Oleh: Bandung Mawardi
Sejak menjadi murid SD, kita sudah mengerti bila perpustakaan itu berisi koleksi bacaan. Di SD beralamat di desa masih miskin, perpustakaan bukan tempat terimajinasikan dengan wajar. Guru cukup memasang kertas di atas pintu lemari bertuliskan “perpustakaan”. Pada saat istirahat, kita melihat lemari berada di kantor guru. Puluhan buku ada dalam lemari. Kita sadar buku itu bacaan, bukan pemandangan.
Pada saat menjadi dewasa dengan predikat mahasiswa di perguruan tinggi beralamat di kota, orang melihat perpustakaan itu ruangan atau gedung. Ada sekian rak atau lemari buku. Konon, ada ratusan atau ribuan buku dikoleksi di perpustakaan. Kita pernah melihat, masuk sejenak, dan menikmati pemandangan. Kita belum pernah bersumpah menjadi peminjam buku sampai lulus menjadi sarjana. Selama kuliah, kita mungkin masuh ke perpustakaan cuma dua atau tiga kali. Perpustakaan tetap dimengerti tempat dan bacaan.
Kesenangan naik sepeda motor mumpung masih menjadi mahasiswa memungkinkan mengetahui keadaan kota. Mahasiswa itu berkeliling kota, mengingat tempat-tempat menjual makanan, mengingat sekian nama kafe untuk kumpul bareng, dan mengerti keramaian pusat-pusat hiburan. Ia mungkin saja pernah melintasi gedung memiliki papan nama bertuliskan “perpustakaan daerah”. Ia melewati saja, tak ada keinginan mampir. Di kepala, ia sudah mengerti bahwa perpustakaan berisi buku atau bacaan.
BACA JUGA: Buku Itu Fana (Bandung Mawardi)
Pada masa berbeda, mahasiswa tak lagi membaca koran cetak. Hari-hari makin sibuk dan tak keruan. Berhadapan dengan koran cetak itu upacara masa lalu saja. Kita tak usah menghina atau prihatin bila mahasiswa tak mengenali koran cetak. Kita masih mau membaca koran mendingan memberi tatapan sejenak untuk Kompas, 25 Agustus 2022.
Ada laporan hasil jajak pendapat Litbang Kompas: “… minat publik untuk berkunjung ke perpustakaan daerah masih rendah. Lebih dari separuh responden (57,3 persen) yang mengetahui keberadaan perpustakaan daerah mengaku tidak pernah mengunjunginya. Dari dua perlima bagian responden yang pernah menyambangi perpustakaan, tak lebih dari 6 persen yang menyatakan sering berkunjung. Sementara responden yang lebih tak intens berkunjung justru lebih besar, 13 persen mengaku kadang-kadang, dan seperlima bagian lainnya menyatakan jarang.”
Kita pantang terkejut. Pepustakaan tetap tema lama. Sekian berita atau artikel sering mengartikan perpustakaan itu koleksi “keluhan” ketimbang suka cita dengan bacaan. Keluhan milik pemerintah tapi diminta juga dimiliki publik. Keluhan biasa mengandung salah dan prihatin. Publik kadang menjadi pihak disalahkan gara-gara tak mau menjadi pengunjung, peminjam buku, atau pembaca di tempat.
“Keluhan” tak terbaca dalam artikel D Zawawi Imron dan Achdiar R Setiawan di Media Indonesia, 27 Agustus 2022. Mereka bukan tukang mengeluh atau kolektor keluhan demi perpustakaan. Gairah kebaikan tetap dipancarkan: “Perpustakaan ialah poros pembinaan literasi bagi sebuah bangsa yang perlu terus hidup (dan dihidupkan).” Kalimat itu bermutu dan bergengsi.
BACA JUGA: “S” Sakit dan Sehat (Bandung Mawardi)
Perpustakaan masih tema mentereng meski sering sumber keluhan. Kita diajak berpikiran baik dan terang: “Perpustakaan memerlukan adaptasi berkelanjutan menjawab tantangan zaman untuk terus menjadi motor pencapaian amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan perlu diposisikan sebagai lahan subur pertumbuhan literasi bangsa. Ini adalah gerakan kebudayaan yang mulia.” Kita jangan membantah definisi dan pengharapan sudah telanjur disampaikan kepada publik. Perpustakaan selalu dimaksudkan baik-baik, bukan masalah-masalah rumit dan repetititf.
Kita membentuk biografi di pelbagai tempat. Perpustakaan mungkin tempat turut membentuk biografi meski kepingan kecil saat menjadi murid atau mahasiswa. Masa lalu terbiarkan saja. Kita enggan membuat pemaknaan besar bahwa perpustakaan membentuk dan menggerakkan Indonesia. Kita tak pernah mendapat pelajaran istimewa mengenai perpustakaan saat diminta mengetahui sejarah Indonesia.
Dulu, para penggerak bangsa itu suka mengunjungi perpustakaan. Mereka rajin bersantap buku dan surat kabar. Mereka pun berpredikat pengunjung dan pembeli di sekian toko buku di Indonesia atau Eropa. Para tokoh pergerakan malah sengaja mengadakan bibliotik atau perpustakaan berdalih “kemadjoean” dan sebaran ide-ide kebangsaan.
BACA JUGA: Makan(an): Bumi, Global, Keragaman (Bandung Mawardi)
Sejak awal abad XX, perpustakaan dalam arus sejarah Indonesia. Di buku-buku pelajaran sejarah atau pidato upacara setiap Senin, masalah itu tiada tersampaikan. Sepi dari pengetahuan sejarah mengakibatkan kita lekas murung dan cuek bila berurusan perpustakaan. Diri menjasi salah tingkah dan jenuh seribu masalah.
Kita masih diingatkan masalah besar setelah membaca tajuk rencana di Kompas, 8 September 2022: “Kemampuan literasi anak bangsa berbanding lurus dengan produktivitas dan daya saing bangsa karena literasi tak hanya soal kemampuan membaca. Literasi juga terkait kemampuan berpikir kritis yang menjadi keunggulan sumber daya manusia untuk berkompetensi di abad ke-21 ini, selain kreatif, serta kemampuan kolaborasi dan komunikasi.” Kita membaca kalimat berat dan istimewa.
Kita mengaku saja malu gara-gara bukan pengunjung perpustakaan. Malu bertambah dengan kegagalan kita sebagai pembaca. Kita tak mampu membaca. Malu berlipat seribu akibat kita sulit berpikir kritis. Kita memilih menjadi “perpustakaan berisi keluhan” ketimbang serakah bacaan. Kini, kita senang pemandangan, bukan bacaan. Begitu.
*) Bandung Mawardi merupakan Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.