Dr. M. Shohibul Itmam, MH
Hampir setiap saat, terutama pada bulan Maulud, semua manusia khususnya umat Islam menyebut, membaca salawat dan mengagungkan nama baginda Nabi Muhammad SAW.
Hampir dipastikan juga bahwa tujuannya hanya satu yaitu menggapai hidup, menjalani kehidupan dunia yang sementara menjadi kehidupan yang selamat, bahagia sukses dan barokah dan mengingat, menyadari cobaan dunia yang pasti muncul setiap saat sebagaimana penjelasan Al-Quran surat al Mulk ayat 1-2.
Sementara secara teologis, umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad SAW dengan berharap selamat, sukses dan bahagia dari dunia hingga akhirat.
Doktrin seperti ini wajar karena adanya pesan moral Al- Quran, bahwa semua yang ada di dunia ini adalah tipuan belaka, fatamorgana serta tidak ada abadi kecuali bagi mereka yang bertaqwa (Muttaqin).
BACA JUGA : Komisioner KPAI Tegaskan Pentingnya Menghapus Kekerasan pada Satuan Pendidikan
Untuk itulah Al-Quran menyerukan supaya dalam menjalankan kehidupan, umat Islam khususnya supaya senantiasa meneladani Nabi Muhammad SAW baik dari segi perkataan, perbuatan maupun ketetapan nabi.
Hanya dengan meneladani beliau, kehidupan seseorang dijanjikan akan sukses dan bahagia dari dunia hingga kehidupan akhir nanti secara hakiki, tidak tertipu dan akan bahagia abadi.
Untuk menggapai kehidupan yang bahagia, nyata serta tidak tertipu, Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 21 menjelaskan supaya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan, panutan dalam hal ihwal untuk menjalani semua tugas kemanusiaan baik sebagai individu maupun mahluk sosial, tentu termasuk dalam berbangsa bernegara.
Dalam ayat tersebut bisa dipahami dengan jelas bahwa kesuksesan hidup umat muslim dipertaruhkan dengan seberapa mampu umat muslim menjalankan dan meneladani Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan berikutnya, siapa atau adakah manusia yang bisa meneladani Nabi Muhammad. Jawabannya tentu sulit dan berat, karena bisa dipastikan tidak akan ada manusia atau umatnya yang bisa meniru dan meneladani Nabi Muhammad secara utuh dan total (kaffah).
Sehingga, bisa dipastikan bahwa umat Islam hanya bisa meneladani nabi, ajaran Nabi Muhammad secara parsial dan itupun hanya dalam bidang tertentu saja, yang masih jauh dari kesempurnaan. Meneladani nabi sesuai kondisi dan kemampuan masing-masing umat dengan sosio kulturnya.
Kondisi demikian melahirkan pertanyaan lanjutan, siapakah manusia sukses, siapakah umat yang akan sukses dari dunia hingga akhirat dalam meneladani baginda Nabi Muhammad SAW?.
Dalam konteks ini, jawabannya bisa diurai antara lain dengan menafsirkan surat Al Ahzab ayat 21, dengan kajian tafsir maudhu’i atau tematik yang belakangan populer di kalangan ahli tafsir kontemporer.
Dalam kajian filosofi, ngaji filosofi dijelaskan bahwa manusia yang sukses dalam meneladani Nabi Muhammad SAW adalah manusia, umat yang memperhatikan tiga aspek secara hirarki dan sistemik.
Ketiganya terintegrasi dalam kepribadian seorang muslim, yaitu; pertama, umat muslim yang orientasi hidupnya hanya semata Allah, tidak untuk selain Allah. Kedua, umat muslim yang meyakini kehidupan ini akan adanya hari akhir sebagai pembalasan semua perbuatan manusia sehingga dalam hidupnya selalu berhati-hati menjalankan aktivitas kemanusiaanya.
Dan ketiga, umat muslim yang selalu, sering menyebut dan memuja Allah semasa hidupnya dengan ritual khusus seperti salat dan lainnya.
Semua cara tersebut, terintegrasi secara komprehensif menjadi kepribadian dan karakter umat muslim sehingga menjadi budaya tetap di tengah perubahan sosial masyarakat. Allah A’lamu.
Dr. M. Shohibul Itmam, MH. Pengasuh Pesantren An Najah Petekeyan Tahunan Jepara, Pengurus PC Lakpesdam NU Jepara, dan Dosen Pascasarjana IAIN Kudus