Buku lawas dilihat lagi. Buku membawa nostalgia. Melihat dari jarak setengah meter. Buku tak mulus. Punggung buku sudah mengelupas. Warna sampul kusam. Jilidan pun sudah rusak. Buku itu masih ada, mampu melewati abad XX untuk tetap hadir di abad XXI.
Buku berjudul Karmila. Orang-orang lawas mengingat novel itu mengharukan. Mereka membaca mula-mula sebagai cerita bersambung. Pada suatu hari, cerita itu terbit menjadi buku oleh Gramedia (1973). Kini, kita mungkin memperingati 50 tahun penerbitan Karmila meski pemuatan di Kompas pada 1970 dan 1971.
Novel masih memiliki pembaca: lama dan baru. Para pembaca Karmila menambahi ingatan bila pernah menonton film dengan judul sama. Dulu, Karmila itu novel dan film. Novel itu laris. Film itu moncer. Pada masa 1970-an, orang-orang di Indonesia memikirkan perempuan bernama Karmila. Ia menjadi tokoh berhak mendapat perhatian atas segala suka dan duka.
Novel berjudul Karmila gubahan Marga T. Di Indonesia, ia nama terpenting dalam arus industri novel biasa dicap pop. Nama berada di barisan terdepan saat jutaan orang di Indonesia kesengsem novel-novel biasa disajikan dulu sebagai cerita bersambung di pelbagai koran dan majalah. Ratusan judul novel terbit membuat kehebohan di Indonesia.
BACA JUGA: Piring: Kisah dan Pisah
Orang-orang lekas membeli dan menata koleksi. Mereka berharap bisa lengkap untuk mengoleksi novel-novel Marga T, Mira W, Maria A Sardjono, dan lain-lain. Gagal memiliki duit dan mengoleksi novel-novel, mereka bisa mendatangi tempat persewaan buku. Pada masa lalu, peminjaman novel-novel turut meramaikan usaha persewaan buku di pelbagai kota. Novel-novel Marga T tentu ada di koleksi, terutama Karmila.
Di hadapan kita, Karmila cetakan kesembilan, 1977. Novel terbukti laris, sejak cetak pada 1973. Di sampul depan, gambar itu menjadi ingatan bertahan lama. Gambar dibuat oleh GM Sudarta. Selama puluhan tahun, orang-orang menikmati gambar GM Sudarta di Kompas. Dulu, ia turut dalam sejarah penerbitan Gramedia dengan memberi gambar untuk buku pertama berhasil diterbitkan Gramedia.
Kita mengutip pengantar penerbit: “Dalam novel Karmila yang kami terbitkan ini, ‘Karmila I’ dan “Karmila II’ disajikan dalam satu buku. Seks, cinta, birahi, bordil, perkosaan dan kata-kata semacam itu tidaklah asing dari perbendaharaan kata Marga T. Tetapi tak satu pun dari karyanya akan membuat kening seorang sensor berkerenyit ataupun memancing keberatan orang tua untuk memperbolehkan anak gadisnya ikut membaca.”
Keterangan penting gara-gara Karmila terbit berbarengan dengan industri novel picisan atau novel bergelimang berahi terbit di Indonesia. Pada masa 1970-an, orang-orang keranjingan membaca dengan berlimpah imajinasi berahi dan asmara berlebihan. Marga T dengan Karmila tampil berbeda, tak mengikut arus memicu debat kaum moralis. Karmila tetap merekam situasi zaman tapi mengerti “tata krama” bercerita. Konon, Karmila berhak masih daftar “bacaan sehat”.
BACA JUGA: Lelaki Bergitar: Laris dan Nostalgia
Pada 1977, novel terbit dengan kertas buram. Orang-orang membaca tanpa protes jenis kertas. Buku dibawa enteng, dipegang pun enteng. Pembaca maklum bila mengerti lakon industri penerbitan buku di Indonesia. Karmila di tatapan mata dianggap memikat. Dulu, novel itu dijual dengan harga 850 rupiah.
Sekian tahun, novel itu menghuni rumah para pembaca. Berpindah setelah dijual sebagai “barang rongsok”, beredar ke pelbagai tempat berlanjut ke pasar buku bekas. Novel masih utuh tapi kondisi memang tak mulus. Novel bertahan dari tahun-tahun kemarau dan hujan.
Pada 2004, Karmila cetak ulang kedua puluh. Buku berpenampilan baru. Pihak penerbit menghadirkan lagi Karmila berketerangan: “Koleksi ulang tahun ke-30”. Gramedia berusia 30 tahun. Usia itu ditandai dengan penerbitan buku pertama berjudul Karmila. Dulu, terbit akhir 1973.
Penjelasan pihak Gramedia: “Karmila bagi Penerbit Gramedia Pustaka Utama bukan hanya sekadar novel, melainkan erat hubungannya dengan sejarah berdirinya Penerbit Gramedia Pustaka Utama sebagai suatu lembaga, karena Karmila adalah buku pertama yang diterbitkan.” Kita bisa membuat dua peringatan: novel dan penerbit. Kini, Gramedia Pustaka Utama tampil sebagai penerbit terbesar di Indonesia. Orang-orang mengenali penerbit, belum tentu mengetahui Karmila edisi awal.
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang
Penampilan novel Karmila berubah: ukuran dan warna sampul buku. Pada 2004, novel itu dicetak dengan ukuran besar dan bersampul tebal. Isi cerita tak berubah. Pengalaman memegang dan membaca buku mungkin berubah. Kemasan itu mengesankan “ingatan” tapi mengurangi selera masa lalu.
Kini, kita boleh membaca lagi sebagai peringatan 50 tahun penerbitan Karmila. Kita juga memperingati 80 tahun Marga T. Sekian hari lalu, 27 Januari 2023, ia bertambah usia meski tak ada berita tentang peringatan besar atau acara-acara penghormatan. Begitu.
*Bandung Mawardi merupakan pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.