Konon, harga beras naik atau mahal. Sejak sekian bulan lalu, beras-beras dari pelbagai negara berdatangan ke Indonesia. Kita berpikiran beras: mahal dan asal. Di rumah, para ibu sadar dalam pertimbangan uang dan makan. Beras tetap harus masuk rumah, tersaji di piring sebagai nasi. Rumah: alamat untuk kedatangan beras. Kita mengerti tapi sering melupa sawah. Titik awal nasi sampai berada di piring itu sawah.
Kita menebus salah atau lupa dengan membaca buku berjudul Desaku (1985) gubahan Sri Lestari. Buku memuat puisi-puisi dibaca oleh bocah. Puisi digenapi ilustrasi garapan Ipe Ma’aruf. Buku mungkin sudah tak mendapat pembaca atau masuk koleksi perpustakaan di pelbagai kota. Buku tipis dianggap tak terlalu penting bagi urusan-urusan besar bertema pangan atau desa.
Puisi berjudul “Menunggu Padi” mengabarkan latar di sawah. Di situ, ada tokoh berharapan padi-padi selamat untuk dipanen dan menjadi santapan. Kita mengutip: Jemari lentik, cilik/ tali-tali goprak ditarik/ gelatik dan pipit terbirit/ terbang mengawan/ pergi… meninggalkan padi-padi// Karni/ gadis cilik/ bergembira hati/ menunggu padinya/ yang telah menguning// Bila senja tiba/ Karni pulang/ sambil berdendang.
Karni hidup dalam keluarga petani. Sawah digarap oleh bapak. Karni membantu dengan cara menunggu padi agar tak dimakan burung-burung. Peristiwa sederhana di gubuk. Tangan menggerakkan tali, mata memandang hamparan padi, dan berimajinasi sampai jauh. Karni mengetahui panas dari matahari, merasakan semilir angin. Di hadapan padi, Karni mungkin berdoa: Indonesia makmur dan petani tak merana. Ia mungkin membuat janji kelak menjadi petani memuliakan Indonesia.
Kita masih berimajinasi sesuai selera bocah. Sri Lestari suguhkan puisi berjudul “Padi-Padi Menguning”. Warna itu menimbulkan pengharapan hidup. Para petani memikirkan rezeki setelah bekerja di bawah sinar matahari dan hujan. Petani bergirang saat panen. Padi-padi menghidupi keluarga. Rezeki bisa untuk ongkos sekolah, membeli barang, atau menabung.
BACA JUGA: Peta: Petaka dan Indonesia
Sri Lestari bercerita: Seorang diri/ aku berdiri/ di pinggir desa/ di atas pematang sawah/ sejauh mata memandang/ padi-padi menguning/ duhai suburnya/ sawah-sawah di desaku// Dendang-riang/ terdengar bersahut-sahutan/ ibu-ibu tani sedang mengetam padi/ tawa ria/ bapak-bapak tani/ datang untuk mengusung padi// Tersentak aku dibuatnya/ hari telah senja/ aku baru pulang mandi di perigi/ yang terletak di tepi desa.
Dua puisi digubah pada masa Orde Baru. Rezim bertokoh utama Soeharto itu gencar mengabarkan pangan (beras). Kita mengingat rezim beras. Dua puisi dibaca bocah memancarkan kebahagiaan kaum petani. Indonesia terimajinasi makmur. Indonesia tak bermasalah dengan beras. Orang-orang masih mudah memperoleh beras. Mereka makan setiap hari, menikmati nasi. Sawah-sawah tetap membuat sejarah penuh pengharapan, bukan kemeranaan akibat kekuasaan dan ulah kaum modal. Kita mengingat pengisahan dan imajinasi padi, mengikutkan pengetahuan tentang perdagangan beras dan “kewajiban” makan nasi.
Puisi-puisi itu belum pernah dibaca atau dikutip para guru besar di UGM. Mereka memang tak mewajibkan membaca puisi dalam studi dan amalan pertanian. Mereka bergelut dengan masalah-masalah besar. Absen membaca puisi bukan salah atau dosa. Mereka tetap berperan besar dalam lakon keilmuan dan pertanian di Indonesia.
Di buku berjudul Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM: Ilmu-Ilmu Pertanian (1999), kita membaca teks Soeharto Prawirokusumo (1985). Ia memberi kabar dari jauh: “Negara pertanian maju seperti Amerika telah memproduksi dua kelompok biji-bijian yaitu biji-bijian untuk manusia yang disebut food grain dan biji-bijian untuk ternak yang disebut feed grain.” Beras termasuk biji-bijian untuk manusia sebagai pangan. Padi diolah menjadi beras menghasilkan kekuatan meski mengandung pelbagai kelemahan. Istilah maju itu mengarah ke Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Kita menduga penulisan “maju” untuk Indonesia sebagai negara pertanian masih menunggu puluhan tahun. Padi sudah bertumbuh di Indonesia sejak ratusan tahun lalu tapi bukan jaminan membuktikan negara (pertanian) maju.
Pada abad XXI, kita belum selesai berdebat mengenai khasiat dan petaka nasi. Kita ribut berkepanjangan berbarengan lahan sawah berkurang, jumlah petani berkurang, dan hasil beras tak mencukupi untuk Indonesia. Masalah-masalah terus bertambah. Orang-orang berani betah dan cerewet demi debat-debat berkaitan sawah, desa, padi, beras, pertanian, pupuk, dan lain-lain. Masalah-masalah itu biasa dipikirkan para menteri, profesor, pengusaha, atau mahasiswa. Kita kewalahan untuk mengerti dan menentukan sikap atas pertanian di Indonesia.
BACA JUGA: Buku: Bapak dan Anak
Masalah-masalah itu bermunculan sejak lama. Kita bisa mengetahui melalui tulisan-tulisan dalam buku berjudul Budidaya Padi di Jawa (1986) dengan editor Sajogyo dan William L Collier. Buku membawa masa lalu, membuat kita seperti melihat hamparan padi menguning sebelum Indonesia terlalu ramai dan sesak. Kita memandang dengan takjub sebelum sawah-sawah menghilang atau berganti rupa.
Sejak ratusan tahun lalu, para pejabat dan sarjana Belanda biasa merendahkan kemampuan bertani di Nusantara. “Pengetahuan para pejabat pribumi mengenai budidaya padi kurang sekali dibandingkan dengan para pejabat Eropa,” tulis JHF Sollewijn Gelpke. Kalimat membuktikan pertanian di Nusantara susah maju. Pemberi kritik menganggap pertanian justru direpotkan dengan beragam ritual dan tata cara lambat. Bertani belum sampai ke gagasan dan capaian melulu keuntungan.
Di Jawa, bertani memang berurusan dengan ritual. Kita simak pengisahan dari mata Eropa: “Setelah pekerjaan selesai, para wanita pergi ke pemilik sawah untuk menikmati makanan yang melimpah ruah, yang sisanya mereka bawa pulang. Berondong beras dan bubur merah yang disajikan pada kesempatan itu dimaksudkan untuk mendamaikan roh-roh karena adanya tanaman yang dengan sengaja atau tidak telah terbajak sewaktu mengolah tanah yang mungkin sebenarnya memiliki manfaat. Sebagian ketupat dan lepet diberikan kepada kerbau-kerbau agar menjadi gemuk kembali setelah sebelumnya memeras tenaga. Tiga buah sudut sawah yang telah ditanami diletakkan boreh wangi dengan bubur bekatul, dan dipancangkan pula daun aren serta tunas-tunas dari pisang.”
Peristiwa dan pemaknaan simbolik itu mungkin selalu memunculkan pengertian bahwa pertanian di Jawa (Indonesia) itu tradisional. Pada masa berbeda, ritual-ritual perlahan menghilang saat orang-orang terlalu membutuhkan beras. Indonesia tetap “makan” nasi. Padi masih di sawah tapi jumlah tak memadai. Beras-beras diperdagangkan di pasar dan toko dengan kabar-kabar sering mengecewakan gara-gara jumlah, kualitas, dan harga. Pada abad XXI, kita diminta berpikiran melulu ke (harga) beras dan konsekuensi makan nasi, tak lagi mau mundur memikirkan sawah, petani, atau ritual. Begitu.