumpulan sumber dan pengisahan bersama.
BACA JUGA: Makan(an): Alam dan Kemanusiaan (Bandung Mawardi)
Konon, kebijakan penamaan jalan dengan nama seniman oleh pemerintah sudah terpuji dan mendapat tepuk tangan. Nasib jalan itu belum tentu berkaitan kesenimanan. Nama telanjur digunakan tak menjanjikan dikenali publik untuk biografi dan pengaruh-pengaruh terberikan melalui seni, dari masa ke masa. Ki Nartosabdo itu nama (di) jalan. Nama terlihat atau terbaca saja bila terbiarkan tanpa penceritaan dan penjelasan. Nama berkaitan alamat. Publik pun mungkin menganggap itu cukup.
Pada suatu masa, terbit buku tipis berjudul Lagu-Lagu Dolanan Populer: Ngethi Laras. Di situ, tercantum nama pangripta adalah Ki Nartosabdo. Pembuatan buku dibantu Koesni. Tahun terbit tak dicantumkan. Keterangan di sampul buku bagian belakang: “Buku Ngesthi Laras saged mundut langsung dateng Pusat Pendjual Mohammad Radjin, Patemon IV, 18 A, Sutrabaja.” Penggunaan ejaan lama memunculkan dugaan bahwa buku dibuat sebelum 1972. Buku tipis dengan kualitas cetakan sederhana.
Buku itu ada, sebelum penamaan jalan. Buku mungkin tak lagi dikoleksi oleh pihak pemerintah atau keluarga. Buku belum tentu masih tersimpan di perpustakaan milik pemerintah atau universitas. Buku sederhana tapi membuktikan kemonceran dan pengaruh Ki Nartosabdo dalam gubahan tembang dolanan, selain peran sebagai dalang.
Di halaman pengantar, kita membaca penjelasan: “… namung minangkani pamundutipun para mitra ingkang migatosaken dateng adjenging kagunan kita kadjawen.” Pembuatan buku menuruti permintaan orang-orang memiliki perhatian besar untuk pelestarian dan perkembangan seni di Jawa. Buku menjadi dokumentasi atas ketekunan Ki Nartosabdo menggubah tembang dan kesungguhan Ngesthi Pandawa dalam memberi persembahan seni (Jawa).
BACA JUGA: Piring dan Nasib (Bandung Mawardi)
Ki Nartosabdo menggubah tembang berjudul “Ajo Ngguju”. Ajakan tertawa melalui tembang. Kita mengutip lirik berbahasa Jawa: Prengat-prengut adik pedah apa/ Sangga uwang adik pedah apa/ Dak kandani adik ndang renea/ Timbang susah adik ajo ngguju. Bocah tampak murung dan sedih diajak bergembir dengan tertawa. Wajah murung bisa berubah. Perasaan pun berganti bila mau tertawa. Tembang mengandung cerita dan pesan sederhana saja meski Ki Nartosabdo pernah kondang dengan tembang-tembang memuat pesan-pesan pembangunan nasional.
Pada saat kita ingin menghormati Ki Nartosabdo berarti harus mengerti Ki Sastrosabdo dan Ngesthi Pandawa. Di perkumpulan seni itulah Ki Nartosabdo membentuk diri kesenimanan dan mendapatkan pujian. Di buku berjudul Nartosabdo: Kehadirannya dalam Dunia Pedalangan (2002) susunan Sumanto, terdapat keterangan: “Pada tahun 1949, Ngesthi Pandawa yang didirikan Ki Sastrosabdo pada tanggal 1 Juli 1937 mulai menetap di gedung permanen milik Yayasan Gris di Jalan Pemuda, Semarang.” Ki Nartosabdo itu sosok bertumbuh dan terikat di Ngesthi Pandawa. Ia memang moncer sebagi pribadi tapi Ngesthi Pandawa tak mungkin terabaikan.
Pada babak awal, Ki Nartosabdo dalam Ngesthi Pandawa memiliki tugas pokok sebagai pemain gendang dan pimpinan karawitan. Ia pun kadang mendalang. Pada masa 1950-an, kemahiran dan keampuhan Ki Nartosabdo diakui sesama seniman dan dipuji para penonton. Sumanto mencatat kemonceran dipengaruhi pula dengan gubahan tembang “Swara Suling”. Tembang sering dimainkan para pengrawit di pelbagai tempat. Tembang lekas terakrabi di telinga para penikmat seni Jawa. Dulu, tembang itu biasa juga disebut “Gambang Suling”.
BACA JUGA: Kamus 70 Tahun (Bandung Mawardi)
Ki Nartosabdo, nama besar dalam seni. Ia berpengaruh dan menjadi panutan dalam perkembangan seni. Sosok biasa diberitakan di majalah-majalah umum dan wanita. Di koran-koran, pemberitaan mengenai Ki Nartosabdo itu lumrah. Pembuatan kaset dan penggunaan tembang dalam garapan film makin menempatkan Ki Nartosabdo sebagai sosok terhormat. Ia menjadi sosok sering diperbincangkan dalam seminar dan perkuliahan. Ki Nartosabdo, tokoh menasional.
Di buku berjudul Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 susunan Tim Tempo, kita membaca secuil biografi Ki Nartosabdo: “Di kamar tidurnya – dengan hanya satu ranjang kayu besar – ia menyimpan banyak buku tentang pewayangan dan pedalangan. Ia mengaku tidak bosan-bosannya membuka buku-buku itu, melakukan penelahaan.” Pada saat ia sudah kondang, urusan belajar dan memperdalam pengetahuan itu wajib.
Di situ, kita juga mendapatkan cerita di balik penggubahan tembang. Pada suatu malam, Ki Nartosabdo menanti sosok dirindukan. Ia sedang kasmaran. Penantian tak sesuai harapan: “Dalam rasa kecewa dan rindu, ia tetap menunggu. Hanya suara suling terdengar dari kejauhan. Halus tetapi menyentakkan perasaan. Dari suasana itulah Ki Nartosabdo, pemuda itu, menggubah lagu ‘Swara Suling’ (1952). Lagu itu langsung mengangkat namanya sebagai pencipta gending Jawa.”
Pada 2022, Ki Nartosabdo digunakan untuk penamaan jalan di Semarang. Kita masih belum lengkap mengetahui biografi dan mendokumentasi segala warisan. Jalan terlalu penting bagi pemerintah ingin membuktikan telah memberi perhatian dan penghormatan. Kita maklum saja ada klise. Kita justru menantikan pengisahan dan dampak berketerusan untuk pemaknaan sosok dan gubahan-gubahan seni diwariskan dalam “pengulangan” atau tanggapan menghasilkan gubahan seni baru. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.