Oleh: Bandung Mawardi
Pemerintah jangan selalu disalahkan dalam membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan. Konon, rapat-rapat untuk memikirkan segala kebijakan dilakukan serius dan lama. Pemerintah berdalih kebijakan-kebijakan demi kebaikan, kebahagiaan, kemakmuran, keadilan, dan lain-lain.
Di Jakarta, ada kebijakan perubahan nama. Kita tak bisa menebak kebijakan bakal menular ke pelbagai daerah. Orang-orang diminta untuk memilih penamaan rumah sehat ketimbang rumah sakit. Kebijakan agak mengejutkan dan membingungkan, setelah orang-orang terbiasa mengetahui bangunan atau tempat dinamakan rumah sakit. Dulu, mereka mengerti singkatan RS itu rumah sakit. Pada masa Orde Baru, ada juga singkatan RS (rumah sederhana) dan RSS (rumah sangat sederhana).
Pada suatu masa, pembuatan singkatan-singkatan kadang menimbulkan masalah. Singkatan memang berguna tapi bisa menimbulkan masalah dalam berbahasa dan berpikir. Di Indonesia, produksi singkatan sulit dibatasi atau dikendalikan. Pada abad XXI, singkatan-singkatan terus bertambah dan bermasalah.
BACA JUGA: Buku Itu Fana (Bandung Mawardi)
Semula, “S” itu sakit. Di Jakarta, “S” diinginkan sehat, bukan sakit. Murid-murid SD mengerti sakit dan sehat dalam materi pelajaran tentang antonim. Di sekolah, mereka mungkin dapat penjelasan mengenai singkatan RS dan penamaan baru seperti dikehendaki pemerintah.
Di buku berjudul MAW Brouwer antara Dua Tanah Air: Perjalanan Seorang Pastor (1994), Myra Sidharta mengenang: “Pada tahun 1982, ia mengajak saya dan Anna menulis lagi sebuah buku, kali ini mengenai orang sakit. Rumah Sakit dalam Cahaya Ilmu Jiwa adalah judul buku baru ini.” Kita diingatkan masalah rumah sakit. Dulu, mereka belum berpikiran menulis rumah sehat. Myra Sidharta menerangkan: “Lagipula Brouwer memang sudah banyak pengalaman dengan rumah sakit karena sudah berulang kali dan sering pula masuk rumah sakit.”
Buku itu mungkin bukan bacaan bagi orang-orang saat membuat kebijakan penggantian rumah sakit menjadi rumah sehat. Buku lama belum tentu dianggap berfaedah dan mengingatkan kesejarahan.
Kita membuka buku berjudul Rumah Sakit dalam Cahaya Ilmu Jiwa: Sentuhan Manusiawi (1983). Di halaman kata pengantar, kita membaca penjelasan: “Rumah sakit ialah lembaga dan tingkah laku yang dilembagakan. Tingkah laku yang kompleks itu dapat diterangkan dalam cahaya ekonomi, ilmu kedokteran, pelbagai teori kebudayaan dan memang juga ilmu jiwa.” Buku memuat pembahasan rumah sakit, bukan rumah sehat. Di rumah sakit, para penulis menerangkan posisi dan peran pasien, dokter, dan perawat.
BACA JUGA: Bacaan dan Keluhan (Bandung Mawardi)
Buku dilengkapi ilustrasi-ilustrasi buatan GM Sudarta itu penting dipelajari lagi meski tak cetak ulang. Kita membaca masalah rumah sakit tapi diajak pula mengerti masalah manusia sedang sakit dan manusia ingin sehat. Kita mengutip lagi: “Sakit adalah rintangan dalam jalan kehidupan manusia. Karena dialami sebagai rintangan, maka manusia berusaha mengatasinya. Usaha itu, antara lain, muncul dalam wujud rumah sakit.” Kita membaca lagi itu rumah sakit, belum rumah sehat.
Kita mungkin pernah berpikiran jumlah rumah sakit di Indonesia terus bertambah. Kita menduga jumlah orang sakit berarti bertambah. Sakit menjadi masalah terlalu sulit dan besar. Rumah sakit berperan agar orang sakit bisa sembuh. Penggunaan diksi sembuh berdekatan dengan sakit meski ada pengertian lanjutan: “sehat seperti sedia kala”. Di rumah sakit, orang-orang berpikiran dan berdebat mengenai sakit dan sehat. Mereka sadar berada di gedung dinamakan rumah sakit.
Masalah rumah sakit tak cuma ada dalam kebijakan pemerintah dan buku-buku ilmiah. Kita masih bisa mengetahui rumah sakit dari puisi-puisi. Afrizal Malna dalam puisi berjudul “Memo-Memo Rumah Sakit” memberi peringatan: Dan orang-orang mati baca puisi di rumah sakit. Lalu kota menutup pintu di matanya. Puisi terbaca agak menakutkan. Joko Pinurbo menggubah puisi berjudul “Rumah Sakit”. Di situ, ada sindiran dan keinsafan: Rumah adalah rumah sakit yang paling nyaman/ dan murah, sebab, kalau kau mau, kau bisa sakit sepuasmu. Dua puisi belum mencukupi untuk mengerti rumah sakit, bukan rumah sehat.
BACA JUGA: Kamus 70 Tahun (Bandung Mawardi)
Kita mulai dibingungkan dengan masalah kebahasaan. Sejak lama, kita mengetahui rumah sakit. Kini, penamaan diubah menjadi rumah sehat mengandung usaha merombak gagasan lama atau pengertian dimiliki jutaan orang. Rumah sehat memerlukan penjelasan-penjelasan kebahasaan, bukan cuma dokumen disahkan stempel dan tanda tangan.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), kita membaca pengertian-pengertian rumah, rumah sakit, rumah sakit mata, rumah sakit jiwa, dan rumah sakit umum. Di halaman 758, pengertian rumah sakit: “rumah tempat merawat orang sakit” dan “tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan.” Kamus dipersembahkan pada masa Orde Baru itu belum mencantumkan rumah sehat.
Pada abad XXI, kebiasaan mengucap nama rumah sakit perlahan menjadi “kesalahan”. Papan-papan dengan tulisan rumah sakit terlalu lama memberi pengaruh gagasan sakit, obat, dokter, operasi, uang, sembuh, sehat, dan lain-lain. Kita telanjur memiliki pengertian-pengertian romantis, horor, dan jenaka mengenai rumah sakit saat diceritakan dalam film dan novel. Imajinasi rumah sakit telah bertumbuh dalam sastra dan film selama puluhan tahun. Kini, kita digoda membuat cerita dan ingatan mengenai rumah sehat gara-gara kebijakan pemerintah. Begitu.
*) Bandung Mawardi merupakan Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.