Oleh : Bandung Mawardi
PADA ABAD XXI, wabah-wabah masih menimbulkan petaka dunia. Perang pun masih terjadi. Orang salah mengira bila dunia selalu terang, baik, bahagia, dan indah. Sekian tahun kita alami dengan segala kebingungan tapi perlahan mengerti nasib umat manusia di dunia.
Masalah pelik muncul. Kita susah menjawab dengan pasti. Masalah terpikirkan setelah wabah dan dampak perang Rusia-Ukraina: pangan. Nalar kita susah bergerak jauh untuk mengusut segala hal mengenai pangan. Para pengamat mulai berseru tentang krisis pangan. Sekian pihak mengingatkan mutu pangan makin merosot. Segala hal tentang pangan makin sulit terpahamkan. Kita mungkin memilih berimajinasi saja. Imajinasi tak harus bergerak (terlalu) jauh.
Pada abad-abad terdahulu, pangan itu masalah besar. Masalah belum berakhir. Masalah bertambah pelik. Pada tiap masa, pembahasaan masalah pangan bisa bikin berdebar atau wajar. Di Kompas, 17 Oktober 2022, Adrianu S mengingatkan: “Hari Pangan Sedunia tahun 2022 yang jatuh pada tanggal 16 Oktober ini masih dibayang-bayangi oleh berbagai krisis kemanusiaan global.” Ia tak cuma menjelaskan (krisis) pangan di Indonesia.
Nalar global itu mengingatkan kelaparan dan pemborosan makanan. Di pelbagai negara, jutaan orang kurang pangan. Di negara-negara lain, jutaan orang malah membuang makanan atau pemborosan sia-sia. Persoalan genting justru pemborosan jika menilik kemungkinan ada pemerataan pangan. Kita diajak berpikir: “Perilaku pemborosan makanan ini bukan hanya berdampak pada masalah ekonomi dan lingkungan, melainkan juga sosial.”
BACA JUGA: Bahasa Indonesia: Buku dan Masa Lalu (Bandung Mawardi)
Indonesia pun tak selesai dengan masalah pangan. Pada masa 1980-an, masalah manusia Indonesia dan pangan disajikan Emha Ainun Nadjib dalam seri puisi bertahun 1984. Ia mengisahkan makan dan minum, disodorkan kepada sidang pembaca. Puisi-puisi terbaca lagi saat kita terseret memikirkan pangan di Indonesia dan dunia.
Kita mulai menikmati puisi lama berjudul “Makan dan Minum 1”. Emha Ainun Nadjib sedang mencampur lelucon dan ledekan. Ia menulis: Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hari/ orang mesti makan dan minum/ Saya bilang itu merupakan syarat agar mereka bisa berak dan kencing. Soal dan jawab itu sederhana. Kita mengetahui awal dan akhir. Tubuh manusia menjadi perhatian atas hal-hal masuk dan dikeluarkan.
Puisi mungkin ejekan propaganda-propaganda pangan dibuat pemerintah. Kemauan berpuisi saat penguasa berjanji mencipta kemakmuran. Puisi di hadapan impian terbesar pembangunan nasional. Kita menduga saja. Pada masa Orde Baru, masalah pangan itu penting, tak selucu dan sekasar dalam puisi.
Emha Ainun Nadjib melanjutkan: Kenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam,/ bertingkat-tingkat, serta berhias-hias/ Saya bilang karena mereka tak bisa tentukan/ kualitas berak, hiasan tinja, atau bau harum kencing. Kita menambahi dugaan. Dulu, industri makanan dan minuman marak di Indonesia. Orang-orang diajari bernafsu dengan beragam pilihan. Konon, memilih susah. Pengakuan makanan dan minuman itu istimewa justru memicu debat tanpa tamat.
Emha Ainun Nadjib mahir memberi lelucon-lelucon. Makan dan minum bukan urusan sederhana, ditulis menjadi kritik. Di puisi berjudul “Makan dan Minum 2”, pembaca masih sibuk dengan soal-jawab. Emha Ainun Nadjib menulis: Jiwa saya heran kenapa kalau organ tubuh nganggur/ orang lantas harus mati/ Saya tahu ia menyindir, maka saya katakan/ kamu jangan mengejek para daging dan para/ tulang, pertanyaan seperti itu hanya bisa/ kamu tujukan kepada dirimu sendiri. Ia mengajak pembaca berpikiran tubuh.
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang (Bandung Mawardi)
Pelajaran tubuh telah diajarkan sejak SD. Kita pernah mengetahui dan mengabaikan. Tubuh, soal tak gampang mendapat rincian menghasilkan cerita-cerita. Pada saat makan dan minum, tubuh menikmati dengan merekam rasa tapi tak kekal. Pergantian selera dan dampak-dampak menjadikan tubuh selalu minta dipelajari.
Emha Ainun Nadjib tampak kurang ajar terhadap diri dalam mengurusi makan dan minum. Ia menjadikan diri sebagai sasaran menghasilkan debat, protes, kritik, tragedi, malu, sombong, dan bodoh untuk menempatkan manusia sering salah-paham dan salah-makna terhadap makanan dan minuman.
Di puisi berjudul “Makan dan Minum 3”, Emha Ainun Nadjib masih membuat jebakan soal-jawab. Kita membaca itu kelakar atau kurang ajar: Jiwa saya tak juga cepat tahu diri, ia/ malah meningkatkan pertanyaan kenapa/ orang bahkan begitu berlebihan makan dan minum/ Kenapa orang membuang hatinya ke tong sampah/ dan memindah otaknya ke perut dijadikan/ salah satu bagian dari ususnya. Keberanian mengumbar perkara itu menengakan dalam urusan kemanusiaan dan ketuhanan. Emha Ainun Nadjib makin lantang dan menantang: Kenapa orang (disangkanya bisa) membuang/ tetangga, sahabat, Tuhan – demi membela/ ketakutannya akan tak akan makan dan minum. Larik-larik terus digunakan untuk usaha-usaha menjawab: tak selalu pasti dan benar.
Seri puisi gubahan Emha Ainun Nadjib mungkin kesadaran kritis atas lakon peradaban manusia di Indonesia “terpuruk” untuk mendapat kehormatan dan kebajikan dari peristiwa makan dan minum. Orang-orang di hadapan makanan dan minuman gampang melupa adab dan hilang akal. Kenikmatan dan keterlenaan justru menguak ribut politik, serakah laba, dan nafsu menang.
Puisi berjudul “Makan dan Minum 4” mirip teks untuk disampaikan di jalanan. Teks pantas membesar dalam demonstrasi atau khotbah jalanan di hadapan ribuan orang. Emha Ainun Nadjib sengaja menaruh kata-kata keras. Puisi untuk menghantam atau “pertengkaran” berharap muncul kesadaran-kesadaran.
BACA JUGA: Makan(an): Alam dan Kemanusiaan (Bandung Mawardi)
Ia dengan kecerewetan mengusik kebenaran-kebenaran: Ia memprotes kenapa makan dan minum dijadikan/ tema utama dari sejarah manusia/ Untuk mengisi piring dan cangkir diselenggarakan perang,/ perebutan dog-a-dog, penjajahan, kolonialisme, imperialisme, kerja paksa, penindasan, perbudakan,/ baik yang berangasan maupun yang sopan. Deretan istilah atau gagasan dalam arus sejarah peradaban manusia terus disodorkan kepada pembaca: Orang melahap sup kemiskinan struktural, melahap/ sate floating-mass, mengganyang gado-gado/ oppresor-opressed, menaruh di atas kompor/ nasi kerikil theology of liberation, keluar dari duburnya/ butiran-butiran kepala-kepala third world nations. Kita menduga ada marah setelah renungan.
Marah bercampur bingung, sesalan, dan kecewa berujung lelah. Kita mengartikan lelah membawa pengakuan kalah atau pasrah. Kita dalam ketidakjelasan untuk “menghitung” nasib, memastikan derajat sebagai manusia, dan menutupi aib. Emha Ainun Nadjib agak menurunkan kadar kemarahan dalam puisi berjudul “Makan dan Minum 5”. Kita membaca masih ada keberanian tapi terkandung pengakuan-pengakuan lelah.
Emha Ainun Nadjib menulis: Akhirnya saya sama sekali tidak/ akrab dengan makanan dan minuman, bahkan/ begitu benci rasa lapar yang selalu/ mempertemukanku dengan mereka/ Suatu permainan kurang menarik bahwa/ makan dan minum mesti/ merupakan syarat pokok dari kehidupan. Ia tak bisa menghindar, tetap saja terikat dengan makan dan minum. Pengulangan dan rutin membentuk biografi meski ada saat-saat marah dan kalah. Emha Ainun Nadjib tak melulu mengisah diri. Ia sedang mengisahkan orang-orang seperti kita.
Di puisi berjudul “Makan dan Minum 6”, Emha Ainun Nadjib “meledak”, sulit diam dan melamun. Makan dan minum menjadi masalah gawat. Ia sedang berpikiran tentang laknat! Di alur peradaban makan dan minum, abad XX mungkin abad mengandung laknat. Orang-orang terus kehilangan pedoman, kebablasan dalam perbuatan-perbuatan dianggap kejahatan.
Kita membaca sambil mengenang situasi Indonesia dan dunia masa 1980-an: Akhirnya hewan menipis jumlahnya dan hutan/ hanya dipenuhi manusia, maka orang yang menembak orang/ orang menggusur orang/ orang menembak orang// Sesampainya di dapur, mereka bikin sate/ beramai-ramai/ Yang kutangisi, kata jiwa saya lagi, bahwa sesudah makan dan minum, seratus kali/ lipat dari kapasitas perutnya, para pemenggal/ penggusur, dan penembak itu tidak kenyang/ melainkan justru lapar. Kita memastikan dalil tak cuma lapar. Sombong dan serakah turut dalam pembesaran kejahatan untuk mendapat makan dan minum.
BACA JUGA: Piring dan Nasib (Bandung Mawardi)
Pada masa 1980-an, kritik-kritik disampaikan atas baik-buruk pembangunan nasional. Di situ, ada kebijakan-kebijakan pangan. Di Indonesia, industri makanan dan minuman terus bertumbuh. Gagasan kemakmuran diajukan penguasa “mustahil” terwujud. Ingatan-ingatan pesan para leluhur tentang pangan perlahan luntur. Makan dan minum tetap tema besar tapi makin menjadi masalah besar.
Di puisi berjudul “Makan dan Minum 7”, Emha menganggap itu akhir: sodorkan soal-soal tanpa meminta jawaban lengkap. Sekian jawab memberi sisa-sisa kebingungan. Kita di hadapan puisi membuat geram. Kita “terpaksa” membaca berharap cepat lupa: Kalau orang disate, maka siapakah tusuknya/ Kalau orang dikuliti, siapa pisaunya/ Kalau orang direguk, siapa cangkirnya/ Kalau orang dilahap, siapa sendok dan garpunya// Ialah, kata jiwa saya, buku-buku/ Tapi bukankah buku dibikin untuk sebaliknya?/ Ya, tapi makan dan minum pun diselenggarakan/ Bukan agar engkau menjauhi saya.
Emha Ainun Nadjib tampak keterlaluan dengan seri puisi terakhir. Kita enggan membaca meski ingin mengetahui makan dan minum telah bikin gelisah dalam babak kesusastraan dialami Emha Ainun Nadjib. Kita telah selesai membaca tujuh puisi: menunduk malu dan berjalan linglung. Puisi-puisi mempermalukan pembaca saat makin tak mengerti makan dan minum. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.