Rumah berubah suasana. Hari-hari telah dilalui mungkin biasa-biasa saja dengan peristiwa dan bahasa rutin. Rumah itu perlahan berubah saat penghuni mengalami Ramadhan. Di rumah, sekian peristiwa menandai perbedaan-perbedaan. Kita mengartikan “selingan” dari rutin. “Selingan” bersuasana dan berpijak agama.
Pada saat dini hari dan sore menjelang malam, peristiwa kebersamaan di rumah mengartikan “mufakat” dalam menerima kewajiban berpuasa. Penjadwalan makan berubah. Makan berdampak dalam pembagian peran dan kadar. Rumah menjadi alamat mengartikan agama, keluarga, dunia, sesama, dan lain-lain. Rumah mungkin bernuansa religius meski televisi atau gawai turut membuat “ramai”. Orang-orang di rumah tapi berkelana jauh melalui beragam acara di televisi dan kesibukan bergawai.
Rumah tak selalu tempat “terindah” bagi orang-orang beribadah. Pada saat Ramadhan, kita biasa melihat keluarga-keluarga meninggalkan rumah menuju masjid untuk beribadah. Mereka pergi dari rumah, mengikuti kesadaran melakukan ibadah berjamaah. Di tempat ibadah, mereka pun menunaikan misi-misi sosial, pendidikan, seni, dan kultural. Keakraban terjalin: rumah dan masjid. Peristiwa raga-raga di dua alamat menguatkan kesan-kesan Ramadhan.
Masjid makin ramai. Sekian acara diselenggarakan selama Ramadhan. Jumlah jamaah meningkat berbarengan pemberian pesan-pesan keagamaan melalui serial khotbah. Ibadah-ibadah wajib mendapat sokongan dengan sebaran ilmu dan amalan-amalan keseharian. Masjid teringat dan referensi. Perjumpaan jamaah di masjid mewujudkan pergaulan mengarah capaian kebaikan, ketulusan, keindahan, kerukunan, dan lain-lain.
Pada saat mengalami peristiwa-peristiwa di rumah dan masjid, orang mungkin mengadakan perbandingan suasana. Ia pun berhak memberi tatapan arsitektur. Pengalaman ruang pun perlahan mendapat penjelasan-penjelasan. Perbandingan itu mengarah ke penandaan kekhasan-kekhasan. Konon, arsitektur membuat orang betah, tenang, bahagia, dan damai selama menghuni rumah atau berada di tempat ibadah.
Di buku berjudul Arsitektur Masjid susunan Achmad Fanani (2009), kita diajak bergerak ke pelbagai masa dan negeri. Kita melihat masjid-masjid dengan beragam kekhasan. Pada saat Ramadhan, masjid menjadi pusat. Kita pun menambahi pengetahuan masjid dengan bacaan-bacaan. Di pengalaman keseharian, masjid-masjid jarang berubah dibandingkan rumah-rumah. Masjid mungkin berubah bentuk dan penampilan berdalih peningkatan jamaah atau kondisi bangunan. Di desa atau kampung, perubahan tak terlalu rumit dalam urusan arsitektur.
BACA JUGA: Padi: Puisi dan Ritual
Di situ, terbaca penjelasan: “Semenjak perintah shalat diterima lewat peristiwa mi’raj Nabi Muhammad, masjid menjadi tempat sentral pengembangan Islam sebagaimana shalat menjadi pilar utama agama Islam. Secara lahiriah, masjid memang mengekspresikan prosesi dan pola tata laku ibadah shalat, terutama shalat berjamaah.” Pusat itu perlahan mengalami pemaknaan lanjutan melalui arsitektur. Perwujudan seni dan arsitektur menjadikan masjid itu indah. Kita membaca kutipan diperoleh Achmad Fanani dari uraian AT Mann: “… arsitektur bangunan menjadi tumpahan dari hampir seluruh korpus kreativitas Islam.” Kini, kita terbiasa melihat masjid-masjid di desa dan kota menampilkan keindahan dengan beragam corak arsitektur.
Masjid-masjid menjadi pemandangan dan perbincangan. Selama Ramadhan, kita mengetahui masjid-masjid mengantar kita mengetahui pelbagai hal. Masjid sebagai tempat ibadah. Masjid sebagai acuan-acuan kehidupan. Kita telah mendapat warisan cerita-cerita. Kita pun memerlukan bacaan-bacaan dalam ikhtiar mengenang, renungan, atau pemahaman.
Pada 1990, terbit buku berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Buku memuat cerita dan puisi gubahan Emha Ainun Nadjib. Buku menggunakan judul masjid, mengajak kita bergerak ke pelbagai perkara. Buku mungkin bakal selalu tercatat sebagai dokumentasi dan tata cara memaknai masjid, dari masa ke masa.
Emha Ainun Nadjib menulis: “Di tengah pengembaraan, tibalah aku di sebuah negeri kaum beribadah, namun betapa susah untuk menemukan masjid. Sepanjang siang, aku menyelinap kampung-kampung tanpa menjumpainya, dan jika malam turun termangulah aku di bawah bintang-bintang. Di manakah masjid? Ketika malam berangkat makin jauh memasuki relung sunyi dan cintanya, kembali aku bersandar di pangkal semesta. Kemudian tatkala fajar pun merekah, telah berada kembali aku di dunia kecil yang selalu riuh rendah ini sambil tetap bertanya, di mana masjid?”
Renungan tentang masjid, bukan sekadar bangunan tampak mata. Emha Ainun Nadjib membeberkan masalah-masalah kerohanian saat kita mengingat pendirian masjid-masjid di kampung dan kota makin marak di Indonesia. Masjid gampang dicari dan ditemukan, tak seperti pencarian oleh si pengembara dalam puisi. Kita memang memikirkan masjid, mengartikan melampaui raga atau bangunan. Di masjid, kita pun bisa “mengembara” secara batin. Ajakan pengenalan dan pemaknaan masjid.
Kita terbiasa melihat rumah dan masjid. Kita mula-mula melihat itu bangunan. Pada situasi berbeda, kita memerlukan untuk berada di pengalaman batin. Hari-hari berpuasa, kita mengerti suasana rumah dan masjid berubah. Perubahan itu mengarah ke batin saat berjamaah itu membahagiakan. Selama di rumah dan masjid, kita beribadah dan menggerakkan batin. Kita berada dalam “arsitektur” religius dan mengamalkan dalam tebaran kemanusiaan. Begitu.