Oleh: Bandung Mawardi
SEKIAN hari lalu, kita mengingat lagu, bukan buku. Kita mengingat lagu asmara berbahasa Jawa. Di tempat istimewa dan hari penting, lagu itu menjadi perbincangan. Kita malah dibuat jemu setelah bermunculan berita-berita tak keruan dan gosip murahan. Sekian hari lalu, kita tak mengingat buku gara-gara lagu itu terlalu mendapat perhatian.
Sekian hari sebelum lagu itu membikin sibuk Indonesia, ada orang-orang masih berharapan dengan buku. Mereka mungkin khilaf atau ikhlas untuk memastikan Indonesia masih bertema buku.
Pada zaman tangan-tangan bergawai, buku cetak masih diterbitkan. Buku-buku masih terpegang tangan dan ditaruh untuk dibaca: sejenak atau khatam. Benda masih mengabarkan ada kemauan membaca buku dengan adegan raga dicap “lama” dan pengalaman waktu.
Di Jakarta, pameran atau acara buku diselenggarakan tanpa janji semeriah masa lalu. Acara-acara terbaru untuk abad XXI memang tak menjadikan buku sebagai tema besar. Buku itu selingan atau tersier saja. Buku pun fana.
BACA JUGA: Bacaan dan Keluhan (Bandung Mawardi)
Di Republika, 6 Agustus 2022, berita perbukuan tersaji di hadapan sidang pembaca masih mau membuka lembaran-lembaran koran. Berita tentang Islamic Book Fair 2022 di Jakarta Convention Center, 5 Agustus 2022. Di situ, ada acara diskusi perbukuan. Wakil Presiden (KH Ma’ruf Amin) memberi seruan: “Kita ingin mendorong melalui Islamic Book Fair ini minat baca makin terangsang dan pengetahuan tentang Islam dari berbagai sudut semakin dikuasai. Ini menjadikan generasi yang mengerti Islam lebih utuh secara benar.”
Buku masih dianggap sumber pengetahuan bagi orang-orang ingin mengetahui dan mendalami Islam. Buku tetap dipentingkan meski masalah-masalah agama mulai ramai di media sosial. Orang-orang mungkin mengaku malas dan lelah bila membaca buku. Mereka memilih menikmati pengajian, omong-omong, atau diskusi disiarkan dan beredar melalui media sosial. Beragama dengan gawai-gawai ketimbang buku. Seruan membaca buku masih terdengar tapi samar.
Kita tak perlu kecewa atau malu. Industri buku agama masih bertumbuh di Indonesia. Urusan pendapatan dan selera mungkin berbeda dibandingkan masa lalu. Buku tetap masuk rumah, perpustakaan, tempat ibadah, dan lain-lain. Buku-buku masih mungkin dipandang dengan segala anggapan dan perbuatan.
Dulu, industri buku agama (Islam) pernah marak. Kini, nostalgia saja. Kita mengetahui dari artikel-artikel dimuat dalam majalah Gatra, 15 Februari 1997. Babak marak sebelum Indonesia diguncang krisis (besar) ekonomi dan konflik-konflik politik (1998). Buku-buku mengabarkan kemauan belajar agama.
BACA JUGA: “S” Sakit dan Sehat (Bandung Mawardi)
Buku terakui laris dan turut bercerita masa 1990-an: Dialog dengan Jin Muslim. Buku susunan Muhammad Isa Dawud itu moncer dan laris di Indonesia. Buku diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah. Buku tak cuma bisa diperoleh di toko buku. Di pelbagai tempat, buku itu diperdagangkan gara-gara masuk daftar (paling) dicari publik.
Kita mengingat sekian penerbit di Indonesia memilih buku-buku asal Timur Tengah untuk diterjemahkan dan diterbitkan. Mereka sadar dengan mutu dan misi keagamaan, selain berhitung untung. Buku-buku terjemahan tetap menjadi terpenting ketimbang buku-buku bertema agama ditulis oleh orang-orang Indonesia.
Pada masa 1990-an, publik kesengsem dengan buku-buku Emha Ainun Nadjib. Ia tampil dengan beragam tulisan. Di pasar buku, Emha Ainun Nadjib sering menjadi buruan untuk para pembaca. Di majalah Gatra, kita mengutip keterangan: “Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) termasuk penulis buku-buku laris yang selalu dikejar penerbit. Cak Nun tak hapal penerbit mana saja yang telah menerbitkan bukunya. Buku-buku Cak Nun kebanyakan merupakan kumpulan tulisan-tulisannya di media massa dan termasuk buku populer yang laris manis.” Penerbitan buku-buku Emha Ainun Nadjib masih berlangsung sampai sekarang. Laris! Buku-buku edisi lama malah diburu oleh para kolektor dengan harga mahal.
Masa buku-buku digandrungi publik perlahan berlalu. Tata cara belajar agama beralih ke media-media berbeda. Tangan-tangan tak lagi harus membuka halaman-halaman buku. Pembuatan acara pameran buku, bedah buku, atau diskusi masih mungkin terjadi meski sadar “sepi”. Kita mengartikan “sepi” bukan sekadar pendapatan bagi pedagang, penerbit, dan penulis.
BACA JUGA: Tokoh, Jalan, Tembang (Bandung Mawardi)
Kita masih menandai sekian buku-buku bertema agama tetap laris asal disusun oleh para penceramah atau tokoh-tokoh sedang laris di televisi atau media sosial. Buku menjadi babak lanjutan atas kemonceran tokoh dan kehebohan tema-tema sedang diminati publik. Kita belum perlu menanti ada percakapan bermutu atau penulisan resensi-resensi kritis. Kehadiran buku-buku (cetak) anggap saja “keberuntungan” ketimbang makin disepikan dalam zaman bergawai.
Kita sedang mengesahkan buku (cetak) itu fana setelah orang-orang terlalu cerewet memberi tuduhan-tuduhan terburuk. Mereka menggoda kita: tak usah lagi memangku atau memegang buku. Usaha kolosal memasalalukan buku-buku (cetak). Kita mengerti ada penjuru baru dalam hidup bergawai. Penjuru tak mewajibkan buku itu setiap waktu.
Tangan-tangan bergawai memilih lagu, film, foto, dan lain-lain. Berseru buku tak perlu tanda seru. Kita sedang menikmati fana-fana untuk buku. Begitu.
*) Bandung Mawardi merupakan Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah.