Pada 2023, kita masih memiliki diksi “panen”. Sejak ratusan tahun lalu, “panen” sering dimengerti petani. Konon, “panen” itu kata terindah dan membahagiakan. Pada masa berbeda, “panen” tak cuma dimiliki dan dimengerti petani.
Kita membaca tulisan J.H.F. Sollewijn Gelpke. Tulisan mula-mula terbit pada 1874 dalam bahasa Belanda. Ia membuat pengisahan dan laporan pertanian di Jawa. tulisan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, terbit dalam buku berjudul Budidaya Padi di Jawa (1986) dengan editor Sajogyo dan L. Collier. Orang asing itu memahami pertanian melalui penggunaan kata-kata bagi para petani di Jawa bagian tengan dan timur.
Ia berhasil mencatat sebutan untuk tanaman padi dapat dipanen. Di Jawa bagian tengah: bobot ranggo. Di Jawa bagian timur: malang pundak. Di sawah, ada pertumbuhan tanaman dan kata-kata. Pada saat menanam, para petani mengucap mantra. Pada saat mau panen, mereka membuat upacara dan mengucap kata-kata. Sollewijn Gelpke menjelaskan: “Sama seperti waktu menanam, seorang lelaki tua diminta mengawasi penuaian padi. Dengan membawa kemenyan dan merang yang menyala, ia berjalan mengelilingi sawah dan berkata….” Ia mengucapkan doa agar panen berlangsung dengan selamat, lancar, dan bahagia. Pada masa lalu, orang mengetahui kejadian memanen atau menuai padi.
Kata-kata dalam pertanian mudah berkaitan politik, perdagangan, pendidikan, sastra, dan lain-lain. Kita berganti masa. Kita membuka buku berjudul Pudjangga Baru (1963) dengan editor H.B. Jassin. Buku mendokumentasi gubahan sastra masa 1930-an dan 1940-an. Di situ, kita membaca puisi berjudul “Orang Tani dan Saudagar” gubahan Marius Ramis Dajoh. Puisi mengenai nasib petani, panen, dan nasib.
Kita mengutip: Saudagar mengguntjang-guntjang sakunja./ Uang peraknja berdering-dering./ Orang tani gemar mendengarnja,/ merdu bunjinja seperti suling.// Ingin uang untuk Lebaran!/ Ingin uang untuk bersuka,/ tapi tak ingat kelaparan,/ jang akan datang dengan duka!// Demikianlah akal busuk saudagar!/ Tipu daja menjambar kebodohan!/ Padi disawah jang subur segar/ dibeli murah, untuk Lebaran.// Padi berbuah, masih hidjau!/ Lebaran tidak lama lagi!/ Masa menuai masih djauh!/ Padi didjual dengan rugi!// Tani bersuka masa Lebaran!/ Habis Lebaran kelaparan. Kita mengerti nasib sial dialami petani. Padi ditanam tapi saudagar “panen” uang dengan cara membeli padi sebelum saat panen.
BACA JUGA: Makan(an): Kiblat dan Peringatan
Di puisi berbeda, kita masih diajak prihatin. Sawah tak menjamin petani bahagia. Sawah kadang tempat pertaruhan nasib memberi nestapa. M. Ali Hasjim (1936) menggubah puisi berjudul “Sawah”. Kita diajak melihat pemandangan di sawah: Kalau turun pipit berkawan,/ Merajap hinggap dimajang padi, Terdengar teriak suara perawan,/ Menjuruh pipit mendjauhkan diri.// Kalau pipit sudah terbang,/ Melajang hilang pulang kerimba,/ Perawan bernjanji menembang-tembang,/ Menjesali pipit tak tahu iba:// “Mengapa engkau ajuhai pipit,/ Tak tahu diarti iba kasihan,/ Badandku pajah menanggung sakit,/ Mentjutjur keringat sepandjang zaman,/ Padi kupupuk sedjak semula,/ Engkau tahu memakan sadja?” Kita membaca sambil turut berduka.
Dua puisi lama mengingatkan para petani dan panen padi. Petani menanam tapi tak memanen setelah menjual kepada saudagar. Petani terpaksa menjual dengan harga murah. Lebaran memerlukan uang. Padi dijual agar mendapat uang secara cepat meski belum saat panen. Petani pun berebutan pagi dengan burung-burung. Petani berharap bisa panen padi: lega dan bahagia. Padi malah menjadi incaran burung pipit. Sawah wajib dijaga agar hasil sawah sesuai harapan. Kita membaca dua puisi lama: mengetahui nasib petani, saudagar, dan burung pipit.
Pada 2023, panen mendapat makna besar dalam politik. Semula, kita mengetahui tempat-tempat berpolitik sering beralamat di kota. Pilihan tempat sudah berubah. Sawah menjadi alamat mewartakan pesan-pesan politik. Sawah itu tempat terindah bagi kaum politik, tak cuma para petani.
Di majalah Tempo, 19 Maret 2023, kita membaca dua artikel berjudul “Makcomblang di Pematang Sawah” dan “Retak Setelah Panen Raya”. Kita melihat foto kaum politik berlatar sawah dengan padi-padi menguning. Mereka dalam peristiwa panen bersama petani. Kaum politik ikut “panen” meski tak menanam padi.
Kita mengutip: “Menemui para petani di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo mengajak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Ganjar Pranowo pada Kamis, 9 Maret lalu. Setelah berdiskusi dengan petani, Jokowi beriringan dengan Prabowo-Ganjar berjalan di pematang sawah. Ketiganya sempat berswafoto bersama dengan enam petani.” Adegan itu menimbulkan tuduhan bahwa Joko Widodo “mengajukan” Prabowo dan Ganjar untuk hajatan demokrasi pada 2024.
BACA JUGA: Bapak, Buku, Pembaca
Kita melihat tiga tokoh tenar. Mereka mungkin tampak tebar pesona mengalahkan pemandangan padi dan kebahagiaan para petani. Peristiwa terpenting memang panen padi. Publik memberi imbuhan bahwa peristiwa terpenting justru “panen” kekuasaan. Di sawah, tokoh-tokoh politik itu “memanen” makna demi kemenangan. Mereka ingin menang tapi kaum petani belum tentu “menang”.
Dua puisi lama mengandung pesan nasib “sial” kaum petani. Mereka berebutan bahagia melawan saudagar dan burung pipit. Kita mengetahui itu puisi, bukan laporan resmi atau artikel bersumber riset. Puisi justru menguak imajinasi penderitaan dan pertaruhan nasib. Kita membaca dengan berdebar dan menunduk.
Nasib petani dalam dua puisi tak “seburuk” dalam kejadian di sawah beralamat di Kebumen. Sawah lekas politis, tempat “menanam” kehendak-kehendak politik, bukan sekadar tempat menanam padi. Di situ, para petani berdoa dan bekerja dengan keringat, lumpur, dan air mata. Pada situasi berbeda, kaum politik berdatangan ke sawah dengan pakaian rapi. Mereka berpidato atau mengucap kata-kata santun meski terdengar sebagai “mantra” politik. Mereka justru memberi makna “berlebihan” untuk panen.
Kaum politik telah berhasil memasukkan “panen” dalam kamus politik, setelah dirintis oleh Soeharto pada masa Orde Baru. Kita mungkin tergesa memberi tuduhan dan tafsir. Kita telah lama diajari berimajinasi sawah, padi, petani, dan politik selama puluhan tahun saat Soeharto berkuasa di Indonesia. Pada masa berbeda, tokoh-tokoh berbeda berharap “panen” kemenangan mumpung berada di sawah dan bersama petani memanen padi-padi menguning. Begitu.